Tampilkan postingan dengan label Nikah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 April 2019

Berkumpul dalam masa raj’iyah



Diskripsi Masalah
Pada saat terjadi keributan antara sepasang suami istri, suami mengucapkan talak kepada istrinya, namun menjelang beberapa waktu kemudian, keduanya kembali rukun seperti biasa. Karena keawamannya, suami tersebut tidak mengucapkan lafadh rujuk. Hal ini berlangsung hingga bertahun-tahun bahkan mereka telah memiliki beberapa anak. Hingga satu saat ketika mereka mulai mengikuti majlis taklim, akhirnya mereka tau bahwa ucapan talak tersebut telah memutuskan nikah mereka dan untuk rujuk harus dengan melafadhkan lafadh rujuk.
Pertanyaan:
1.       Apakah akibat yang timbul dari perbuatan mereka kembali berkumpul bersama sebelum rujuk?
2.       Bagaimana kedudukan anak mereka yang lahir setelah mereka berkumpul tersebut?

Jawaban:
Uraian Masalah.
Wanita yang di talak raj’i bila masih dalam masa iddah, maka suaminya masih bisa merujuk istrinya ke dalam ikatan nikahnya. Menurut mazhab Syafii, rujuk mesti di ucapkan, tidak bisa di padai dengan sikap suami kembali pulang ke rumah istrinya tersebut. Dalam masa iddah raj’iyah, mantan suami tersebut di larang untuk berkumpul dengan mantan istrinya.
Imam Jalal al-Mahalli mengatakan :
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Artinya: (dan ruju’ tidak hasil dengan perbuatan seperti watha’) dan muqaddimahnya, karena hal tersebut adalah di haramkan dengan sebab terjadinya talak sebagaimana akan di jelaskan natinya, sedangkan maksud dari ruju’ adalah menghalalkannya maka tidaklah hasil ruju’ itu dengannya.
Ada efek yang timbul bila suaminya tersebut kembali berkumpul dengan istrinya yang telah di cerai tersebut.
Rincian hukum Istri yang telah di talak suaminya namun kemudian mereka kembali berkumpul bersama tanpa rujuk maka rincian hukumnya adalah :
  1. Bila wanita tersebut adalah wanita yang telah di talak bain (talak tiga), maka :
    1. Bila keduanya berkumpul tanpa melakukan jimak maka iddahnya tetap berlalu seperti biasa.
    2. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak tanpa adanya syubhat yaitu keduanya tau bahwa mereka sudah bercerai dan mereka juga tau bahwa hukum melakukan hubungan tersebut adalah haram, atau mereka tidak mengetahui hukumnya namun kejahilan mereka tidak termasuk dalam katagori yang di maafkan, maka iddah wanita tersebut tetap berlalu seperti biasa. Sedangkan hubungan mereka dalam masa iddah tersebut hukumnya haram dan termasuk dalam zina yang berhak mendapatkan had.
    3. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak yang syubhat maka hukumnya sama seperti berkumpul dengan wanita raj’iyah (penjelasaanya pada point selanjutnya). Jimak yang syubhat adalah keduanya tidak tau bahwa keduanya telah bercerai atau keduanya mengetahui bahwa keduanya telah bercerai namun mereka tidak tau bahwa jimak tersebut hukumnya haram sedangkan kejahilan mereka di maafkan karena baru masuk Islam atau hidup jauh dari para ulama.
  2. Maka wanita tersebut adalah wanita raj’iyah maka :
    1. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah hamil (karena sedang hamil) maka iddahnya habis dengan melahirkan. Hamil ini boleh jadi juga hamil di sebabkan dari hubungan mereka setelah mereka bercerai tersebut.
    2. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah suci atau bulan, maka bila keduanya berkumpul (baik disertai dengan melakukan jimak atau tidak, baik ia mengetahui bahwa hukum berkumpul tersebut haram atau tidak mengetahuinya) maka iddah wanita tersebut tertahan sementara waktu selama keduanya masih berkumpul. Iddahnya baru akan di lanjutkan kembali bila laki-laki tersebut sudah berpisah dan tidak punya niat kembali lagi.
Laki-laki tersebut hanya boleh rujuk selama masa iddah talak (iddah kalau seandainya tidak terjadi berkumpul) yaitu tiga kali suci bagi yang beriddah dengan suci dan 3 bulan bagi yang beriddah dengan bulan dan masa sebelum melahirkan bila iddah dengan melahirkan.
Untuk masa setelah masa iddah dasar berlaku dua hukum yang berbeda, yaitu dalam beberapa masalah ia sama dengan wanita raj’iyah dan dalam beberapa masalah yang lain ia sama dengan wanita bain. Ia sama dengan wanita raj’iyah pada enam masalah yaitu:[1]
1.       jatuh talak
2.       wajib memberikan tempat tinggal baginya
3.       Tidak di had dengan sebab jimaknya
4.       Tidak boleh menikah dengan saudaranya yang wanita
5.       Tidak boleh menikah hingga menjadi 4 istri selain dirinya
6.       Tidak sah akad di atasnya ketika berkumpul
Dan berlaku baginya hukum wanita bain pada sembilan masalah :
1.       Tidak sah rujuknya
2.       Tidak berlaku warisan
3.       Tidak sah ila’
4.       Tidak sah dhihar
5.       Tidak sah li`an
6.       Tidak berhak nafakah baginya
7.       Tidak berhak mendapatkan pakaian
8.       Tidak sah khulu’nya
9.       Tidak wajib iwadh khulu’.
    1. Haram hukumnya bagi suami melakukan tamatu’ (bersenang-senang) dengan istrinya yang dalam masa iddah raj’iyah tanpa terlebih dahulu melafadhkan ruju’.
    2. Jimak syubhat tersebut mewajibkan mahar mitsil
    3. Jumlah mahar mitsil yang di bayar adalah satu kali, walaupun berulang kali terjadi hubungan jimak.
Status anak
Adapun status anak hasil hubungan tersebut sangat tergantung status hukum hubungan intim tersebut. Pada masalah persetubuhan yang di hukumi sebagai zina, maka anaknya adalah anak zina, tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya. Sedangkan pada masalah yang di hukumi hubungan persetubuhannya sebagai hubungan syubhat, maka anak hasil hubungan tersebut adalah anak syubhat dan terhubung nasabnya kepada kedua ayah dan ibunya tersebut.

