Selasa, 26 Maret 2019

Hukum Qadhi Liar




Diskripsi Masalah

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya meminta dinikahkan oleh qadhi liar (bukan qadhi resmi/KUA)?
Jawab:
Qadhi liar (muhakkam) tidak sah menjadi wali nikah kecuali tidak ada wali lain baik wali nasab, wali hakim (walau hakim dharurah) dan atau ada wali hakim tetapi ia hanya mau menikahkan dengan  pembayaran yang memberatkan kedua pihak calon suami istri.
Penjelasan.
Seorang wanita dalam akad pernikahan mesti diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)
Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.
Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita yang masih perawan. Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Ketika keduanya tidak ada maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut:
1.      Saudara laki-laki seibu sebapak
2.      Saudara laki-laki se bapak
3.      Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
4.      Anak saudara laki-laki sebapak.
5.      Paman seibu sebapak
6.      Paman sebapak
7.      Anak paman se ibu sebapak
8.      Anak paman sebapak.

Perwalian dengan sebab kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. Selanjutnya bila wali nasab tidak diperdapatkan, maka berpindah selanjutnya kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak dari perbudakan. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.
Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita berada di pihak KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Beberapa tempat yang perwalian nikahnya berada di tangan hakim sebagaimana disebutkan oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh adalah sebagai berikut :

  1. Tidak ada wali sama sekali.
  2.   Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah dan pada tempat tersebut tidak ada wakil wali aqrab. 
  3.  Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
  4. Tidak diketahui keberadaan wali, dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan bila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia adalah wali aqrab dan  telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad
  5. Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Apabila wali enggan menikahkan mempelai wanita sampai ketiga kalinya, maka hal tersebut bisa berakibat kepada fasiknya wali tersebut bila amalan taatnya tidak lebih besar sehingga hak wali berpindah kepada wali ab`ad. 
  6.  Wali sedang melakukan ihram. 
  7. Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada)  maka yang menjadi wali adalah hakim.
Secara umum ketentuan (dhabit) tempat-tempat yang menjadi wali hakim adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak wali berada di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”.
Hal-hal yang menjadi penghalang (mani`) hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad.
Apabila kedua calon mempelai tidak menemukan semua golongan wali pernikahan tersebut, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam. 
 Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :
  1.  Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
  2. Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid. Maka dalam selain kondisi di atas muhakkam tidak sah menikahkan. 



Sumber:
Imam Sayyid al-Bakri, Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318, cet. al-Haramain.

Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)

Sayyid bakri syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jld III hl 318 (Haramain)
Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), h. 226-227.







Tidak ada komentar: