Senin, 15 April 2019

Berkumpul dalam masa raj’iyah



Diskripsi Masalah
Pada saat terjadi keributan antara sepasang suami istri, suami mengucapkan talak kepada istrinya, namun menjelang beberapa waktu kemudian, keduanya kembali rukun seperti biasa. Karena keawamannya, suami tersebut tidak mengucapkan lafadh rujuk. Hal ini berlangsung hingga bertahun-tahun bahkan mereka telah memiliki beberapa anak. Hingga satu saat ketika mereka mulai mengikuti majlis taklim, akhirnya mereka tau bahwa ucapan talak tersebut telah memutuskan nikah mereka dan untuk rujuk harus dengan melafadhkan lafadh rujuk.
Pertanyaan:
1.       Apakah akibat yang timbul dari perbuatan mereka kembali berkumpul bersama sebelum rujuk?
2.       Bagaimana kedudukan anak mereka yang lahir setelah mereka berkumpul tersebut?

Jawaban:
Uraian Masalah.
Wanita yang di talak raj’i bila masih dalam masa iddah, maka suaminya masih bisa merujuk istrinya ke dalam ikatan nikahnya. Menurut mazhab Syafii, rujuk mesti di ucapkan, tidak bisa di padai dengan sikap suami kembali pulang ke rumah istrinya tersebut. Dalam masa iddah raj’iyah, mantan suami tersebut di larang untuk berkumpul dengan mantan istrinya.
Imam Jalal al-Mahalli mengatakan :
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Artinya: (dan ruju’ tidak hasil dengan perbuatan seperti watha’) dan muqaddimahnya, karena hal tersebut adalah di haramkan dengan sebab terjadinya talak sebagaimana akan di jelaskan natinya, sedangkan maksud dari ruju’ adalah menghalalkannya maka tidaklah hasil ruju’ itu dengannya.
Ada efek yang timbul bila suaminya tersebut kembali berkumpul dengan istrinya yang telah di cerai tersebut.
Rincian hukum Istri yang telah di talak suaminya namun kemudian mereka kembali berkumpul bersama tanpa rujuk maka rincian hukumnya adalah :
  1. Bila wanita tersebut adalah wanita yang telah di talak bain (talak tiga), maka :
    1. Bila keduanya berkumpul tanpa melakukan jimak maka iddahnya tetap berlalu seperti biasa.
    2. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak tanpa adanya syubhat yaitu keduanya tau bahwa mereka sudah bercerai dan mereka juga tau bahwa hukum melakukan hubungan tersebut adalah haram, atau mereka tidak mengetahui hukumnya namun kejahilan mereka tidak termasuk dalam katagori yang di maafkan, maka iddah wanita tersebut tetap berlalu seperti biasa. Sedangkan hubungan mereka dalam masa iddah tersebut hukumnya haram dan termasuk dalam zina yang berhak mendapatkan had.
    3. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak yang syubhat maka hukumnya sama seperti berkumpul dengan wanita raj’iyah (penjelasaanya pada point selanjutnya). Jimak yang syubhat adalah keduanya tidak tau bahwa keduanya telah bercerai atau keduanya mengetahui bahwa keduanya telah bercerai namun mereka tidak tau bahwa jimak tersebut hukumnya haram sedangkan kejahilan mereka di maafkan karena baru masuk Islam atau hidup jauh dari para ulama.
  2. Maka wanita tersebut adalah wanita raj’iyah maka :
    1. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah hamil (karena sedang hamil) maka iddahnya habis dengan melahirkan. Hamil ini boleh jadi juga hamil di sebabkan dari hubungan mereka setelah mereka bercerai tersebut.
    2. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah suci atau bulan, maka bila keduanya berkumpul (baik disertai dengan melakukan jimak atau tidak, baik ia mengetahui bahwa hukum berkumpul tersebut haram atau tidak mengetahuinya) maka iddah wanita tersebut tertahan sementara waktu selama keduanya masih berkumpul. Iddahnya baru akan di lanjutkan kembali bila laki-laki tersebut sudah berpisah dan tidak punya niat kembali lagi.
Laki-laki tersebut hanya boleh rujuk selama masa iddah talak (iddah kalau seandainya tidak terjadi berkumpul) yaitu tiga kali suci bagi yang beriddah dengan suci dan 3 bulan bagi yang beriddah dengan bulan dan masa sebelum melahirkan bila iddah dengan melahirkan.
Untuk masa setelah masa iddah dasar berlaku dua hukum yang berbeda, yaitu dalam beberapa masalah ia sama dengan wanita raj’iyah dan dalam beberapa masalah yang lain ia sama dengan wanita bain. Ia sama dengan wanita raj’iyah pada enam masalah yaitu:[1]
1.       jatuh talak
2.       wajib memberikan tempat tinggal baginya
3.       Tidak di had dengan sebab jimaknya
4.       Tidak boleh menikah dengan saudaranya yang wanita
5.       Tidak boleh menikah hingga menjadi 4 istri selain dirinya
6.       Tidak sah akad di atasnya ketika berkumpul
Dan berlaku baginya hukum wanita bain pada sembilan masalah :
1.       Tidak sah rujuknya
2.       Tidak berlaku warisan
3.       Tidak sah ila’
4.       Tidak sah dhihar
5.       Tidak sah li`an
6.       Tidak berhak nafakah baginya
7.       Tidak berhak mendapatkan pakaian
8.       Tidak sah khulu’nya
9.       Tidak wajib iwadh khulu’.
    1. Haram hukumnya bagi suami melakukan tamatu’ (bersenang-senang) dengan istrinya yang dalam masa iddah raj’iyah tanpa terlebih dahulu melafadhkan ruju’.
    2. Jimak syubhat tersebut mewajibkan mahar mitsil
    3. Jumlah mahar mitsil yang di bayar adalah satu kali, walaupun berulang kali terjadi hubungan jimak.
Status anak
Adapun status anak hasil hubungan tersebut sangat tergantung status hukum hubungan intim tersebut. Pada masalah persetubuhan yang di hukumi sebagai zina, maka anaknya adalah anak zina, tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya. Sedangkan pada masalah yang di hukumi hubungan persetubuhannya sebagai hubungan syubhat, maka anak hasil hubungan tersebut adalah anak syubhat dan terhubung nasabnya kepada kedua ayah dan ibunya tersebut.

Kesimpulan.

Note.
Wanita raj’iyah adalah wanita yang berada dalam masa iddah talal yang masih bisa rujuk yaitu talak satu dan talak dua.
Wanita bain; yaitu wanita yang sudah putus hubungan nikahnya dengan suaminya sehingga tidak bisa lagi rujuk. Bain terbagi dua; Bain kubra yaitu wanita yang sudah di talak tiga. Mantan suaminya tidak bisa kembali menikahinya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain. Bain Sughra; yaitu wanita yang di talak satu atau dua tetapi sudah habis menjalani masa iddah. Suaminya tidak bisa lagi untuk rujuk, tetapi bila ia ingin kembali maka harus melakukan akad nikah baru.

Nash Kitab Mu’tabarah
Asnal Mattalib Syarah Raudh ath-Thalib Jilid 7 hal 250 Dar Kutub Ilmiyah
(الباب الثاني في أحكامها) (فيحرم الاستمتاع بالرجعية والنظر) إليها وسائر التمتعات؛ لأنها مفارقة كالبائن (ويعزر بوطئها) إن كان عالما معتقدا تحريم الوطء ورأى الإمام ذلك لإقدامه على معصية عنده فلا حد عليه به لاختلاف العلماء في حصول الرجعة به (لا جاهلا و) لا (معتقدا حله) لعذره ومثله في ذلك المرأة. وكالوطء في التعزير سائر التمتعات (ويلزمه) بالوطء (مهر المثل ولو راجع بعده) لأنها في تحريم الوطء كالبائن فكذا في المهر
Artinya; (Bab yang ke dua pada menerangkan hukumnya/wanita raj'iyah) maka haramlah istimta' dengan wanita raj'iyah dan haram memandangnya) dan ketinggalan menikmati, karena dia telah berpisah sama seperti wanita ba-`in (dan di ta'zir dengan sebab menyetubuhinya) jika ia mengetahuidan meyakini haram bersetubuh dan pemerintah juga berkebijakan demikian karena ia telah mengerjakan perbuatan masiat di sisinya, maka tidak di kenakan had terhadap dirinya karena adanya perbedaan pendapat ulama tentang hasil ruju' dengan bersetubuh (tidak jika ia jahi dan ) tidak [di ta'zir] orang yang meyakini halal perbuatannya) karena di anggap ozor, demikian juga wanita tersebut. Dan sama halnya dengan bersetubuh adalah ketinggalan bernikmat lainnya [tamatu`] dan (wajib baginya) dengan sebab bersetubuh (membayar mahal mitsil, walaupun ia rujuk setelahnya) karena wanita raj'iyah dalam hal haram di setubuhi layaknya wanita ba-in, maka demikian juga pada masalah maharnya.

Hasyiah Ramli Kabir 'ala Asnal Mathalib jilid 7 hal 251 Dar Kutub Ilmiyah
(قوله ويلزم بالوطء مهر المثل) ظاهره مهر واحد ولو تكرر الوطء وقال البلقيني لم أر من تعرض له والقياس على ما ذكروه في الوطء في النكاح الفاسد ووطء الأب والشريك والمكاتب أنه لا يجب إلا مهر واحد.
(kata mushannif; dan wajib mahar mitsil dengan sebab jimak) secara dhahir satu mahar walaupun berulang-ulang kejadian jimak. Imam Bulqini berkata; tidak saya temukan ulama yang menerangkannya, namun secara qiyas dai masalah yang di sebutkan oleh para ulama pada jimak dalam nikah yang fasid dan jimak ayat atau syarik dan mukatab bahwa tidak wajib kecuali hanya satu kali mahar.

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh Manhaj, Juz. IV, hal. 112 (Dar al-Kutub al-Ilmiyah) ;
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش
Kesimpulannya dia sama halnya dengan wanita raj’iyah pada enam hukum; jatuh talak, wajib mendapatkan tempat tinggal, tidak di kenakan had dengan sebab bersetubuh dengannya, tidak boleh bagi suaminya menikahi saudara wanitanya, wanita keempat lain, tidak sah akad nikah atasnya yakni ketika masih berkumul. Dan baginya berlaku hukum wanita ba-in pada sembilan hukum; tidak sah rujuknya, tidak berlaku warisan di antara keduanya, tidak sah ilak darinya, dhihar, dan li’an, dan tidak wajib nafakah baginya, pakaian dan tidak sah khuluknya dengan pengertian apabila suaminya mengkhuluknya maka jatuhlah talak raj’i dan tidak wajib bayaran, karena inilah sebagian ulama berkata “tiada bagi kita seorang wanita yang bisa tertalak dan tidak sah khuluknya kecuali ini, dan apabila suaminya mati meninggalkannya iddahnya tidak berpindah ke iddah wafat sebagaimana di pahami dari kitab syarah Imam Muhammad Ramli dan Imam Qalyubi atas Imam Jalal Mahalli dan Ali Syibramalasi.

Nihayat al-Zain, hal. 376 (Dar al-Kutub al-Islamiyah) ;
(وتنقطع عدة) بالأقراء والأشهر (بمخالطة رجعية ولا رجعة بعدها) أي العدة الأصلية ويلحقها الطلاق إلى انقضاء العدة احتياطا وتغليظا عليه لتقصيره ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة ولا كسوة لها ويجب لها السكنى ولا يحد بوطئها وله أن يتزوج برابعة والمراد بالمخالطة أن يدوم على حالته التي كان معها قبل الطلاق من النوم معها ليلا أو نهارا والخلوة بها كذلك وغير ذلك
(dan putuslah iddah) dengan sebab beberapa kali suci dan beberapa bulan (dengan sebab bercampur dengan wanita raj’iyah, dan tidak boleh rujuk lagi setelahnya) yakni setelah iddah dasar dan bisa terhubung baginya talak hingga habis masa iddah karena untuk ihtiyath dan memberatkan baginya karena kelalaiannya, dan tidak sahlah ilak darinya [wanita], dhihar, li’an, dan tidak berhak nafakah dan pakaian. Dan wajib di berikan tempat tinggal dan tidak di kenakan had dengan sebab menyetubuhinya. dan baoleh baginya [mantan suaminya] menikah dengan istri ke empat. Maksud dengan mukhalathah adalah ia berkekalan dalam keadaannya bersamanya [istrinya yang raj’iyah] sebagaimana sebelum di talak dalam hal tidurnya bersamanya malam dan siang dan bekhulwah dengannya dan hal-hal lainnya.

والحاصل أنه إن عاشرها بغير وطء كخلوة أو بوطء فإن كانت رجعية لم تنقض عدتها بالأقراء لا بالأشهر بالنسبة للحوق الطلاق وانقضت بالنسبة للرجعة فلا رجعة بعد الأقراء أو الأشهر وللتوارث فلا توارث بينهما فإذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها أتمت على ما مضى من عدتها قبل المعاشرة إن كان وإلا فلا معاشرة بأن استمرت المعاشرة من حين الطلاق فتستأنف العدة من حين زوال المعاشرة وإن كانت بائنا فلا عبرة بالمعاشرة بغير وطء ولا بوطء بلا شبهة أما إن عاشرها بوطء بشبهة فكالرجعية في أنها لا تتزوج حتى تنقضي عدتها من انقطاع المعاشرة وليست كالرجعية مطلقا فلا يلحقها الطلاق وله أن يتزوج نحو أختها أما عدة الحمل فلا أثر للمعاشرة فيها ولو مع الوطء فتنقضي بوضعه
Hasyiyah al-Qulyubi dan Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 49 (al-Haramain) dan hal. 272 (Toha Putra) ;
ولو وطئ الزوج - مع المعاشرة - البائن عالما انقضت لأنه وطء زنى لا حرمة له أو جاهلا، أو الرجعية مطلقا فقد تقدم في الفصل السابق أن الوطء يجب به عدة تبتدأ منه وتدخل فيها بقية الأولى لكن لا تشرع الرجعية فيها ما دام الزوج يطؤها كما قاله في التتمة ولو كانت المعاشرة في عدة حمل انقضت بوضعه بلا شك مطلقا.
قوله: (في عدة حمل انقضت مطلقا) وإن كان الحمل من وطئه لها بعد المفارقة لاتحاد صاحب العدة فيهما.
Dan jika suami menyetubuhi dalam keadaan bergaul bersamanya akan istrinya yang sudah ba-in sedangkan ia mengetahui hukumnya maka iddahnya tetap berlalu karena hubungan jimak tersebut adalah zina yang sama sekali tidak mendapat kehormatan, atau dalam keadaan ia tidak mengetahui (hukumnya) atau yang di setubuhi adalah istrinya yang raj’iyah secara mutlaq maka sungguh telah terdahulu pada fashal sebelumnya bahwa bersetubuh (dalam masa iddah) mewajibkan iddah (lain) yang dia mulain. Dan dalam iddah tersebut masuk sisa iddah pertama, tetapi ia tidak memasuki dalam iddah selama suaminya masih menyetubuhinya sebagaimana tersebut dalam kitab Tatimmah. Dan jika mu’asyarah tersebut terjadi dalam iddah hamil maka iddahnya habis dengan melahirkan dengan tanpa keraguan secara mutlaq.
kata mushannif (dalam iidah hamal maka habislah iddahnya secara mutlaq) walaupun hamil tersebut terjadi dari jimaknya yang terjadi setelah berpisah (talak) karena bersatu empunya iddah pada keduanya.

Hasyiah Bujairimi ‘ala Syarah Manhaj Jilid 4 hal 112 Dar Kutub Ilmiyah.
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش

Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 4 (al-Haramain) ;
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Hasyiyah I’anath al-Thalibin, Juz. IV, hal. 51 (al-Haramain) ;
(وتنقطع عدة) بغير حمل (بمخالطة) مفارق لمفارقة (رجعية فيها) لا بائن ولو بخلع كمخالطة الزوج زوجته بأن كان يختلي بها، ويتمكن عليها ولو في الزمن اليسير سواء أحل وطئ أم لا فلا تنقضي العدة لكن إذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها كملت على ما مضى، وذلك لشبهة الفراش كما لو نكحها حائلا في العدة فلا يحسب زمن استفراشه عنها بل تنقطع من حين الخلوة ولا يبطل بها ما مضى فتبني عليه إذا زالت ولا يحسب الاوقات المتخللة بين الخلوات، (و) لكن (لا رجعة) له عليها (بعدها) أي بعد العدة بالاقراء أو الاشهر على المعتمد وإن لم تنقض عدتها لكن يلحقها الطلاق إلى انقضائها، والذي رجحه البلقيني أنه لا مؤنة لها بعدها وجزم به غيره فقال: لا توارث بينهما ولا يحد بوطئها.











[1] Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi ‘ala Manhaj Jilid 4 hal 113 Dar Kutub Ilmiyah

Tidak ada komentar: