Selasa, 26 Maret 2019

Hukum Zakat Sarang Walet




Diskripsi Masalah
Salah satu usaha yang membuahkan hasil yang menggiurkan adalah usaha walet, walaupun saat ini harga sarang burung ini menurun drastis. Dengan walet, Allah telah banyak memberikan kekayaan bagi pengusaha walet.
Pertanyaan:
Apakah sarang walet wajib di zakati?
Jawab:
Sarang walet tidak termasuk dalam harta yang wajib di zakati.

Pada masa Rasulullah SAW memang belum di temukan pemanfaatan sarang wallet, sehingga tidak ada hadits atau atsar shahabat yang menerangkan kewajiban zakat pada sarang wallet ataupun menafikan kewajibannya. Maka untuk mengetahui wajib atau tidaknya sarang burung wallet kita harus melihat kepada beberapa komoditi lain yang juga hasil dari hewan yang telah ada pada masa Rasulullah SAW di jazirah Arab, misalnya wol, madu dan susu yang banyak di perdapatkan pada masa Nabi.
Tidak ditemukan satu riwayatpun baik berupa perbuatan maupun perkataan Nabi yang mengisyaratkan kepada wajibnya zakat pada susu dan telur, kalau seandainya wajib pasti akan ada riwayat yang menyebutkannya sebagaimana ada riwayat Nabi yang menerangkan kewajiban zakat pada tanaman kurma dan anggur.
Kewajiban zakat hanya berlaku kepada komoditi yang memang ada nashnya dari Rasulullah SAW secara shareh atau isyarah. Maka kewajiban zakat tidak dapat di berlakukan secara umum kepada seluruh komoditi yang memiliki nilai produktif.
Karena ada dugaan ada hadist dan karena berpegang kepada pendapat shahabat Abu Bakar, maka Imam Syafii dalam satu riwayat dalam qaul qadim beliau berpendapat wajib zakat pada madu. Hal ini berdasarkan hadits yang menceritakan Bani Syababah memberikan madu kepada Rasulullah SAW.

عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ بَنِي شَبَابَةَ بَطْنٌ مِنْ فَهْمٍ كَانُوا يُؤَدُّونَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ نَحْلٍ كَانَ عَلَيْهِمُ الْعُشْرَ مِنْ كُلِّ عَشْرِ قِرَبٍ قِرْبَةً
Artinya: Di riwayatkan dari Amr bin Syu`aib dari bapak beliau dari kakek beliau; sesungguhnya Bani Syababah – satu marga dari faham (yang menempati daerah Thaif) memberikan kepada Rasulullah SAW madu sebanyak satu qirbah dari sepuluh qirbah yang mereka miliki. (H.R. Abu Daud dan Baihaqi)

Namun hadits ini di anggap dhaif oleh para ulama, kalaupun di anggap shahih, pemberian tersebut bukanlah atas nama zakat tetapi hanyalah pemberian shadaqah tathawu`, atau pemberian sebagai imbalan karena Rasulullah SAW memberikan hak khusus untuk mengelola wadi Salbah. Pada masa Saidina Umar, mereka tidak lagi menyerahkan madu kepada Saidina Umar karena hak pengelolan lembah tersebut beliau cabut dari mereka. Ini membuktikan bahwa pemberian madu oleh Bani Syababah kepada Nabi merupakan imbalan atas hak pengelolaan lembah tersebut. Karena kalau seandainya wajib zakat pada madu pasti Saidina Umar akan memerintahkan untuk mengambilnya walaupun mereka tidak lagi mengelola lembah salabah.
Namun dalam qaul Jadid nya, Imam Syafii merujuk pendapat beliau tentang kewajiban zakat pada madu, karena semua hadits dan atsar shahabat yang mengisyaratkan kewajiban zakat pada madu adalah hadits dhaif. Selain itu dalam qaul jadid, mazhab Shahabat tidak dapat di jadikan hujjah. Maka hal ini di kembalikan kepada asal yaitu tidak di wajibkan zakat kecuali pada barang yang ada tersebut dalam nash.
Kesimpulannya, dalam mazhab Syafii sarang wallet tidak dikenakan kewajiban zakat karena tidak ada nash yang menerangkan kewajibannya baik secara shareh maupun secara qiyas, karena kewajiban zakat hanya berlaku pada komoditi yang tersebut dalam nash atau kepada komoditi lain yang dapat di qiyaskan kepada komoditi yang ada dalam nash.

Referensi:
1. Abu Ishaq asy-Syirazi- Muhazzab jld 1 hl 214 Dar Fikr

 واختلف قوله في العسل (فقال في القديم) يحتمل ان تجب فيه ووجهه ما روي أن بني شبابة - بطن من فهم - كانوا يؤدون إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من نحل كان عندهم العشر من عشر قرب قربة
 وقال في الجديد) لا تجب لأنه ليس بقوت فلا يجب فيه العشر كالبيض

Artinya; dan berbedalah pendapat Imam Syafii tentang madu. Beliau berpendapat dalam qaul qadim kemungkinan wajib zakat. Beliau menguatkannya dengan hadits yang diriwayatkan bahwa Bani Syaibah menyerahkan kepada Rasulullah SAW hasil madu dari mereka sebanyak 1/10 dari sepuluh qirbah. Beliau berpendapat dalam qaul jadid, tidak wajib karena madu tidak termasuk dalam makanan pokok maka tidak wajib zakat 1/10 padanya.

2. Imam Nawawi-Majmuk Syarah Muhazzab jld7 hl 7 Dar Kutub Ilmiyah

 قال البيهقي وحديث معاذ ابن جبل وأبي موسى الأشعري رضي الله عنهما أعلى وأولى أن يؤخذ به يعني روايتهما إن النبي صلى الله عليه وسلم قال لما لما بعثهما إلى اليمن " لا تأخذا في الصدقة إلا من هذه الأصناف الأربعة الشعير والحنطة والتمر والزبيب " (وأما) المذكور عن ابن عباس فضعيف أيضا والأثر المذكور عن أبي بكر الصديق رضي الله عنه ضعيف أيضا ذكره الشافعي وضعفه هو وغيره واتفق الحفاظ على ضعفه واتفق أصحابنا في كتب المذهب على ضعفه
 قال البيهقي ولم يثبت في هذا إسناد تقوم به حجة قال والأصل عدم الوجوب فلا زكاة فيما لم يرد فيه حديث صحيح أو كان في معنى ما ورد به حديث صحيح
وأما حديث بني شبابة في العسل فرواه أبو داود والبيهقي وغيرهما من رواية عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده بإسناد ضعيف قال الترمذي في جامعه لا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم في هذا كبير شئ فقال البيهقي قال الترمذي في كتاب العلل قال البخاري ليس في زكاة العسل شئ يصح فالحاصل أن جميع الآثار والأحاديث التي في هذا الفصل ضعيفة

3. Imam Nawawi-Majmuk Syarah Muhazzab jld7 hl 7 Dar Kutub Ilmiyah

وأما) العسل ففيه طريقان (أشهرهما) وبه قال المصنف والا كثرون فيه القولان (الصحيح) الجديد لا زكاة (والقديم) وجهان (والثاني) القطع بأن لا زكاة فيه وبه قطع الشيخ أبو حامد والبندنيجي وآخرون ومن الأصحاب من قال لا تجب في الجديد وفي القديم قولان والمذهب لا تجب لعدم الدليل على الوجوب قال أصحابنا والحديث المذكور ضعيف كما سبق قالوا ولو صح لكان متأولا ثم اختلفوا في تأويله فقيل يحمل على تطوعهم به وقيل إنما دفعوه مقابلة لما حصل لهم من الاختصاص بالحمى ولهذا امتنعوا من دفعه إلى عمر رضي الله عنه حين طالبهم بتخلية الحمى لسائر الناس
Artinya; dan adapun madu, maka padanya ada dua thariq. Thariq yang masyhur dan yang disebutkan oleh mushannif [Abu Ishaq asy-Syirazi] dan kebanyakan ulama pada madu ada dua pendapat. Pendapat yang shahih dan merupakan pendapat jadid tidak wajib zakat. Pendapat qadim ada dua wajah. Thariq kedua qatha’ bahwa tidak wajib zakat.

Hukum Qadhi Liar




Diskripsi Masalah

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya meminta dinikahkan oleh qadhi liar (bukan qadhi resmi/KUA)?
Jawab:
Qadhi liar (muhakkam) tidak sah menjadi wali nikah kecuali tidak ada wali lain baik wali nasab, wali hakim (walau hakim dharurah) dan atau ada wali hakim tetapi ia hanya mau menikahkan dengan  pembayaran yang memberatkan kedua pihak calon suami istri.
Penjelasan.
Seorang wanita dalam akad pernikahan mesti diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)
Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.
Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita yang masih perawan. Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Ketika keduanya tidak ada maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut:
1.      Saudara laki-laki seibu sebapak
2.      Saudara laki-laki se bapak
3.      Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
4.      Anak saudara laki-laki sebapak.
5.      Paman seibu sebapak
6.      Paman sebapak
7.      Anak paman se ibu sebapak
8.      Anak paman sebapak.

Perwalian dengan sebab kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. Selanjutnya bila wali nasab tidak diperdapatkan, maka berpindah selanjutnya kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak dari perbudakan. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.
Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita berada di pihak KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Beberapa tempat yang perwalian nikahnya berada di tangan hakim sebagaimana disebutkan oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh adalah sebagai berikut :

  1. Tidak ada wali sama sekali.
  2.   Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah dan pada tempat tersebut tidak ada wakil wali aqrab. 
  3.  Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
  4. Tidak diketahui keberadaan wali, dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan bila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia adalah wali aqrab dan  telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad
  5. Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Apabila wali enggan menikahkan mempelai wanita sampai ketiga kalinya, maka hal tersebut bisa berakibat kepada fasiknya wali tersebut bila amalan taatnya tidak lebih besar sehingga hak wali berpindah kepada wali ab`ad. 
  6.  Wali sedang melakukan ihram. 
  7. Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada)  maka yang menjadi wali adalah hakim.
Secara umum ketentuan (dhabit) tempat-tempat yang menjadi wali hakim adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak wali berada di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”.
Hal-hal yang menjadi penghalang (mani`) hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad.
Apabila kedua calon mempelai tidak menemukan semua golongan wali pernikahan tersebut, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam. 
 Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :
  1.  Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
  2. Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid. Maka dalam selain kondisi di atas muhakkam tidak sah menikahkan. 



Sumber:
Imam Sayyid al-Bakri, Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318, cet. al-Haramain.

Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)

Sayyid bakri syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jld III hl 318 (Haramain)
Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), h. 226-227.







Hukum Asuransi


Asuransi merupakan hal yang baru, asuransi baru didefinisikan pada kurun abad ke-14 miladiah di italia dengan bentuk asuransi al-bahry (asuransi laut)
Asuransi terbagi dua yaitu: asuransi ta’awunidan asuransi
1.      Asuransi ta’awuni
أما التأمين التعاوني: فهو أن يتفق عدة أشخاص على أن يدفع كل منهم اشتراكاً معيناً، لتعويض الأضرار التي قد تصيب أحدهم إذا تحقق خطر معين. وهو قليل التطبيق في الحياة العملية.
Asuraransi ta’awuni : kesepakatan beberapa orang untuk setiapnya memberikan barang dengan kesepakatan Syirkah Mu’aiyanah, tujuannya untuk membantu mengurangi kemudharatan yang menimpa salah satu dari mereka, sesuai dengan kerugian yang telah disetujui, dan asuransi ini sangat sedikit dipraktekkan dalam kehidupan sekarang.
2.      Asuransi biqisth tsabit
وأما التأمين بقسط ثابت: فهو أن يلتزم المؤمَّن له بدفع قسط محدد إلى المؤمِّن: وهو شركة التأمين المكونة من أفراد المساهمين، يتعهد ( أي المؤمن ) بمقتضاه دفع أداء معين عند تحقق خطر معين. وهو النوع السائد الآن. ويدفع العوض إما إلى مستفيد معين أو إلى شخص المؤمن أو إلى ورثته، فهو عقد معاوضة ملزم للطرفين.
Asuransi biqisth tsabit: kewajiban bagi Mu’amman lah (nasabah) untuk memberikan bagian yang telah ditentukan kepada mu’ammin (pihak perusahaan asuransi). Asuransi ini adalah asuransi yang lahir dari cabang perusahaan. Mu’ammin menjamin dengan sesuai kesepakatan untuk memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang telah ditentukan.  Dan asuransi seperti inilah yang sering dipraktekkan dalam kehidupan sekarang. Pihak asuransi akan memberikan ganti rugi kepada orang yang telah membayar asuransi, kepada orang yang telah dijamin dan kepada ahli warisnya. Dan asuransi ini adalah akad saling memberi yang diwajibkan terhadap dua pihak.
Perbedaan diantara dua macam asuransi ini adalah sesungguhnya kepengurusan (perusahaan perseroan) asuransi ta’awuni bukan pihak yang terasing dari muamman lah (nasabah). Dan anggotanya tidak berusaha untuk mengambil laba dari asuransi tersebut akan tetapi tujuan mereka adalah berusaha untuk meringankan beban yang menimpa sebagian anggota mereka.  Adapun asuransi biqisth tsabit pihak pemberi jaminan berusaha untuk mengumpulkan laba yang telah pasti dari banyaknya jumlah nasabah. Dan keadaan nasabah tidak memperoleh apapun pada situasi tertentu maka tidak dapat menafikan asuransi ini termasuk kedalam transaksi muawadhah karena kebiasaan akad ihtimaly adalah salah satu yang bertransaksi kadang kadang tidak mendapat hasilnya.
 Dan dihukumi boleh juga asuransi ilzamiy, seperti asuransi diwajibkan bagi kendaraan untuk diberikan ketika terjadi kecelakaan. Dan dihukumi boleh juga asuransi al-ijtima’i,yaitu asuransi yang diberikan bagi yang lemah, tua, sakit dan pensiun.

Adapun hukum asuransi biqisth tsabit dalam fatawa Ibnu Abidi; Ibnu Abidin berfatwa tentang haramnya asuransi laut, untuk membayar barang yang telah binasa berupa barang-barang yang di bawa masuk melalui laut dengan menggunakan kapal. Maka bagi pedagang tidak boleh mengambil asuransi kerusakan dari harta muammi karena tiga sebab:
1.      Karena pada aqad ini ada upaya untuk mewajibkan sesuatu yang tidak wajib. Karena disini tidak ada sebab syar’i yang empat: yaitu
a.       Permusuhan berupa pembunuhan, penghancuran, kebakaran, dan lainnya.
b.      Dan tidak ada sebab upaya penghilangan seperti menggali sumur yang tidak ada rukhsah pada jalan umum.
c.       Tindakan kriminal seperti perampasan dan pencurian
d.      Harta pada kekuasaan penjual
e.       Tanggungan
2.      Asuransi ini tidak masuk kedalam tanggungan titipan yang mana bisa diambil ganti rugi jika rusak atau hilang. Karena hartanya tidak pada tangan si muammin akan tetapi hartanya pada pemilik kapal. Dan seandainya pemilik kapal termasuk muammin maka pemilik kapal tersebut adalan pemberi sewa yang bersyarikat bukan orang yang menerima titipan, dan tiap penerima titipan dan yang memberi jasa sewa yang bersyarikat tidak membayar barang selama tidak mungkin menjaganya, seperti meninggal, tenggelam dan terbakar yang biasa.
3.      Asuransi ini tidak termasuk kedalam tanggungan taghrir karena orang yang menipu harus mengetahui bahayanya.  Dan orang yang ditipu tidak tahu dengan bahaya tersebut. Dan si muammin tidak bermaksud untuk menipu si pedagang dan tidak mengetahui dengan kejadian bahaya seperti tenggelam. Dan dia tidak mengetahui apakah kapal akan tenggelam atau tidak. Adapun jika si muammin dan pedagang tahu dengan bahayanya, seperti bahaya dari pencurian dan pembajakan dijalan, maka boleh dhaman (bayar), akan tetapi asuransi tidak sesuai dengan dhaman tersebut.. jika seseorang berkata bagi yang lain: tempuhlah jalan ini jika ada yang ditakuti atau yang mengambil hartamu maka aku sebagai tanggungannya, maka hal ini boleh di bayar.
Dan Ibnu ‘Abidin menyatakan bahwa sesungguhnya jika berlaku akad asuransi fasid di negeri kafir antara---------------------

Dan tidak boleh menggolongkan asuransi kedalam syirkah mudharabah (yang mana harta ditanggung dari satu pihak dan pihak lain yang berkerja),  karena dua sebab:
1.      Karena harta yang disetor oleh nasabah  termasuk kedalam syirkah kepemilikan dengan penanggung. Dengan demikian maka penanggung berhak menggunakan harta tersebut untuk usaha apa saja. Dan hal ini akan merugikan nasabah jika tidak beruntung.
2.      Karena syarat sah mudharabah adalah bahwa keuntungan harus dibagi antara pemilik modal dan pengelola dengan kadar yang sesuai keuntungan seperti ¼ atau 1/3 sedangkan pada asuransi disyaratkan kepada nasabah kadar yang telah ditentukan dari laba seperti 3 persen atau 4 persen. Maka jika seperti ini mudharabah maka tidak sah. --------\
Dan tidak sah menggolongkan asuransi kedalam dhaman atau kafalah karena asuransi tidak termasuk kedalam sebab dhaman yang empat yang telah lalu. Begitu juga kebanyakan pemahaman bahwa akad asuransi yang mana tidak ditemukan peluang untuk dikategorikan kedalam  kafalah dan walaupun bisa ditemukan makfulnya ( seperti asuransi kendaraan jaman sekarang) akan tetapi makfulnya tidak diketahui.
Pada hakikatnya akat asuransi ini termasuk kedalam akat ghuruf yaitu akat yang tidak jelas dan diragukan diantara ada dan tidak adanya ma’qud alaih dan sesungguhnya rasulullah telah melarang dari pada jual beli ghurur. Kemudian diqiaskan kepadanya seluruh aqad Muawadhah maliah maka ghurur dapat mempengaruhinya sebagaimana ghurur mempengaruhi aqad jual beli. Dan aqad asuransi termasuk kedalam aqad muawadhah malia. Maka ghurur mempengaruhinya juga sebagaimana ghurur mempenguruhi aqad muawadhah maliah yang lain. Dan penulis undang-undang telah memasukkannya kedalam aqad ghurur. Karena asuransi adalah kejadian yang akan datang yang tidak tentu kepastian kejadiannya. Dan asuransi termasuk unsur yang tidak terlepas dari aqad asuransi ini.
Unsur ghurur sangat banyak terdapat dalam asuransi ini, tidak sedikit, bahkan tidak pertengahan karena rukun asuransi adalah “membahayakan” dan bahaya tersebut adalah hal yang tidak pasti dan tidak tergantung terhadap kehendak pengaqad.
 Dan adapun hajat yang karenanya membolehkan akad yang mengandung ghurur sekalipun ghurur tersebut banyak. Dan hajat adalah:
أن يصل المرء إلى حالة بحيث لو لم يتناول الممنوع يكون في جهد ومشقة، ولكنه لا يهلك
Sampai seseorang pada keadaan yang seandainya jika tidak melakukan yang dilarang maka orang tersebut berada dalam kesusahan dan kesulitan akan tetapi tidak sampai pada tahap binasa.
Dan hajat yang membolehkan untuk melakukan yang dilarang adalah hajat yang umum atau hajat yang khusus pada satu golongan atau hajad yang telah tertentu.
Adapun hajat yang umum adalah kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh seluruh manusia. Hajad khas adalah kebutuhan yang khusus pada satu kelompok dari manusia seperti masyarakat desa atau kelompok tukang.
Dan pengertian hajat mu’aiyinah adalah menempuh seluruh cara yang disyari’atkan untuk mencapai maksud tersebut selain dari aqad yang terdapat gharar didalamnya.
Nah, seandainya kita setuju jika dalam asuransi terdapat hajat yang dibutuhkan oleh seluruh manusia akan tetapi untuk mencapai kebutuhan itu tidak mesti dengan asuransi tersebut (biqist tsabit) karena kemudharatan tersebut dapat dihilangkan dengan menggunakan asuransi ta’awuni atas dasar tabarru’ (sukarela)--------
Pembagian asuransi dari segi bentuknya:
1.      Asuransi ta’awuni:
وهوأن يشترك مجموعة من الأشخاص بدفع مبلغ معين، ثم يؤدى من الاشتراكات تعويض لمن يصيبه ضرر.
2.      Asuransi at-tajary atau bi qisthist tsabit
وهو المراد عادة عند إطلاق كلمة التأمين، وفيه يلتزم المستأمن بدفع قسط معين إلى شركة التأمين القائمة على المساهمة، على أن يتحمل المؤمِّن (الشركة) تعويض الضرر الذي يصيب المؤمَّن له أو المستأمن. فإن لم يقع الحادث فَقَد المستأمن حقه في الأقساط، وصارت حقاً للمؤمِّن.
Pembagian asuransi dari segi objek tujuannya
1.      Asuransi dharar
هو يتناول المخاطر التي تؤثر في ذمة المؤمَّن له، لتعويضه عن الخسارة التي تلحقهوهذا يشمل:التأمين منالمسؤولية: وهو ضمان المؤمَّن له ضد مسؤوليته عن الغير الذي أصيب بضرر، مثل حوادث السير، والعمل.والتأمين على الأشياء: وهو تعويض المؤمَّن له عن الخسارة التي تلحقه في ماله، بسبب السرقة أو الحريق أو الفيضان، أو الآفات الزراعية ونحو ذلك.



2.      Asuransi syakhash
وهو يشمل:التأمين على الحياة: وهو أن يلتزم المؤمّن بدفع مبلغ لشخص المستأمن أو للورثة عند الوفاة، أو الشيخوخة، أو المرض أو العاهة، بحسب مقدار الإصابة. والتأمين من الحوادث الجسمانية: وهو أن يلتزم المؤمّن بدفع مبلغ معين إلى المؤمن له في حالة إصابته أثناء المدة المؤمن فيها بحادث جسماني، أو إلى مستفيد آخر إذا مات المستأمن.
Asuransi ditinjau dari segi umum dan khusus
1.      Asuransi khusus
هوخاص بشخص المستأمن من خطر معين
2.      Asuransi umum
يشمل مجموعة من الأفراد يعتمدون على كسب عملهم، من أخطار معينة، كالمرض والشيخوخة والبطالة والعجز، وهذا في الغالب يكون إجبارياً، ومنه التأمينات الاجتماعية، والصحية والتقاعدية.


Dan tidak diragukan lagi tengtang kebolehan asuransi ta’awuni menurut ulama fuqaha modern karen didalamnya ada aqad tabarru’ dan termasuk kedalam golongan tolong menolong yang dianjurkan oleh syara’  dan kerena tiap anggota memberikan sesuatu kepada kawannya untuk meringankan beban kemudharatan yang menimpanya. Kemudharatan disini adalah kemudharatan apapun, baik untuk asuransi jiwa, asuransi catat anggota, asuransi untuk harta benda karena kebakaran atau pencurian atau hewan mati,  asuransi jasa  berupa kecelakaan dalam perjalanan dan kecelakaan kerja, dan asuransi seperti ini dibolehkan karena tidak ada tujuan untuk mengeruk keuntungan.