Kesimpulan.

Note.
Wanita raj’iyah adalah wanita yang berada dalam masa iddah talal yang masih bisa rujuk yaitu talak satu dan talak dua.
Wanita bain; yaitu wanita yang sudah putus hubungan nikahnya dengan suaminya sehingga tidak bisa lagi rujuk. Bain terbagi dua; Bain kubra yaitu wanita yang sudah di talak tiga. Mantan suaminya tidak bisa kembali menikahinya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain. Bain Sughra; yaitu wanita yang di talak satu atau dua tetapi sudah habis menjalani masa iddah. Suaminya tidak bisa lagi untuk rujuk, tetapi bila ia ingin kembali maka harus melakukan akad nikah baru.

Nash Kitab Mu’tabarah
Asnal Mattalib Syarah Raudh ath-Thalib Jilid 7 hal 250 Dar Kutub Ilmiyah
(الباب الثاني في أحكامها) (فيحرم الاستمتاع بالرجعية والنظر) إليها وسائر التمتعات؛ لأنها مفارقة كالبائن (ويعزر بوطئها) إن كان عالما معتقدا تحريم الوطء ورأى الإمام ذلك لإقدامه على معصية عنده فلا حد عليه به لاختلاف العلماء في حصول الرجعة به (لا جاهلا و) لا (معتقدا حله) لعذره ومثله في ذلك المرأة. وكالوطء في التعزير سائر التمتعات (ويلزمه) بالوطء (مهر المثل ولو راجع بعده) لأنها في تحريم الوطء كالبائن فكذا في المهر
Artinya; (Bab yang ke dua pada menerangkan hukumnya/wanita raj'iyah) maka haramlah istimta' dengan wanita raj'iyah dan haram memandangnya) dan ketinggalan menikmati, karena dia telah berpisah sama seperti wanita ba-`in (dan di ta'zir dengan sebab menyetubuhinya) jika ia mengetahuidan meyakini haram bersetubuh dan pemerintah juga berkebijakan demikian karena ia telah mengerjakan perbuatan masiat di sisinya, maka tidak di kenakan had terhadap dirinya karena adanya perbedaan pendapat ulama tentang hasil ruju' dengan bersetubuh (tidak jika ia jahi dan ) tidak [di ta'zir] orang yang meyakini halal perbuatannya) karena di anggap ozor, demikian juga wanita tersebut. Dan sama halnya dengan bersetubuh adalah ketinggalan bernikmat lainnya [tamatu`] dan (wajib baginya) dengan sebab bersetubuh (membayar mahal mitsil, walaupun ia rujuk setelahnya) karena wanita raj'iyah dalam hal haram di setubuhi layaknya wanita ba-in, maka demikian juga pada masalah maharnya.

Hasyiah Ramli Kabir 'ala Asnal Mathalib jilid 7 hal 251 Dar Kutub Ilmiyah
(قوله ويلزم بالوطء مهر المثل) ظاهره مهر واحد ولو تكرر الوطء وقال البلقيني لم أر من تعرض له والقياس على ما ذكروه في الوطء في النكاح الفاسد ووطء الأب والشريك والمكاتب أنه لا يجب إلا مهر واحد.
(kata mushannif; dan wajib mahar mitsil dengan sebab jimak) secara dhahir satu mahar walaupun berulang-ulang kejadian jimak. Imam Bulqini berkata; tidak saya temukan ulama yang menerangkannya, namun secara qiyas dai masalah yang di sebutkan oleh para ulama pada jimak dalam nikah yang fasid dan jimak ayat atau syarik dan mukatab bahwa tidak wajib kecuali hanya satu kali mahar.

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh Manhaj, Juz. IV, hal. 112 (Dar al-Kutub al-Ilmiyah) ;
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش
Kesimpulannya dia sama halnya dengan wanita raj’iyah pada enam hukum; jatuh talak, wajib mendapatkan tempat tinggal, tidak di kenakan had dengan sebab bersetubuh dengannya, tidak boleh bagi suaminya menikahi saudara wanitanya, wanita keempat lain, tidak sah akad nikah atasnya yakni ketika masih berkumul. Dan baginya berlaku hukum wanita ba-in pada sembilan hukum; tidak sah rujuknya, tidak berlaku warisan di antara keduanya, tidak sah ilak darinya, dhihar, dan li’an, dan tidak wajib nafakah baginya, pakaian dan tidak sah khuluknya dengan pengertian apabila suaminya mengkhuluknya maka jatuhlah talak raj’i dan tidak wajib bayaran, karena inilah sebagian ulama berkata “tiada bagi kita seorang wanita yang bisa tertalak dan tidak sah khuluknya kecuali ini, dan apabila suaminya mati meninggalkannya iddahnya tidak berpindah ke iddah wafat sebagaimana di pahami dari kitab syarah Imam Muhammad Ramli dan Imam Qalyubi atas Imam Jalal Mahalli dan Ali Syibramalasi.

Nihayat al-Zain, hal. 376 (Dar al-Kutub al-Islamiyah) ;
(وتنقطع عدة) بالأقراء والأشهر (بمخالطة رجعية ولا رجعة بعدها) أي العدة الأصلية ويلحقها الطلاق إلى انقضاء العدة احتياطا وتغليظا عليه لتقصيره ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة ولا كسوة لها ويجب لها السكنى ولا يحد بوطئها وله أن يتزوج برابعة والمراد بالمخالطة أن يدوم على حالته التي كان معها قبل الطلاق من النوم معها ليلا أو نهارا والخلوة بها كذلك وغير ذلك
(dan putuslah iddah) dengan sebab beberapa kali suci dan beberapa bulan (dengan sebab bercampur dengan wanita raj’iyah, dan tidak boleh rujuk lagi setelahnya) yakni setelah iddah dasar dan bisa terhubung baginya talak hingga habis masa iddah karena untuk ihtiyath dan memberatkan baginya karena kelalaiannya, dan tidak sahlah ilak darinya [wanita], dhihar, li’an, dan tidak berhak nafakah dan pakaian. Dan wajib di berikan tempat tinggal dan tidak di kenakan had dengan sebab menyetubuhinya. dan baoleh baginya [mantan suaminya] menikah dengan istri ke empat. Maksud dengan mukhalathah adalah ia berkekalan dalam keadaannya bersamanya [istrinya yang raj’iyah] sebagaimana sebelum di talak dalam hal tidurnya bersamanya malam dan siang dan bekhulwah dengannya dan hal-hal lainnya.

والحاصل أنه إن عاشرها بغير وطء كخلوة أو بوطء فإن كانت رجعية لم تنقض عدتها بالأقراء لا بالأشهر بالنسبة للحوق الطلاق وانقضت بالنسبة للرجعة فلا رجعة بعد الأقراء أو الأشهر وللتوارث فلا توارث بينهما فإذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها أتمت على ما مضى من عدتها قبل المعاشرة إن كان وإلا فلا معاشرة بأن استمرت المعاشرة من حين الطلاق فتستأنف العدة من حين زوال المعاشرة وإن كانت بائنا فلا عبرة بالمعاشرة بغير وطء ولا بوطء بلا شبهة أما إن عاشرها بوطء بشبهة فكالرجعية في أنها لا تتزوج حتى تنقضي عدتها من انقطاع المعاشرة وليست كالرجعية مطلقا فلا يلحقها الطلاق وله أن يتزوج نحو أختها أما عدة الحمل فلا أثر للمعاشرة فيها ولو مع الوطء فتنقضي بوضعه
Hasyiyah al-Qulyubi dan Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 49 (al-Haramain) dan hal. 272 (Toha Putra) ;
ولو وطئ الزوج - مع المعاشرة - البائن عالما انقضت لأنه وطء زنى لا حرمة له أو جاهلا، أو الرجعية مطلقا فقد تقدم في الفصل السابق أن الوطء يجب به عدة تبتدأ منه وتدخل فيها بقية الأولى لكن لا تشرع الرجعية فيها ما دام الزوج يطؤها كما قاله في التتمة ولو كانت المعاشرة في عدة حمل انقضت بوضعه بلا شك مطلقا.
قوله: (في عدة حمل انقضت مطلقا) وإن كان الحمل من وطئه لها بعد المفارقة لاتحاد صاحب العدة فيهما.
Dan jika suami menyetubuhi dalam keadaan bergaul bersamanya akan istrinya yang sudah ba-in sedangkan ia mengetahui hukumnya maka iddahnya tetap berlalu karena hubungan jimak tersebut adalah zina yang sama sekali tidak mendapat kehormatan, atau dalam keadaan ia tidak mengetahui (hukumnya) atau yang di setubuhi adalah istrinya yang raj’iyah secara mutlaq maka sungguh telah terdahulu pada fashal sebelumnya bahwa bersetubuh (dalam masa iddah) mewajibkan iddah (lain) yang dia mulain. Dan dalam iddah tersebut masuk sisa iddah pertama, tetapi ia tidak memasuki dalam iddah selama suaminya masih menyetubuhinya sebagaimana tersebut dalam kitab Tatimmah. Dan jika mu’asyarah tersebut terjadi dalam iddah hamil maka iddahnya habis dengan melahirkan dengan tanpa keraguan secara mutlaq.
kata mushannif (dalam iidah hamal maka habislah iddahnya secara mutlaq) walaupun hamil tersebut terjadi dari jimaknya yang terjadi setelah berpisah (talak) karena bersatu empunya iddah pada keduanya.

Hasyiah Bujairimi ‘ala Syarah Manhaj Jilid 4 hal 112 Dar Kutub Ilmiyah.
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش

Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 4 (al-Haramain) ;
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Hasyiyah I’anath al-Thalibin, Juz. IV, hal. 51 (al-Haramain) ;
(وتنقطع عدة) بغير حمل (بمخالطة) مفارق لمفارقة (رجعية فيها) لا بائن ولو بخلع كمخالطة الزوج زوجته بأن كان يختلي بها، ويتمكن عليها ولو في الزمن اليسير سواء أحل وطئ أم لا فلا تنقضي العدة لكن إذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها كملت على ما مضى، وذلك لشبهة الفراش كما لو نكحها حائلا في العدة فلا يحسب زمن استفراشه عنها بل تنقطع من حين الخلوة ولا يبطل بها ما مضى فتبني عليه إذا زالت ولا يحسب الاوقات المتخللة بين الخلوات، (و) لكن (لا رجعة) له عليها (بعدها) أي بعد العدة بالاقراء أو الاشهر على المعتمد وإن لم تنقض عدتها لكن يلحقها الطلاق إلى انقضائها، والذي رجحه البلقيني أنه لا مؤنة لها بعدها وجزم به غيره فقال: لا توارث بينهما ولا يحد بوطئها.











[1] Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi ‘ala Manhaj Jilid 4 hal 113 Dar Kutub Ilmiyah

Selasa, 26 Maret 2019

Hukum Qadhi Liar




Diskripsi Masalah

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya meminta dinikahkan oleh qadhi liar (bukan qadhi resmi/KUA)?
Jawab:
Qadhi liar (muhakkam) tidak sah menjadi wali nikah kecuali tidak ada wali lain baik wali nasab, wali hakim (walau hakim dharurah) dan atau ada wali hakim tetapi ia hanya mau menikahkan dengan  pembayaran yang memberatkan kedua pihak calon suami istri.
Penjelasan.
Seorang wanita dalam akad pernikahan mesti diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)
Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.
Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita yang masih perawan. Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Ketika keduanya tidak ada maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut:
1.      Saudara laki-laki seibu sebapak
2.      Saudara laki-laki se bapak
3.      Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
4.      Anak saudara laki-laki sebapak.
5.      Paman seibu sebapak
6.      Paman sebapak
7.      Anak paman se ibu sebapak
8.      Anak paman sebapak.

Perwalian dengan sebab kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. Selanjutnya bila wali nasab tidak diperdapatkan, maka berpindah selanjutnya kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak dari perbudakan. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.
Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita berada di pihak KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Beberapa tempat yang perwalian nikahnya berada di tangan hakim sebagaimana disebutkan oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh adalah sebagai berikut :

  1. Tidak ada wali sama sekali.
  2.   Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah dan pada tempat tersebut tidak ada wakil wali aqrab. 
  3.  Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
  4. Tidak diketahui keberadaan wali, dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan bila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia adalah wali aqrab dan  telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad
  5. Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Apabila wali enggan menikahkan mempelai wanita sampai ketiga kalinya, maka hal tersebut bisa berakibat kepada fasiknya wali tersebut bila amalan taatnya tidak lebih besar sehingga hak wali berpindah kepada wali ab`ad. 
  6.  Wali sedang melakukan ihram. 
  7. Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada)  maka yang menjadi wali adalah hakim.
Secara umum ketentuan (dhabit) tempat-tempat yang menjadi wali hakim adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak wali berada di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”.
Hal-hal yang menjadi penghalang (mani`) hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad.
Apabila kedua calon mempelai tidak menemukan semua golongan wali pernikahan tersebut, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam. 
 Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :
  1.  Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
  2. Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid. Maka dalam selain kondisi di atas muhakkam tidak sah menikahkan. 



Sumber:
Imam Sayyid al-Bakri, Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318, cet. al-Haramain.

Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)

Sayyid bakri syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jld III hl 318 (Haramain)
Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), h. 226-227.







Senin, 25 Maret 2019

Hukum hadir wali pada akad nikah yang diwakilkan



Diskripsi Masalah
 
Dalam sebuah acara akad pernikahan, setelah wali mempelai wanita mewakilkan untuk menikahkan putrinya kepada salah seorang kepala KUA. Tiba-tiba kepala KUA tersebut menyuruh ayah mempelai wanita tersebut untuk pergi dan jangan menyaksikan akad pernikahan tersebut. Dengan hati yang sedih ia pun pergi walaupun hatinya ingin sekali menyaksikan acara akad nikah putri semata wayangnya.
Pertanyaan:
Benarkan bila seorang wali telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain maka ia tidak boleh menghadiri majelis akad nikah tersebut?
Jawaban:
Pemahaman bahwa wali nikah yang mewakilkan akad nikahnya kepada pihak lain tidak boleh menghadiri akad nikah tersebut adalah pemahaman yang keliru. Kehadiran wali dalam akad nikah tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sah atau tidaknya akad nikah yang sedang dilangsungkan.
Uraian.
Dalam akad nikah ada beberapa hal (rukun nikah) yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah. Yaitu; calon suami dan istri, wali dan dua orang saksi dan lafadh nikah. Masing-masing pihak yang akan melafadhkan ijab qabul (calon suami dan wali istri) boleh saja mewakilkannya kepada pihak lain.
Ketika wali mewakilkan ijab kepada pihak lain, boleh saja ia ikut menyaksikan berlangsungnya akad nikah tersebut, asalkan ia bukan sebagai saksi nikah. Bila ia hadir sebagai saksi nikah, maka akad nikah tersebut tidak sah. Misalnya yang hadir dalam majlis akad tersebut hanya seorang calon suami, wakil dari wali, wali dan satu saksi lain. Maka dalam keadaan demikian, salah satu saksi nikah adalah wali si wanita, maka nikah tersebut tidak sah. Hal ini disebabkan kedudukan wakil wali merupakan pengganti dari wali. Ketika wakil wali melangsungkan akad ijab maka seolah-olah walilah yang melakukannya. Karena itulah, wali tersebut tidak boleh menjadi saksi nikah. Karena dalam akad nikah seorang wali tidak boleh merangkap sebagai saksi. Untuk sah akad tersebut, minimalnya harus hadir satu orang laki-laki adil lain yang menjadi saksi kedua bagi akad nikah tersebut.
Sebenarnya pemahaman yang keliru tentang hal ini muncul karena salah memahami nash kitab Kifayatul Akhyar hal 135:
فلو وكل الولي والزوج أو أحدهما أو حضر الولي ووكيله وعقد الوكيل لم يصح النكاح لأن الوكيل نائب الولي والله أعلم
Artinya:“maka jika wali dan suami atau salah satu dari keduanya mewakilkan kepada orang lain atau hadir wali dan wakilnya dan dilangsungkan akad nikah maka tidak sah karena wakil adalah penggati waly”

Sebenarnya maksud dari nash kitab Kifayatul Akhyar tersebut adalah wali yang telah mewakilkan akad nikah tersebut hadir sebagai saksi seperti penjelasan diatas. Hal ini dikuatkan dengan memperhatikan nash-nash kitab fiqh Syafiiyah lainnya. Selain dari qaedah-qaedah fiqh kehadiran wali yang telah mewakilkan akad nikah tidaklah menjadi mani` (penghalang) bagi sahnya sebuah akad nikah.

Nash kitab Hasyiah Al Bajury jilid 2 hal 102 Cet. Toha Putra

فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد فى العقد وحضر مع أخر ليكونا شاهدين لم يصح لأنه متعين للعقد فلا يكون شاهدا فانه لا يصح لان وكيله نائب عنه فكأنه هو العاقد فكيف يكون شاهدا
Artinya; maka jika bapak atau saudara laki-laki yang sendiri mewakilkan untuk melakukan akad nikah kemudian ia juga hadir bersama satu laki-laki lain, supaya keduanya menjadi saksi niscaya tidak sahlah akan nikahnya karena ia adalah orang yang mesti menjadi pelaku akad, maka ia tidak bisa menjadi saksi. Akad nikah tersebut tidak sah karena wakil si wali merupakan pengganti wali, maka seolah-olah si walilah yang melakukan akad, maka bagaimana bisa ia juga menjadi saksi.
Fatawa Ibnu Shalah jilid 2 hal 653 Cet. Dar Ma`rifah

مسألة إذا وكل الولي بتزويج وليته وأحضر الولي شاهدا لا يصح لأن الوكيل نائبه في التزويج فكأنه أحضر شاهدا وعاقدا

Bujairimi `ala Manhaj
ولا بحضرة متعين للولاية فلو وكل الأب ، أو الأخ المنفرد في النكاح وحضر مع آخر لم يصح ، وإن اجتمع فيه شروط الشهادة ؛ لأنه ولي عاقد ، فلا يكون شاهدا كالزوج .ووكيله نائبه

Nihayatuz Zain hal 306 Cet. Dar Fikr

فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد في النكاح وحضر مع شاهد آخر لم يصح النكاح لأنه ولي عاقد فلا يكون شاهدا كالزوج

Nash yang serupa juga terdapat dalam hampir semua kitab fiqh Syafii, seperti Fathul Wahab jilid 2 hal 95 Cet. Dar Kutub Ilmiyah, Kitab Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 3 hal 299 Cet. Dar Kutub Ilmiyah, Kitab Raudhatuth Thalibin jilid hal Cet. Dar Kutub Ilmiyah