Minggu, 07 April 2019

BAB II PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT KONSEP AL-ISHLAH


BAB DUA
PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT
KONSEP AL-ISHLAH

2.1.      Pengertian dan Dasar Hukum al-Ishlah
2.1.1.   Pengertian al-Ishlah
Secara bahasa, Ishlah berasal dari lafazh  صلح  - يصلح  - صلح yang berarti baik, Kata Ishlah merupakan bentuk mashdar dari wazan إفعال   yaitu dari lafazh اصلاح  – يصلح  –اصلح  yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian per­tikaian). Kata  صلاح  merupakan lawan kata dari سيئة /فساد   (rusak). Sementara kata اصلح  biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Dalam pengertian bahasa Ash-Shulhu atau al-ishlah adalah memutus pertengkaran atau perselisihan. Dan dalam pengertian syari’at adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.[1]
Secara istilah, term ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.[2]

Para ulama mendefinisikan  al-ishlah adalah:
1.      Sayid Sabiq (1336 H – 1421 H)  menerangkan bahwa ishlah merupakan su­a­tu jenis akad un­tuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang ber­musuhan. Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang menga­dakan ishlah tersebut dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan disebut dengan Mushalih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushalih 'alaih.[3]
2.      Menurut Imam Taqiy Al Din Abu Bakr, Ibnu Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar al-ishlah adalah:[4]
الَعَقْدٌ الَذِي يَنْقَطِعٌ بِهِ حُصُوْمَةُ المُتَخاَصِمَيِنِ
Artinya : Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih
3.      T.M Hasby ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fikih Muamalah berpendapat bahwa yang dimaksud Ishlah adalah:[5]
عَقْدُ يَتَّفَقُ فِيِهِ المُتَنَازِعاَنِ فِي حَّقِ عَلَى ماَ يَرْتَفِعُ بِهِ النِزاَعُ 
Artinya : Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad tersebut dapat hilang perselisihan
4.      Menurut Syekh Ibrahim al-Bajuri yang dikutip oleh Said Agil Husen Al-  Munawar dituliskan bahwa yang dimaksud al-ishlah adalah:[6]
عَقْدُ يَحْصُلُ بِهِ قَطْعُهاَ
Artinya : Akad yang berhasil memutuskannya
Sedangkan pengertian ishlah menurut para pakar hukum Islam dari empat mazhab berbeda pendapatnya:
1.    Menurut Ulama Hanafiah al-ishlah adalah:[7]
الَحُكْمُ بَيْنَ الَّنَاسِ بِاّلحَّقِ وَالّحُكْمُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: Menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT.
2.    Menurut Ulama Malikyyah al-ishlah adalah:[8]
حَقِيْقَةُ الَقَضَاءِ الَأخْبَارُ عَنْ حُكْمِ شَرْعِي عَلَي سَبِيْلِ الإِلْزَامِ
Artinya: Hakikat qadla adalah pemberitaan terhadap hukum syar’i menurut jalur yang pasti (mengikat).
3.    Menurut Ulama Syafi’iyah al-ishlah adalah:[9]
فَصْلُ خُصُوْمَةِ بَيْنَ خَصِيْمَيْنِ فَاَكْثَرَ بِحُكْمِ اللَّهِ تَعَالَي
Artinya: Memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT.
4.    Menurut Ulama  Hanabilah al-ishlah adalah:[10]
تَنْبِيْه وَالِإزَامُ بِهِ وَصَلَ الخُصُوْمَاتِ
Artinya: Penjelasan dan kewajibannya, serta penyelesaian persengketaan.   
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam ishlah merupakan tindakan mendamaikan, memperbaiki, menghilangkan sengketa yang menjadi kewajiban umat Islam baik personal maupun sosial. Penekanan Ishlah ini lebih difokuskan pada hubungan antar sesama umat manusia dalam rangka memenuhi kewajiban kepada Allah SWT.[11]
Dengan memperhatikan perumusan Al-Ishlah di atas bahwa perjanjian perdamaian dibuat karena adanya perkara atau perselisihan diantara pihak, dimana untuk mengakhiri atau mencegah perselisihan tersebut diadakan persetujuan. Dan untuk tercapainya suatu perdamaian diantara para pihak harus ada pengorbanan yang bertimbal balik.
2.1.2.   Dasar Hukum al-Ishlah  
Dalam Islam aturan hidup telah ditetapkan melalui sumber hukum yang mutlak, yaitu Al-Qur’an sebgai sumber hukum pertama, As-Sunnah sebagai  sumber hukum kedua, ijma ulama (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga dan qiyas (analogi hukum) sebagai hukum keempat. Sumber-sumber hukum Islam tadi merupakan hirarki dalam sistem Hukum Islam. Sedangkan menurut TM. Hasby Ash-Shiddieqy, bahwa hukum dan Islam mempunyai beberapa maziyah keistimewaan dan beberapa mahsanah keindahan yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat.[12]
Perdamaian dalam Syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindar kehancuran silaturrahim (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat  diakhiri.[13]
 Adapun dasar hukum anjuran diadakannya perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al Qur’an, Sunnah rasul dan ijma’:
1.      Al Qur’an
Menurut Rahmat Rosyadi dalam bukunya Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa para pihak, apakah dibidang politik, keluarga atau bisnis, terdapat dalam surat al-Hujarat ayat 9.[14]
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# (سورةالحجرة : 9)
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S Al-Hujarat :9).
Ayat di atas mengandung perintah kepada pihak ketiga untuk mendamaikan para pihak yang sedang berselisih. Selain itu juga perintah untuk melakukan penegakan dari hasil kesepakatan perdamaian, yaitu dengan memerangi pihak yang melanggar kesepakatan damai tersebut. Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka ada dua pihak yang dapat diidentifikasi dalam sebuah proses ishlah, yaitu dua atau lebih pihak yang berselisih, dan satu pihak sebagai mediator atau mushlih (orang yang mendamaikan). Namun, bila melihat konteks surat Al-Hujurat Ayat 9 yang mengandung perintah kepada pihak ketiga, maka pada dasarnya mediator sangat penting, bahkan ketika berposisi sebagai pihak menurut ayat tersebut, hukumnya wajib untuk mendamaikan.
Sedangkan dalam Surat An-Nisa’ayat  35 Allah berfirman:[15]
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz .(سورة النساء : 35)
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Annisa’ : 35).
Allah menegaskan lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 114 yang berbunyi:[16]
žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã. .(سورة النساء: 114)
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar”. ( Q.S Annisa’: 114).
Perintah untuk berdamai dalam surat Al-Hujurat dan An-Niisa ini mempunyai arti yang sama dengan nama Islam itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai.
2.   As-Sunnah
Sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, hadis Rasul juga menunjukan peluang untuk menyelesaikan sengketa tanpa melalui badan peradilan pemerintah, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar Bin Auf Al Muzani RA.[17]
 أَّنَ رَسُوْلَ الَّلهِ صَّلَى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلْصُلْحُ جاَئِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحَا حَرَّمَ حَلَالَا أَوْ أَحَّلَ حَرَامًا وَاْلُمسْلِمُوْنَ عَلَى شرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاَ أَوْ أَحَّلَ حَرَامَا قاَلَ أَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. (رواه ترمذي).
Artinya: Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Perjanjian antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan (muamalah) orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali syarat itu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Abu Isa berkata bahwa hadits ini hasan shahih. (H.R. At-Tirmidzi)
            Disebutkan juga dalam hadist Abdullah bin Muhammad, hadist Usman Ibn Umar yang  riwayatkan Laish sebagai berikut:[18]
أَنَّ كَعْبِ بْنُ مَلِكِ أَخْبَرَهٌ أنٌّهٌ تٌقَا ضَى اِبْنُ اَبِي حَدْرَدَ دَيْناَ كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسٌوْلِ الًّلهِ صَلَّي الَّلهِ عَلَيْهِ وَسَّلمَ فِي المَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّي سَمِعَهُمَا رَسُوْلُ الَّلهِ  صَلَّي الَّلهِ عّلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ , فَخَرَجَ رَسُوْلُ الّلَهِ إِلَيْهِمَا حَّتَي كَشِفَ سَجْفَ حَجْرَتِهِ فَنَادَي كَعْبُ بْنُ ماَلِكٍ, فَقَالَ  يَا كَعْبَ, فَقَالَ لَبَيْكَ ياَ رَسُوُلَ الَّلهِ فَأَشَارَ بِيَدِهِ  أَنْ صِعْ الشَطْرَ فَقاَلَ كَعْبُ : قَدْ فَعَلْتُ ياَ رَسُوْلَ الَّلهِ, فَقَالَ رَسُوُلُ الَّلهِ قُمْ فَاَقْضِهِ. (رواه البخارى)
Artinya: Bahwsanya Ka’ab sedang menyelesaikan piutangnya dari Ibn Abi Hadrad di masjid, suara mereka meninggi hingga didengar oleh Rasullullah saw dari rumah beliau. Maka beliau keluar dan membuka tirai kamar beliau, kemudian memanggil : “Hai Ka’ab”, Ka’ab pun menjawab : “ Saya datang ya Rasullulah”. Beliau bersabda :“Turunkan hutangmu, dan ambil separuhnya saja”. Ka’ab berkata : “ Sudah saya lakukan ya Rasullulah.: Kemudian beliau bersabda (kepada Ibn Abi Hadrad) “Lunasilah hutangmu”. (H.R. Bukhari).
3.  Ijma Ulama
Ijma ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat Rasullullah SAW. Banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah dan konsensus diantara mereka sehingga menjadi yurisprudensi hukum Islam dalam beberapa kasus.
Keberadaan ijma sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al Qur’an dan As-sunnah secara terinci. Bahkan Sayyidina Umar Ibnu Khatab pernah mengatakan bahwa: Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka.[19]
Mengenai bentuk perdamaian di dalam pengadilan/ Qada’ mulai berkembang pada saat dunia Islam mengalami perkembangan pula. Hal ini dimulai ketika wilayah kekuasaan Islam semakin besar dan luas. Mulailah dibentuk lembaga Al-Qadla yang merupakan representasi bentuk pengadilan modern jaman sekarang. Dari sinilah kemudian berkembang pula acara pengadilan yang mengatur jalannya proses berperkara, dimana salah satunya adalah mengenai perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
Pengimplikasian perdamaian di dalam pengadilan bisa dan boleh dilaksanakan sebagai hasil ijtihad yang memang termasuk dalam salah satu sumber hukum dalam ajaran Islam. Disinilah sebenarnya letak keindahan dari Al-Qur’an, Allah SWT tidak menurunkan Al-Qur’an dengan segala perinciannya mengenai segala hal, karena dapat dimengerti secara logis jika Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia sampai akhir jaman maka Al-Qur’an haruslah bisa menjawab setiap perubahan zaman. Berbagai prinsip-prinsip dasar mengenai segala hal dalam Al-Qur’an memberikan lapangan yang seluasluasnya untuk kita berijtihad menjawab tantangan jaman dengan tidak melupakan prinsip-prinsip dasar yang tertera di dalam Al-Qur’an dan Hadist.
2.2.            Syarat-Syarat Penyelesaian Sengketa Dengan Al-Ishlah
Syarat-syarat Shulhu atau al-ishlah ini ada yang berhubungan dengan mushalih bihi dan ada pula yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu. Untuk syarat mushalih, adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum.[20] Orang yang melakukan perjanjian perdamaian, selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai kekuasaaan atau wewenang itu seperti:[21]
a.       Wali, atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya.
b.      Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya.
c.       Nadzir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.
Syarat-syarat mushalih bihi adalah :
a.       Bahwa ia berbentuk harta yang dapat dinilaikan, dapat diserahterimakan atau berguna.
b.      Bahwa ia diketahui secara jelas sekali, sampai pada tingkat adanya kesamaran dan ketidakjelasan yang dapat membawa kepada perselisihan, jika memerlukan penyerahan dan penerimaan.
Syarat-syarat Mushalih ‘Anhu adalah :
a.       Bahwa ia berbentuk harta yang dapat dinilaikan atau barang yang bermanfaat.dan tidak disyaratkan mengetahuinya karena tidak memerlukan penyerahan.
b.      Bahwa ia termasuk hak manusia, yang boleh di’iwadukan (diganti) sekalipun berupa harta, seperti Qishas.
Dalam ketentuan hukum Indonesia, perjanjian perdamaian itu hanya sebatas persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan keperdataan (hal-hal yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu lain), Sedangkan terhadap persolan-persoalan yang melanggar ketentuan hukum pidana (seperti pencurian, pembunuhan) tidak dapat diadakan perjanjian perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan publik atau masyarakat. Jadi, kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus atau berakhirnya penuntutan.[22]
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Menyangkut subyek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian) tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum adalah:[23]
a.       Orang yang membuat aqad perdamaian haruslah sehat akalnya, dan ia tidak perlu sudah baligh
b.      Aqad yang dibuat oleh orang gila, dungu dan anak yang belum mengerti (ghair mumayiz) mutlak tidak sah
c.       Perdamaian yang dilakukan oleh anak yang telah diberi izin oleh walinya adalah sah, asalkan penyelesaian itu tidak berakibat kerugian yang nyata. Keadaan-keadaan yang bisa berlaku dalam perdamaian yang melibatkan seorang anak adalah:
1.        Jika seseorang mengajukan gugatan yang ditujukan kepada seorang anak yang telah diberi izin, dan anak itu membuat pengakuan atas hal itu, maka hasilnya adalah sebuah bentuk perdamaian yang sah melalui pengakuan
2.        Seorang anak yang sudah diberi ijin berhak untuk membuat suatu aqad perdamaian yang sah dengan catatan ia diberi waktu untuk memikirkan tuntutannya
3.        Jika seorang anak menyetujui suatu perdamaian tentang sebagian dari tuntutannya daan disamping itu juga ia memiliki bukti untuk menunjang tuntutannya tersebut, maka perdamaian itu tidak sah, tetapi jika ia tidak memiliki bukti semacam itu, serta lawannya bersedia   untuk   diangkat   sumpah,   maka perdamaian itu sah
4.        Jika anak yang sudah diberi ijin melakukan gugatan untuk mendapatkan kembali barang dari orang lain, dan lalu membuat perdamaian tentang nilai tuntutannya, maka perdamaian itu adalah sah
5.        Suatu perdamaian yang dibuat oleh anak yang sudah diberi ijin untuk sebuah jumlah yang kecil dari nilai kekayaan yang besar, adalah tidak sah
6.        Adalah sah apabila wali seorang anak melakukan aqad perdamaian atas gugatan terhadap harta anak, dengan ketentuan perdamaian itu tidak mengakibatkan kerugian yang nyata bagi anak itu, dan bila kerugian yang nyata terjadi maka perdamaian itu tidak sah
7.        Apabila seseorang membayarkan sejumlah uang kepada seorang anak dan walinya (misal : ayahnya) membuat perdamaian dengan cara mengurangi sebagian uang itu, maka perdamaian itu tidak sah jika ada bukti yang mendukung pembayaran itu, tetapi jika bukti itu tidak ada dan walinya dapat dimintai sumpah, maka perdamaian itu adalah sah
8.        Perdamaian yang dilakukan seorang wali untuk pembayaran sejumlah uang kepada seorang anak, dengan pertimbangan bahwa barangnya sama dengan nilai tuntutan adalah sah, tetapi bila di dalam pertimbangan itu menimbulkan kerugian yang besar, maka perdamaian itu tidak sah.
Dalam Pasal 1542 dan Pasal 1543 KUHPerdata mengatur mengenai perdamaian dengan menggunakan perwakilan, yaitu:[24]
1.      Menyebutkan bahwa suatu aqad perwakilan untuk perkara di pengadilan, tidak otomatis merupakan perwakilan untuk aqad perdamaian. Jadi seorang perwakilan yang mengajukan gugatan kepada orang lain kemudian perwakilan itu melaksanakan perdamaian tanpa ijin dari orang yang menunjuk dia, maka perdamaian itu tidak sah.
2.      Seseorang menunjuk orang lain sebagai wakilnya untuk melakukan perdamaian atas suatu gugatan, dan wakilnya itu membuat suatu perdamaian, maka orang yang mewakilkan terikat dengan perdamaian itu. Wakil itu tidak bertanggung jawab pada suatu tuntutan yang dibuat dan berkaitan dengan penggantian perdamaian, kecuali jika ia sendiri sebagai penjaminnya yang dalam hal ini bertanggung jawab.
3.      jika seorang wakil membuat suatu perdamaian dengan cara pengakuan bahwa ia akan mengganti harta dengan harta lain, dan lalu ia membuat perdamaian atas namanya sendiri, maka wakil semacam ini menjadi bertanggung jawab atas semua tuntutan yang diajukan, artinya sejumlah uang yang diselesaikan dengan cara itu, bisa diperoleh dari wakil tersebut, dan wakilnya sendiri bisa menuntut terhadap orang yang mewakilkannya.
2.      Menyangkut obyek perdamaian tentang obyek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a.       Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan, dan bermanfaat.
b.      Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru terhadap obyek yang sama (sedangkan perdamaian memutus pertikaian untuk selama-lamanya)
3.      Persoalan yang boleh didamaikan tidaklah segala sesuatu persoalan dapat didamaikan (diadakan perjanjian perdamaian). Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat didamaikan hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a.       Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai.
b.      Pertikaian itu menyangkut hak manusia yang boleh digeluti Dalam perkataan lain perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah, sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak dapat diadakan perdamaian.[25]
2.3.     Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dengan Konsep Al-Ishlah
Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah Shulhu/ Ishlah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.
Perdamaian atau al-ishlah adalah suatu proses pertarungan multidimensional yang tak pernah berakhir untuk mengubah kekerasan. Perdamaian yang stabil relatif jarang terjadi. Banyak pihak yang tidak dapat menikmati perdamaian karena faktor ekonomi, politik dan sosial. Sementara ini mayoritas orang memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang. Tidak adanya perang tentunya penting, tetapi keadaan ini hanyalah langkah awal ke arah cita-cita yang lebih sempurna, dengan mendefinisikan perdamaian sebagai jalinan hubungan antar individu, kelompok dan lembaga yang menghargai keragaman nilai dan mendorong pengembangan potensi manusia secara utuh.[26]
 Tidak ada sengketa sering disebut sebagai perdamaian negatif (dingin), dan kontras dengan perdamaian positif (hangat), yang meliputi semua aspek tentang masyarakat yang baik, yang kita yakini  sendiri : hak-hak universal, kesejahteraan ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-nilai  pokok lainnya. Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara dalam islam, maka jalan pertama yang ditempuh adalah penawaran sebuah bentuk perdamaian yang bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.[27]
Konsep Ishlah dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang dipraktekkan di sejumlah Negara-negara di dunia. Penggunaan Mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru.
Mediasi adalah penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.  Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.[28]
Mediasi merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat, oleh karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya, namun seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan turut memperkuat komitmen mereka menggunakan Mediasi.[29]
Dalam bahasa Indonesia mediasi bersifat privat, proses non formal penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga yang netral, yaitu mediator yang membantu persengketaan para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat/ menentukan keputusan bagi para pihak yang bersengketa.
Di dalam Pasal 1 PERMA No 2  tahun 2003 disebutkan pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pengertian para pihak yang bersengketa dalam pasal di atas yaitu seperti disebutkan dalam Pasal 1 adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian.
Penyelesaian sengketa menurut PERMA No. 2 Tahun 2003 dilakukan dengan cara Mediasi seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :
1.      Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
2.      Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib menaati kode etika mediator.
Disebutkan lagi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003 dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3),(4). dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:[30]
1.  Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
2. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada pihak menempuh proses mediasi.
3. Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi.
4. Dalam hal para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukum, setiap keputusan yang diambil oleh kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.
Menurut ketentuan dalam Pasal 6 ayat (40) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dapat kita katakan bahwa Undang-undang membedakan mediator dalam :[31]
a.       Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak.
b.      Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.
Adapun yang menjadi kewajiban dan tugas dari suatu mediasi dapat digolongkan ke dalam 4 tahap sebagai berikut:[32]
1. Tahap pertama : dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Rapat Gabungan
b.      Statement Pembukaan oleh Mediator, dalam hal ini yang dilakukan adalah mendidik para pihak, menentukan aturan main pokok, dan membina hubungan dan kepercayaan
c.       Statement Para Pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah dengar pendapat (hearing), menyampaikan dan klarifikasi informasi, dan cara-cara interaksi
2.      Tahap kedua : Mengumpulkan dan Membagi-bagi Informasi Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah mengadakan rapat-rapat terpisah untuk:
a.       Mengambangkan informasi selanjutnya
b.      Mengetahui lebih mendalam keinginan para pihak
c.       Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya
d.      Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian masalah
3.      Tahap Ketiga: Pemecahan Masalah Dalam tahap ketiga ini yang dilakukan mediator adalah rapat bersama atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
a.       Menetapkan agenda
b.      Kegiatan pemecahan masalah
c.       Memfasilitasi kerja sama
d.      Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah
e.       Mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan
f.       Memperkenalkan pilihan-pilihan tersebut
g.      Membantu para pihak untuk mengajukan, menilai dan memprioritaskan kepentingan-kepentingannya
4.       Tahap Keempat : Pengambilan Keputusan Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Rapat-rapat bersama
b.      Melokalisir pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan masalah
c.       Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan
d.      Mengkonfirmasikan dan klarifikasi kontrak
e.       Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian masalah dengan alternative di luar kontrak
f.        Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pemecahan masalah
g.      Mengusahakan formula pemecahan masalah yang win-win dan tidak hilang muka
h.      Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya
i.        Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Menurut PERMA No 1 Tahun 2008 Proses mediasi dalam hal ini dibagi menjadi dua tahap yaitu pra mediasi dan tahap mediasi yaitu:[33]
1.      Tahap pra Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi. Kehadiran dari pihak turut Tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi, sehingga hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi dan hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.
2.      Tahap Mediasi
Ketika para pihak sepakat untuk melakukan proses mediasi, yang mana para pihak berkehendak untuk mencapai kesepakatan penyelesaian atas sengketanya. Mediasi akan berjalan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:[34]
1.      Mediator adalah seorang fasilitator yang akan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dikehendaki oleh para pihak.
2.      Mediator tidak memberi nasehat atau pendapat hukum.
3.      Para pihak yang bersengketa dapat meminta pendapat para ahli baik dari sisi hukum lainnya selama proses mediasi berlangsung.
4.      Mediator tidak dapat bertindak sebagai penasehat hukum terhadap salah satu pihak dalam kasus yang sama ataupun yang berhubungan dan ia juga tidak dapat bertindak sebagai arbiter atau kasus yang sama.
5.      Para pihak paham agar proses mediasi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan proses komunikasi yang terbuka dan jujur, selanjutnya segala bentuk negosiasi dan pernyataan baik tertulis maupun lisan yang dibuat dalam.
6.      proses mediasi akan diperlukan sebagai informasi yang bersifat tertutup dan rahasia.
Sedangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008  pada bab III pasal 13  Dalam suatu mediasi dijelaskan tentang tahap-tahap proses mediasi sesuai dengan  tentang penyerahan resume perkara dan lama proses mediasi sebagai berikut:[35]
1.             Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator
2.             Dalam waktu paling sedikit 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk
3.             Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari keja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6)
4.             Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu proses mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi
5.             Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara
6.             Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
Menurut Munir Fuady, dapat ditarik beberapa elemen dari suatu alternatif penyelesaian sengketa (selain arbitrase) yang diinginkan oleh Undang-Undang tersebut. Elemen-elemen itu adalah sebagai berikut:[36]
1.        Penyelesaian sengketa didasarkan pada unsur iqtikad baik
2.        Penyelesaian lewat pengadilan dikesampingkan
3.        Penyelesaiannya dilakukan dalam pertemuan langsung oleh para pihak (upaya tingkat pertama).
4.        Waktu penyelesaiannya paling lama 14 hari
5.        Hasil penyelesaiannya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis Apabila penyelesaian tingkat pertama (secara langsung) tidak membuahkan hasil, maka dapat ditempuh upaya tingkat kedua
6.        Upaya tingkat kedua tersebut baik berupa bantuan seorang atau lebih penasihat ahli
7.        Upaya tingkat kedua tersebut disamping berupa penasihat ahli, maupun berupa upaya melalui seorang mediator
8.        Upaya tingkat kedua tersebut (penasihat ahli atau mediator) ditempuh dengan berlandaskan suatu kesepakatan tertulis dari para pihak
9.        Waktu penyelesaian hingga tercapai kata sepakat melalui penasihat ahli atau mediator tersebut adalah 14 hari
10.    Jika upaya tingkat kedua tersebut gagal dalam waktu 14 hari, maka ditempuh upaya tingkat ketiga berupa penunjukan seorang mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
11.    Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah melakukan upaya mediasinya dalam waktu paling lama 7 hari
12.    Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah selesai melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu 30 hari, maksudnya dalam waktu 30 hari tersebut harus sudah tercapai kata sepakat di antara para pihak dalam bentuk tertulis
13.    Kesepakatan tertulis diantara para pihak tersebut adalah final dan mengikat para pihak
14.    Kesepakatan tertulis itu harus sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari
15.    Jangka waktu pelaksanaan putusan dalam kesepakatan tertulis tersebut adalah dalam jangka waktu 30 hari sejak pendaftaran di pengadilan
16.    Apabila tidak tercapai kesepakatan (dalam upaya tingkat satu sampai tiga), maka para pihak dapat menempuh upaya tingkat keempat, yaitu upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase
17.    Upaya tingkat keempat (arbitrase) tersebut diajukan oleh para pihak melalui kesepakatan tertulis
18.    Terhadap penyelesaian upaya di tingkat keempat tersebut (arbitrase) berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Meskipun tidak disebut-sebut dengan tegas dalam Pasal 6 dari Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, para pihak tidak harus mengikuti prosedur alternatif penyelesaian sengketa tingkat demi tingkat sampai tingkat keempat, tetapi dapat saja mengabaikan tingkat-tingkat tertentu. Hal ini disebabkan :[37]
1.        Sifat penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cepat dan efisien
2.        Undang-undang tidak mengharuskan secara tegas untuk mengikuti setiap tahap tersebut
3.        Masih tercakup dalam kewenangan dan kebebasan para pihak untuk berkontrak, termasuk untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang dihekendakinya.
4.        Untuk kepentingan efektifitas, Maksudnya adalah jika para pihak sudah tidak mau menggunakan salah satu atau lebih tahap penyelesaian sengketa (diantara empat tahap tersebut), tidak ada gunanya dipaksakan, karena kemungkinan besar kata sepakat juga tidak akan tercapai. Dengan demikian, sungguhpun tidak disebutkan dalam Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tahap-tahap penyelesaian sengketa tersebut (empat tahap) bukanlah hukum memaksa (dwingend recht) melainkan hanya hukum mengatur. Akan tetapi, sekali tahap tersebut sudah disetujui oleh para pihak, maka para pihak tersebut wajib mematuhinya.



[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid  13, (Bandung : Al- Ma’arif, 1987), hlm. 211
[2] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT. Ichtiar Barucan  Hoeve, 2001), hlm. 740.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., hlm. 125
[4] Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1998),  hlm. 271.
[5] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 21
[6] Abdul Rahman Saleh,  Pelaksanaan Mediasi Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 5
[7] Ibid, hlm. 48
[8] Ibid, hlm. 49
[9] Ibid. hlm. 50
[10] Ibid, hlm. 50

[11] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam..,  hlm 740
[12] T.M. Hasby Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 119.
[13] Suhrawardi K. Lubis. Hukum  Ekonomi Islam,  (Jakarta: Sinar Grafindo, 2000), hlm. 178.
[14] Depag RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 846
[15] Ibid.

[16] Ibid.
[17] At-Tirrmidzi, Sunan at-Turmudzi: Kitab al-Ahkam 'An Rasulillah, dalam Mausu'at al-Hadits  al-Syarif, (Global Islamic Software Company, 2000), Versi II, Hadits no. 1272

[18] Ibnu Hajar Ashskhalani, Fathul Bari, dalam Hadist Shahih Bukari, jilid V, (Semarang : Toha Putra, 1999), hlm. 187
[19] Rahmat Rosyadi,  Ensiklopedi Hukum Islam..., hlm. 48
[20] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., hlm, 213
[21] Suhrawardi K. Lubis, Hukum  Ekonomi Islam..., hlm. 180-181
[22] Ibid.
[23] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Inter Masa, 1994), hlm 20-21
[24] Lihat KUHPerdata Pasal 1542 dan  1543.
[25] Suhrawardi K. Lubis, Hukum  Ekonomi Islam., hlm. 181-183
[26] Simon Fisher, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra,  2000), hlm. 13

[27] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.22.
[28] PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.
[29] Runtung Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), hlm. 25.
[30] Republik Indonesia,  Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003, Pasal  3 ayat 1,2,3,4.
[31]Ibid,  Pasal 6 ayat (4)

[32] Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung, Citra Aditya Bakti , 2000), hlm 48-50
[33] Ibid. PERMA No 1 Tahun 2008
[34] Ibid. Perma No 1Tahun 2008
[35] Ibid.
[36] Munir Fuadi, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis..., hlm 25-26
[37] Republik Indonesia, Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 Pasal 6.     

Tidak ada komentar: