Senin, 15 April 2019

Berkumpul dalam masa raj’iyah



Diskripsi Masalah
Pada saat terjadi keributan antara sepasang suami istri, suami mengucapkan talak kepada istrinya, namun menjelang beberapa waktu kemudian, keduanya kembali rukun seperti biasa. Karena keawamannya, suami tersebut tidak mengucapkan lafadh rujuk. Hal ini berlangsung hingga bertahun-tahun bahkan mereka telah memiliki beberapa anak. Hingga satu saat ketika mereka mulai mengikuti majlis taklim, akhirnya mereka tau bahwa ucapan talak tersebut telah memutuskan nikah mereka dan untuk rujuk harus dengan melafadhkan lafadh rujuk.
Pertanyaan:
1.       Apakah akibat yang timbul dari perbuatan mereka kembali berkumpul bersama sebelum rujuk?
2.       Bagaimana kedudukan anak mereka yang lahir setelah mereka berkumpul tersebut?

Jawaban:
Uraian Masalah.
Wanita yang di talak raj’i bila masih dalam masa iddah, maka suaminya masih bisa merujuk istrinya ke dalam ikatan nikahnya. Menurut mazhab Syafii, rujuk mesti di ucapkan, tidak bisa di padai dengan sikap suami kembali pulang ke rumah istrinya tersebut. Dalam masa iddah raj’iyah, mantan suami tersebut di larang untuk berkumpul dengan mantan istrinya.
Imam Jalal al-Mahalli mengatakan :
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Artinya: (dan ruju’ tidak hasil dengan perbuatan seperti watha’) dan muqaddimahnya, karena hal tersebut adalah di haramkan dengan sebab terjadinya talak sebagaimana akan di jelaskan natinya, sedangkan maksud dari ruju’ adalah menghalalkannya maka tidaklah hasil ruju’ itu dengannya.
Ada efek yang timbul bila suaminya tersebut kembali berkumpul dengan istrinya yang telah di cerai tersebut.
Rincian hukum Istri yang telah di talak suaminya namun kemudian mereka kembali berkumpul bersama tanpa rujuk maka rincian hukumnya adalah :
  1. Bila wanita tersebut adalah wanita yang telah di talak bain (talak tiga), maka :
    1. Bila keduanya berkumpul tanpa melakukan jimak maka iddahnya tetap berlalu seperti biasa.
    2. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak tanpa adanya syubhat yaitu keduanya tau bahwa mereka sudah bercerai dan mereka juga tau bahwa hukum melakukan hubungan tersebut adalah haram, atau mereka tidak mengetahui hukumnya namun kejahilan mereka tidak termasuk dalam katagori yang di maafkan, maka iddah wanita tersebut tetap berlalu seperti biasa. Sedangkan hubungan mereka dalam masa iddah tersebut hukumnya haram dan termasuk dalam zina yang berhak mendapatkan had.
    3. Bila keduanya berkumpul dengan melakukan jimak yang syubhat maka hukumnya sama seperti berkumpul dengan wanita raj’iyah (penjelasaanya pada point selanjutnya). Jimak yang syubhat adalah keduanya tidak tau bahwa keduanya telah bercerai atau keduanya mengetahui bahwa keduanya telah bercerai namun mereka tidak tau bahwa jimak tersebut hukumnya haram sedangkan kejahilan mereka di maafkan karena baru masuk Islam atau hidup jauh dari para ulama.
  2. Maka wanita tersebut adalah wanita raj’iyah maka :
    1. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah hamil (karena sedang hamil) maka iddahnya habis dengan melahirkan. Hamil ini boleh jadi juga hamil di sebabkan dari hubungan mereka setelah mereka bercerai tersebut.
    2. Bila wanita tersebut beriddah dengan iddah suci atau bulan, maka bila keduanya berkumpul (baik disertai dengan melakukan jimak atau tidak, baik ia mengetahui bahwa hukum berkumpul tersebut haram atau tidak mengetahuinya) maka iddah wanita tersebut tertahan sementara waktu selama keduanya masih berkumpul. Iddahnya baru akan di lanjutkan kembali bila laki-laki tersebut sudah berpisah dan tidak punya niat kembali lagi.
Laki-laki tersebut hanya boleh rujuk selama masa iddah talak (iddah kalau seandainya tidak terjadi berkumpul) yaitu tiga kali suci bagi yang beriddah dengan suci dan 3 bulan bagi yang beriddah dengan bulan dan masa sebelum melahirkan bila iddah dengan melahirkan.
Untuk masa setelah masa iddah dasar berlaku dua hukum yang berbeda, yaitu dalam beberapa masalah ia sama dengan wanita raj’iyah dan dalam beberapa masalah yang lain ia sama dengan wanita bain. Ia sama dengan wanita raj’iyah pada enam masalah yaitu:[1]
1.       jatuh talak
2.       wajib memberikan tempat tinggal baginya
3.       Tidak di had dengan sebab jimaknya
4.       Tidak boleh menikah dengan saudaranya yang wanita
5.       Tidak boleh menikah hingga menjadi 4 istri selain dirinya
6.       Tidak sah akad di atasnya ketika berkumpul
Dan berlaku baginya hukum wanita bain pada sembilan masalah :
1.       Tidak sah rujuknya
2.       Tidak berlaku warisan
3.       Tidak sah ila’
4.       Tidak sah dhihar
5.       Tidak sah li`an
6.       Tidak berhak nafakah baginya
7.       Tidak berhak mendapatkan pakaian
8.       Tidak sah khulu’nya
9.       Tidak wajib iwadh khulu’.
    1. Haram hukumnya bagi suami melakukan tamatu’ (bersenang-senang) dengan istrinya yang dalam masa iddah raj’iyah tanpa terlebih dahulu melafadhkan ruju’.
    2. Jimak syubhat tersebut mewajibkan mahar mitsil
    3. Jumlah mahar mitsil yang di bayar adalah satu kali, walaupun berulang kali terjadi hubungan jimak.
Status anak
Adapun status anak hasil hubungan tersebut sangat tergantung status hukum hubungan intim tersebut. Pada masalah persetubuhan yang di hukumi sebagai zina, maka anaknya adalah anak zina, tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya. Sedangkan pada masalah yang di hukumi hubungan persetubuhannya sebagai hubungan syubhat, maka anak hasil hubungan tersebut adalah anak syubhat dan terhubung nasabnya kepada kedua ayah dan ibunya tersebut.

Kesimpulan.

Note.
Wanita raj’iyah adalah wanita yang berada dalam masa iddah talal yang masih bisa rujuk yaitu talak satu dan talak dua.
Wanita bain; yaitu wanita yang sudah putus hubungan nikahnya dengan suaminya sehingga tidak bisa lagi rujuk. Bain terbagi dua; Bain kubra yaitu wanita yang sudah di talak tiga. Mantan suaminya tidak bisa kembali menikahinya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain. Bain Sughra; yaitu wanita yang di talak satu atau dua tetapi sudah habis menjalani masa iddah. Suaminya tidak bisa lagi untuk rujuk, tetapi bila ia ingin kembali maka harus melakukan akad nikah baru.

Nash Kitab Mu’tabarah
Asnal Mattalib Syarah Raudh ath-Thalib Jilid 7 hal 250 Dar Kutub Ilmiyah
(الباب الثاني في أحكامها) (فيحرم الاستمتاع بالرجعية والنظر) إليها وسائر التمتعات؛ لأنها مفارقة كالبائن (ويعزر بوطئها) إن كان عالما معتقدا تحريم الوطء ورأى الإمام ذلك لإقدامه على معصية عنده فلا حد عليه به لاختلاف العلماء في حصول الرجعة به (لا جاهلا و) لا (معتقدا حله) لعذره ومثله في ذلك المرأة. وكالوطء في التعزير سائر التمتعات (ويلزمه) بالوطء (مهر المثل ولو راجع بعده) لأنها في تحريم الوطء كالبائن فكذا في المهر
Artinya; (Bab yang ke dua pada menerangkan hukumnya/wanita raj'iyah) maka haramlah istimta' dengan wanita raj'iyah dan haram memandangnya) dan ketinggalan menikmati, karena dia telah berpisah sama seperti wanita ba-`in (dan di ta'zir dengan sebab menyetubuhinya) jika ia mengetahuidan meyakini haram bersetubuh dan pemerintah juga berkebijakan demikian karena ia telah mengerjakan perbuatan masiat di sisinya, maka tidak di kenakan had terhadap dirinya karena adanya perbedaan pendapat ulama tentang hasil ruju' dengan bersetubuh (tidak jika ia jahi dan ) tidak [di ta'zir] orang yang meyakini halal perbuatannya) karena di anggap ozor, demikian juga wanita tersebut. Dan sama halnya dengan bersetubuh adalah ketinggalan bernikmat lainnya [tamatu`] dan (wajib baginya) dengan sebab bersetubuh (membayar mahal mitsil, walaupun ia rujuk setelahnya) karena wanita raj'iyah dalam hal haram di setubuhi layaknya wanita ba-in, maka demikian juga pada masalah maharnya.

Hasyiah Ramli Kabir 'ala Asnal Mathalib jilid 7 hal 251 Dar Kutub Ilmiyah
(قوله ويلزم بالوطء مهر المثل) ظاهره مهر واحد ولو تكرر الوطء وقال البلقيني لم أر من تعرض له والقياس على ما ذكروه في الوطء في النكاح الفاسد ووطء الأب والشريك والمكاتب أنه لا يجب إلا مهر واحد.
(kata mushannif; dan wajib mahar mitsil dengan sebab jimak) secara dhahir satu mahar walaupun berulang-ulang kejadian jimak. Imam Bulqini berkata; tidak saya temukan ulama yang menerangkannya, namun secara qiyas dai masalah yang di sebutkan oleh para ulama pada jimak dalam nikah yang fasid dan jimak ayat atau syarik dan mukatab bahwa tidak wajib kecuali hanya satu kali mahar.

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh Manhaj, Juz. IV, hal. 112 (Dar al-Kutub al-Ilmiyah) ;
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش
Kesimpulannya dia sama halnya dengan wanita raj’iyah pada enam hukum; jatuh talak, wajib mendapatkan tempat tinggal, tidak di kenakan had dengan sebab bersetubuh dengannya, tidak boleh bagi suaminya menikahi saudara wanitanya, wanita keempat lain, tidak sah akad nikah atasnya yakni ketika masih berkumul. Dan baginya berlaku hukum wanita ba-in pada sembilan hukum; tidak sah rujuknya, tidak berlaku warisan di antara keduanya, tidak sah ilak darinya, dhihar, dan li’an, dan tidak wajib nafakah baginya, pakaian dan tidak sah khuluknya dengan pengertian apabila suaminya mengkhuluknya maka jatuhlah talak raj’i dan tidak wajib bayaran, karena inilah sebagian ulama berkata “tiada bagi kita seorang wanita yang bisa tertalak dan tidak sah khuluknya kecuali ini, dan apabila suaminya mati meninggalkannya iddahnya tidak berpindah ke iddah wafat sebagaimana di pahami dari kitab syarah Imam Muhammad Ramli dan Imam Qalyubi atas Imam Jalal Mahalli dan Ali Syibramalasi.

Nihayat al-Zain, hal. 376 (Dar al-Kutub al-Islamiyah) ;
(وتنقطع عدة) بالأقراء والأشهر (بمخالطة رجعية ولا رجعة بعدها) أي العدة الأصلية ويلحقها الطلاق إلى انقضاء العدة احتياطا وتغليظا عليه لتقصيره ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة ولا كسوة لها ويجب لها السكنى ولا يحد بوطئها وله أن يتزوج برابعة والمراد بالمخالطة أن يدوم على حالته التي كان معها قبل الطلاق من النوم معها ليلا أو نهارا والخلوة بها كذلك وغير ذلك
(dan putuslah iddah) dengan sebab beberapa kali suci dan beberapa bulan (dengan sebab bercampur dengan wanita raj’iyah, dan tidak boleh rujuk lagi setelahnya) yakni setelah iddah dasar dan bisa terhubung baginya talak hingga habis masa iddah karena untuk ihtiyath dan memberatkan baginya karena kelalaiannya, dan tidak sahlah ilak darinya [wanita], dhihar, li’an, dan tidak berhak nafakah dan pakaian. Dan wajib di berikan tempat tinggal dan tidak di kenakan had dengan sebab menyetubuhinya. dan baoleh baginya [mantan suaminya] menikah dengan istri ke empat. Maksud dengan mukhalathah adalah ia berkekalan dalam keadaannya bersamanya [istrinya yang raj’iyah] sebagaimana sebelum di talak dalam hal tidurnya bersamanya malam dan siang dan bekhulwah dengannya dan hal-hal lainnya.

والحاصل أنه إن عاشرها بغير وطء كخلوة أو بوطء فإن كانت رجعية لم تنقض عدتها بالأقراء لا بالأشهر بالنسبة للحوق الطلاق وانقضت بالنسبة للرجعة فلا رجعة بعد الأقراء أو الأشهر وللتوارث فلا توارث بينهما فإذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها أتمت على ما مضى من عدتها قبل المعاشرة إن كان وإلا فلا معاشرة بأن استمرت المعاشرة من حين الطلاق فتستأنف العدة من حين زوال المعاشرة وإن كانت بائنا فلا عبرة بالمعاشرة بغير وطء ولا بوطء بلا شبهة أما إن عاشرها بوطء بشبهة فكالرجعية في أنها لا تتزوج حتى تنقضي عدتها من انقطاع المعاشرة وليست كالرجعية مطلقا فلا يلحقها الطلاق وله أن يتزوج نحو أختها أما عدة الحمل فلا أثر للمعاشرة فيها ولو مع الوطء فتنقضي بوضعه
Hasyiyah al-Qulyubi dan Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 49 (al-Haramain) dan hal. 272 (Toha Putra) ;
ولو وطئ الزوج - مع المعاشرة - البائن عالما انقضت لأنه وطء زنى لا حرمة له أو جاهلا، أو الرجعية مطلقا فقد تقدم في الفصل السابق أن الوطء يجب به عدة تبتدأ منه وتدخل فيها بقية الأولى لكن لا تشرع الرجعية فيها ما دام الزوج يطؤها كما قاله في التتمة ولو كانت المعاشرة في عدة حمل انقضت بوضعه بلا شك مطلقا.
قوله: (في عدة حمل انقضت مطلقا) وإن كان الحمل من وطئه لها بعد المفارقة لاتحاد صاحب العدة فيهما.
Dan jika suami menyetubuhi dalam keadaan bergaul bersamanya akan istrinya yang sudah ba-in sedangkan ia mengetahui hukumnya maka iddahnya tetap berlalu karena hubungan jimak tersebut adalah zina yang sama sekali tidak mendapat kehormatan, atau dalam keadaan ia tidak mengetahui (hukumnya) atau yang di setubuhi adalah istrinya yang raj’iyah secara mutlaq maka sungguh telah terdahulu pada fashal sebelumnya bahwa bersetubuh (dalam masa iddah) mewajibkan iddah (lain) yang dia mulain. Dan dalam iddah tersebut masuk sisa iddah pertama, tetapi ia tidak memasuki dalam iddah selama suaminya masih menyetubuhinya sebagaimana tersebut dalam kitab Tatimmah. Dan jika mu’asyarah tersebut terjadi dalam iddah hamil maka iddahnya habis dengan melahirkan dengan tanpa keraguan secara mutlaq.
kata mushannif (dalam iidah hamal maka habislah iddahnya secara mutlaq) walaupun hamil tersebut terjadi dari jimaknya yang terjadi setelah berpisah (talak) karena bersatu empunya iddah pada keduanya.

Hasyiah Bujairimi ‘ala Syarah Manhaj Jilid 4 hal 112 Dar Kutub Ilmiyah.
والحاصل أنها كالرجعية في ستة أحكام في لحوق الطلاق وفي وجوب سكناها وفي أنه لا يحد بوطئها وليس له تزوج نحو أختها ولا أربع سواها ولا يصح عقده عليها أي حال المعاشرة ولها حكم البائن في تسعة أحكام في أنه لا تصح رجعتها ولا توارث بينهما ولا يصح منها إيلاء ولا ظهار ولا لعان ولا نفقة لها ولا كسوة ولا يصح خلعها بمعنى أنه إذا خالعها وقع الطلاق رجعيا ولا يلزم العوض ولذلك قال بعضهم ليس لنا امرأة يلحقها الطلاق ولا يصح خلعها إلا هذه وإذا مات عنها لا تنتقل لعدة الوفاة كما يؤخذ من شرح م ر وق ل على الجلال وع ش

Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. IV, hal. 4 (al-Haramain) ;
(ولا تحصل بفعل كوطء) ومقدماته، لأن ذلك حرم بالطلاق كما سيأتي. ومقصود الرجعة حله فلا تحصل به
Hasyiyah I’anath al-Thalibin, Juz. IV, hal. 51 (al-Haramain) ;
(وتنقطع عدة) بغير حمل (بمخالطة) مفارق لمفارقة (رجعية فيها) لا بائن ولو بخلع كمخالطة الزوج زوجته بأن كان يختلي بها، ويتمكن عليها ولو في الزمن اليسير سواء أحل وطئ أم لا فلا تنقضي العدة لكن إذا زالت المعاشرة بأن نوى أنه لا يعود إليها كملت على ما مضى، وذلك لشبهة الفراش كما لو نكحها حائلا في العدة فلا يحسب زمن استفراشه عنها بل تنقطع من حين الخلوة ولا يبطل بها ما مضى فتبني عليه إذا زالت ولا يحسب الاوقات المتخللة بين الخلوات، (و) لكن (لا رجعة) له عليها (بعدها) أي بعد العدة بالاقراء أو الاشهر على المعتمد وإن لم تنقض عدتها لكن يلحقها الطلاق إلى انقضائها، والذي رجحه البلقيني أنه لا مؤنة لها بعدها وجزم به غيره فقال: لا توارث بينهما ولا يحد بوطئها.











[1] Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi ‘ala Manhaj Jilid 4 hal 113 Dar Kutub Ilmiyah

Minggu, 07 April 2019

BAB TIGA ANALISIS KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA UTANG-PIUTANG MENURUT KONSEP AL-ISHLAH


BAB TIGA
ANALISIS KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA UTANG-PIUTANG MENURUT KONSEP AL-ISHLAH
3.1.      Profil Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
3.1.1.   Sejarah Ombudsman Republik Indonesia
Institusi  pengawasan  bernama  Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, namun pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat institusi Tibunal Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak- hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.[1]
Di Indonesia sendiri pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Ombudsman) dilatarbelakangi oleh suasana transisi menuju demokrasi. Pada saat itulah Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum lembaga peradilan, dengan menandatangani Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional pada tanggal   20  Maret  2000.[2]
Sejak   tanggal   07 Oktober 2008 Komisi Ombudsman Nasional (KON) telah berganti nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008  tentang  Ombudsman  Republik Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.[3]
Ombudsman Republik Indonesia (disingkat ORI) adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008.[4]
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh sendiri dibentuk sesuai dengan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang ”Pelaksanaan Peraturan pemerintah tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Di Daerah”. Serta keluarnya Surat Keputusan Ketua Ombudsman Republik Indonesia Nomor 65/ORI/X/2012 tentang “Pengangkatan Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Provinsi Sulawesi Tengah di Palu, Provinsi Sumatera Selatan di Palembang, Provinsi Sumatera Barat di Padang, Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Provinsi Aceh di Banda Aceh, Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari, Provinsi Riau di Pekanbaru”.
3.1.2.         VISI dan MISI Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
1.    VISI
Mewujudkan Pelayanan Publik Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang berorientasi sekedar melayani menuju pelayanan publik berbasis masyarakat. Perubahan paradigma tersebut dilaksanakan melalui berbagai upaya, sebagai berikut:
1.        Mengubah perilaku penyelenggara negara dan pemerintahan menuju pelayan masyarakat (bukan untuk dilayani)
2.        meningkatkan kesadaran masyarakat dan pembudayaan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara
3.        mendorong penyelenggara negara dan pemerintahan agar dinamis dan berkelanjutan menjaring aspirasi dan memenuhi pelayanan publik yang diperlukan masyarakat
4.        memanfaatkan nilai-nilai kebijakan lokal yang bernilai positif dan menghapuskan secara bertahap nilai-nilai lokal yang bernuansa negatif.
5.        menjalin hubungan yang saling menguntungkan antara penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat (simbiosis mutualisme) agar masyarakat berkontribusi mendukung program-program pemerintah.
Dengan hubungan tersebut diharapkan terjadi penguatan peran masyarakat dalam pemerintahan sehingga dalam jangka panjang masyarakat makin sejahtera melalui pelayanan publik yang baik.
Selain upaya tersebut, diperlukan penerapan program quick wins yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Program quick wins yang akan dilaksanakan adalah pengelolaan pengaduan masyarakat yang profesional, efektifdan efisien, proaktif, dan komprehensif.
2.        MISI
2.    Mendorong penyelenggara negara dan pemerintah agar lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
3.    Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan
4.    Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis teknologi informasi.



3.1.3. Struktural pengurus Organisasi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
Setiap organisasi baik pemerintahan maupun swasta tidak lepas dari kepengurusan, Ombudsman Republik Indonesia juga mempunyai kepengurusan dalam sebuah wadah organisasi.
Adapun Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh adalah sebagai berikut:[5]
KEPALA PERWAKILAN
DR. TAQWADDIN S.H, S.E. M.S

TATA USAHA
ZULKANAINI SH. MH
ASISTEN I
AYU PARMAWATI S.H, M.kn
ASISTEN II
M. FADHIL RAHMI LC.

ASISTEN III
RUDI ISMAWAN S.HI, M.Si
ASISTEN IV
ANDI SYAHPUTRA S.TP, M.Si
 

















3.2.      Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam Menangani Sengketa Utang-Piutang
Sebagai lembaga yang mengemban tugas pengawasan, Ombudsman Republik Indonesia sekaligus memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan pemeriksaan tertentu, khususnya yang terkait dengan dugaan adanya tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh Negara, penyelenggara pemerintahan serta lembaga peradilan, baik yang dilaporkan oleh masyarakat maupun atas inisiatif sendiri.[6]
Dalam  menjalankan  kewenangannya  Ombudsman Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor ataupun instansi yang dilaporkan. Ombudsman tidak menyibukkan diri dengan perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan-tindakan atas norma-norma kepantasan.[7]
Menurut  Pasal  1  angka  1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.[8]
Wewenang Ombudsman Republik Indonesia  dalam menyelesaikan sengketa termuat dalam undang-undang adalah meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman, dan tugas lain sesuai perundang-undangan.   Ombudsman juga berwenang menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan atau prosedur pelayanan publik, dan menyampaikan saran kepada dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi.[9]
Bagi Ombudsman Republik Indonesia pemeriksaan dapat dilakukan melalui investigasi yang diperlukan guna memperoleh informasi yang lebih lengkap, tajam, seimbang, dan objektif yang akan dijadikan bahan untuk merumuskan tindakan seperti apa yang dapat dilakukan selanjutnya, apakah meminta klarifikasi terlebih dahulu atau sudah segera dapat memberikan rekomendasi tertentu. Penggunaan istilah investigasi dipilih untuk membedakan pemeriksaan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Ombudsman Indonesia dengan pemeriksaan oleh petugas Penyelidik/penyidik lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan PPNS.[10]
            Ombudsman Republik Indonesia menganut dua tahapan system investigasi yang berjenjang, tahap pertama adalah investigasi di belakang meja, yaitu memeriksa keputusan, surat menyurat atau dokumen-dokumen lain yang disampaikan pelapor untuk memperoleh kebenaran laporan masyarakat hasil pemeriksaan tersebut sangat menentukan tindakan selanjutnya apabila laporan yang disampaikan cukup kronologis dan objektif serta dokumen-dokumen pendukungnya cukup valid dan dapat langsung dipertanggung jawabkan, ombudsman dapat saja langsung meminta klarifikasi guna memberikan kesempatan kepada pihak terlapor untuk menjelaskan sebaliknya, namun demikian apabila laporan dan dokumen-dokumen yang disampaikan masih sangat awal dan minim ombudsman masih harus meminta kelengkapan lebih lanjut dari pelapor /terlapor dan untuk itu maka dapat segera disiapkan investigasi lapangan.[11]
Investigasi lapangan ini merupakan jenjang dan tahapan kedua setelah investigasi dokumen dilakukan dibelakang meja, pengertian lapangan bukan hanya semata-mata dilokasi terbuka seperti misalnya utang-piutang sebagai objek sengketa, tetapi meliputi juga ruangan kantor instansi dimana terlapor bekerja. Investigasi lapangan dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan dari terlapor maupun pelapor ataupun pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang dilaporkan, dalam hal ini perlindungan hak akan kebebasan memperoleh informasi adalah menjadi sangat penting sehingga dengan demikian ombudsman memperoleh kesempatan luas untuk mengakses informasi berupa dokumen-dokumen yang diperlukan dari kantor terlapor atau instansi terkait lainnya.[12]
Investigasi dan Monitoring dilakukan untuk mendukung kinerja ombudsman dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, ombudsman berwenang melakukan investigasi dan monitoring yang didasarkan pada Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. , Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman bertugas:
a.       Menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
b.      Melakukan pemeriksaan substansi atas laporan
c.       Menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan ombudsman
d.      Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
e.       Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f.       Membangun jaringan kerja;
g.      Melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang- undang.[13]
Kewenangan Ombudsman didalam menjalankan fungsi dan tugas tersebut diatas, diatur didalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang berbunyi:[14]
1.      Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, ombudsman berwenang:
a.       Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada ombudsman
b.      Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan
c.       Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor
d.      Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan
e.       Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak
f.       Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
2.      Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ombudsman berwenang:[15]
a.       Menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau Pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b.      Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Di samping berdasarkan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2008 yang mengatur tentang tugas pokok dan fungsi Ombudsman Republik Indonesia, didalam melaksanakan tugasnya para anggota maupun asisten ombudsman juga harus berpedoman kepada peraturan ombudsman yaitu Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 002 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Penyelesaian Laporan, kedua peraturan inilah yang dipakai oleh anggota ombudsman maupun asisten ombudsman sebagai pedoman terhadap masuknya laporan tidak dilaksanakannya putusan Nomor 20/G.TUN/2003/PTUN.PDG yang telah berkekuatan hukum tetap.
3.3.    Mekanisme Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Antara KPKNL Dengan Koperasi Get Road Yang Dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
3.3.1.   Posisi Kasus
Pada tanggal 31 oktober 2012 Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh menerima laporan dari saudara Usman Abdullah, Pelapor tersebut merupakan warga Gampong Gle Deyah Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar, dan Pelapor merupakan salah satu pengurus koperasi yang telah mengundurkan diri sebagaimana yang tertuang didalam surat pengunduran diri pelapor yang disampaikan kepada pengurus Koperasi Get Road Banda Aceh dengan surat Ist /2012 tertanggal 11 september 2012,  dalam hal ini,  Pelapor menyampaikan bahwa Koperasi Get Road Banda Aceh pernah mengajukan permohonan izin Frekuensi Radio (KOMRAD)  ke Dirjen Pos dan Telekomunikasi Up. Direktur Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Loket Perizinan Frekuensi Radio Lt II Subdit Operasi dan Pelayanan Perizinan namun izin tersebut tidak pernah diberikan.
Justru karena izin tidak didapati, maka Koperasi Get Road Banda Aceh mengirimkan surat pembatalan permohanan izin dan sarana frekuensi ke Dirjen Pos Dan Telekomunikasi Up. Direktur Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Loket Perizinan Frekuensi Radio Lt II Subdit Operasi dan Pelayanan Perizinan, sehingga frekuensi tersebut tidak pernah dipergunakan. Namun, Menurut pelapor pembayaran iuran dan penagihan tetap dilakukan oleh kantor KPKNL Banda Aceh kepada pelapor, dan juga Pelapor menyampaikan telah menerima suara paksa Nomor SP/80/PUPNC.01.01/2012, tanggal 10 oktober 2012 dan surat berita acara pemberitahuan surat paksa tanggal 22 oktober 2012 yang disampaikan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang Banda Aceh.
Dalam hal ini, Pelapor mengatakan  menolak menandatangani surat berita acara pemberitahuan surat paksa tersebut dengan alasan:
a.    Karena tidak lagi sebagai anggota pengurus koperasi get road banda aceh sesuai dengan surat pengunduran diri dengan surat no Ist /2012 tertanggal 11 september 2012
b.    Karena penyetoran tunggakan pajak frekuensi radio melalui rekening penampungan  sementara panitia/ bendahara penerima kantor KPKNL Banda Aceh pada bank BRI banda aceh
c.    Pada surat tersebut juga mencamtumkan biaya administrasi pengurusan piutang sebesar 10%  yang dibebankan pada pada penunggak piutang sebagaimana termuat dalam surat berita acara tersebut dan bukan denda sebagaimana lazim berlaku.
Menurut pelapor saat ini Koperasi Get Road Banda Aceh sudah tidak aktif lagi, dimana saudara Syarifuddin sebagai ketua telah meninggal dunia dan sekretaris mengundurkan diri.
Adapun upaya yang dilakukan pelapor telah melakukan wawancara dengan kasi piutang negara di kantor KPKNL banda aceh, membuat surat pernyataan dan memberikan surat dari dinas koperasi mengenai koperasi get road yang tidak aktif namun proses penagihan tetap dilaksanakan, Pelapor mengharapkan agar pihak KPKNL Banda Aceh melakukan pembatalan surat paksa, menghapus kewajiban iuran bagi koperasi get road pada negara.[16]
Sedangkan dari Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang menjelaskan yang bahwa KPKNL Banda Aceh, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI c.q Direktorat Jenderal Sumberdaya dan Perangkat Pos Dan Informatika/ Direktorat Operasi Sumberdaya melalui surat nomor 6910/R/DJDPPI.3/KOMINFO/11/2012 tanggal 19 November 2011, nomor  17/DJSDPPI.3/KOMINFO/1/2013 tanggal 3 Januari 2012, nomor 3288/KOMINFO/DJSDPPI/SP02.04/06/2013 tanggal 26 Juni 2012 telah menyerahkan piutang negara atas nama Koperasi Get Road kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang NAD yang penyelenggaranya dilakukan Oelah KPKNL Banda Aceh.[17]
Panitia Urusan PiutangNegara (PUPN) Cabang NAD  menerima penyerahan piutang negara nomor SP3N-071/PUPNC.01.01/2012 tanggal 15 Juli 2012 sehingga sejak tanggal tersebut, pengurusan piutang negara termasuk penagihan menjadi kewenangan KPKNL Banda Acehdan pembayaran atas angsuran dan/atau pelunasan hutang dilakukan melalui rekening Penampungan Piutang Negara Pada PT BRI ( Persero) Cabang Banda Aceh.
Berdasarkan Bab VI pasal 40 huruf b peraturan menteri keuangan nomor 128/PMK.06/2007 jo. PMK Nomor 88/PMK.06/2009 jo PMK nomor 163/PMK.06/2011 tentang pengurusan piutang negara, KPKNL Banda Aceh melaksanakn pengurusan piutang negara atas nama koperasi get road dengan melakukan pemanggilan terhadap pengurus koperasi get road  yaitu saudara Muazwir, Syaifuddin Is, dan Maneh.
Pada tanggal 19 Agustus 2012, Saudara Muazwir menyampaikan secara tertulis bahwa sesuai berita acara rapat pemilihan pengurus/ pengawas koperasi get road tanggal 10 Mei 2010 telah ditetapkan susunan pengurus baru koperasi yaitu Sdr. Syaifuddin Is (ketua), Fajri (sekretaris) dan Usman Abdullah (Bendahara).[18]
Atas dasar hal tersebut, KPKNL Banda Aceh melakukan panggilan kepada para pengurus Koperasi Get Road yang baru, pada tanggal 9 september 2012, Sdr Usman Abdullah memenuhi panggilan dan menyampaikan hal-hal antara lain:
a.              Koperasi Get Road sudah tidak beroperasi .aktif lagi sejak tahun 2009/2010
b.             Ketua pengurus (Syaifuddin Is) telah meninggal dunia
c.              Sekretaris pengurus (Fajri) tidak diketahui alamat pastinya
d.             Tidak mengakui ada dan besarnya jumlah utang dan
e.              Sudah mengajukan pembatalan permohonan izin stasiun radio kepada direktur Spektrum frekuensi , ditjen pos dan telekomunikasi, yang kami dokumentasikan dalam berita acara tanya jawab nomor BATJ-05/WKN.01//KNL.0104/2012 tanggal 9 september 2012.
Sesuai ketentuan PMK diatas, keterangan Sdr. Usman Abdullah selaku salah satu pengurus tidak menjadikan pengurusan piutang negara atas koperasi get road  dihentikan sehingga PUPN Cabang NAD/ KPKNL Banda Aceh menerbitkan penetapan jumlah piutang negara dan surat paksa atas nama Koperasi Get Road yang diikuti dengan pemberitahuan surat paksa oleh jurusita piutang negara kepada pengurus koperasi (Sdr Usman Abdullah) untuk segera melunasi hutang Koperasi Get Road.[19]
Pengurusan piutang negara atas nama koperasi belum dapat dinyatakan selesai meskipun terdapat surat kepala bidang koperasi atas nama kepala dinas perindustrian perdagangan koperasi dan UKM  Kota Banda Aceh yang menyatakan bahwa koperasi sudah tidak aktif lagi karena status badan hukum koperasi tersebut masih hidup (exist) dan menjadi tugas pengurus untuk menyelesaikan hak dan kewajiban koperasi, status badan hukum koperasi akan dihapus sejak tanggal pengumuman pembubaran koperasi dalam berita Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian dinyatakan bahwa “ rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi” dan pasal 33 huruf c dinyatakan bahwa “ Rapat anggota berwenang memilih, mengangkat dan memberhentikan pengawas dan pengurus”, maka menurut hemat kami pengunduran diri koperasi tidak dapat dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui rapat anggota koperasi.
Mengenai  biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar 10% dari sisa hutang yang wajib dilunasi oleh penanggung hutang merupakan salah satu jenis dan tarif PNBP sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2013 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Keuangan.
3.3.2. Prosedur
Untuk tahap awal Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, melakukan klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, klarifikasi tersebut baik dari pelapor maupun terlapor. Apabila diperlukan klarifikasi dari pelapor maka ombudsman langsung dapat menanyakan pada saat pelapor (Koperasi Get Road) menghadap, atau pelapor dapat juga diminta untuk menyerahkan dokumen asli yang sah. Apabila pelapor tidak dapat memberikan klarifikasinya atau tidak dapat menunjukan dokumen asli yang sah kepada ombudsman, maka pemeriksaan keluhan pelapor tidak dapat dilanjutkan.[20]
Apabila perlu diperoleh dari terlapor, maka segera pula disusun surat permintaan klarifikasi ombudsman dengan menyebutkan secara singkat adanya laporan tentang administrasi dan sejauh mana peristiwa yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan klarifikasi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Klarifikasi di lapangan (langsung) dan klarifikasi melalui surat resmi (tidak langsung).[21]
1.      Klarifikasi di Lapangan (Langsung).
Klarifikasi di lapangan atau langsung diperoleh dengan cara mendatangi langsung  instansi terlapor (KPKNL)dan instansi terkait (Koperasi Get Road). Kemudian setelah itu baru dilaksanakan mediasi guna  mendapatkan jawaban-jawaban yang dianggap belum dapat diselesaikan.[22]
Pada saat Ombudsman mewawancarai terlapor atau atasan terlapor dan memeriksa dokumen terkait dikantor terlapor, pada dasarnya saat itu sedang terjadi proses permintaan klarifikasi secara langsung. Kadangkala permintaan klarifikasi langsung ini masih harus dilengkapi dengan permintaan klarifikasi tidak langsung melalui surat resmi guna melengkapi hasil analisis terhadap temuan lapangan selama investigasi diselenggarakan.[23]
2.      Klarifikasi Melalui Surat Resmi (Tidak Langsung)
Klarifikasi melalui surat resmi atau tidak langsung ombudsman melakukan dengan dua cara yaitu mendasarkan hasil investigasi dokumen (di belakang meja) dan mendasarkan hasil temuan dilapangan.[24]
a.       Investigasi di belakang meja yaitu dengan memeriksa keputusan, surat menyurat atau dokumen-dokumen lain yang disampaikan oleh pelapor untuk memperoleh kebenaran laporan dari masyarakat atau pihak terkait. Apabila laporan yang disampaikan cukup kronologis dan objektif serta dokumen-dokumennya cukup valitdan dapat dipertanggungjawabkan, ombudsman dapat saja langsung meminta klarifikasi guna memberikan kesempatan kepada pihak terlapor untuk menjelaskan sebaliknya, namun apabila laporan atau dokumen yang disampaikan masih sangat awal atau minim ombudsman masih bisa meminta kelengkapan lebih lanjut dari pelapor atau terlapor, dan untuk itu maka dapat segera dipersiapkan investigasi lapangan. Investigasi lapangan merupakan jenjang dan tahapan kedua setelah investigasi dokumen dilakukan dibelakang meja. investigasi dilapangan dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan dari terlapor maupun terlapor, ataupun pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang dilaporkan.[25]
b.      Mendasarkan hasil temuan di lapangan adakalanya perlu diadakan pemeriksaan / investigasi dan / atau observasi dilapangan. Setelah dilakukan analisa terhadap hasil investigasi dan /atau observasi lapangan tersebut ternyata masih ada beberapa hal yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut dari atasan terlapor, maka ombudsman dapat menyusun surat permintaan klarifikasi, ditujukan kepada atasan terlapor guna meminta penjelasn lebih lanjut tentang hal-hal terkait denga tindakan terlapor. Permintaan klarifikasi seperti ini perlu dipertimbangkan apabila ombudsman masih merasa perlu melengkapi, memastikan dan/ atau menguatkan hasil analisis temuan dilapangan Tim Investigasi (selama investigasi) sebelum akhirnya memberikan pendapat akhir sebagai dasar bagi ombudsman memberikan rekomendasi kepada pejabat terkait.


3.3.3.  Hasil al-Ishlah
Menyangkut dengan hasil al-ishlah antara Koperasi Get Road dengan KPKNL melahirkan kesepakatan damai diantara kedua belah pihak.[26]
Para pihak saling memahami bahwa permasalahan yang dikeluhkan berkenaan dengan penagihan dan pembayaran iuran Koperasi Get Road kepada KPKNL  Kota Banda Aceh. Kepala KPKNL Banda Aceh dan Sdr. Usman Abdullah sebagai salah satu pengurus Koperasi Get Road berkomitmen secara penuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara musyawarah dan mufakat tanpa ada kerugian dikedua belah pihak dengan dimediasi (al-ishlah) oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh. [27]
Penyelesaian masalah yang dimaksud, akan diselesaikan baik secara formal maupun  informal dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
Kepala KPKNL banda Aceh sepakat bahwa pembayaran tagihan dan iuran yang tertunggak oleh Koperasi Get Road akan dilakukan namun tidak menjadi tanggung jawab secara personal kepada saudara Usman Abdullah namun dilakukan penagihan kepada lembaga.
Saudara Usman Abdullah menerima opsi penyelesaian melalui penagihan iuran dan pembayaran tunggakan tersebut tidak dibebankan kepada dirinya serta memastikan bahwa dirinya memperoleh kepastian dan perlindungan hukum atas opsi penyelesaian yang dimaksud.[28]
Adapun mengenai tehnis pelaksanaan pembayaran iuran dan penagihan tunggakan Koperasi Get Road dilakukan sepenuhnya oleh KPKNL Banda Aceh. Namun, Para pihak sepakat tidak akan melakukan gugatan dikemudian hari, dan meminta laporan dengan nomor : 0070/LM/XI/2012/BNA untuk ditutup.[29]
Sesuai dengan kewenangan yang ada, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh tetap melakukan mekanisme pengawasan/ monitoring lanjutan dan berkesinambungan terhadap penyelenggaraan publik di KPKNL  secara umum dan hasil kesepakatan (Pasal 59 PO RI Nomor: 002 tahun 2009).
3.4.      Tinjauan Konsep Al-Ishlah Terhadap Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Antara KPKNL dan Koperasi Get Road Yang Dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ombudsman terhadap kasus utang-piutang antara KPKNL dan Koperasi Get Road, diselesaikan melalui mediasi yang didasarkan menurut konsep al-ishlah didalam hukum Islam yang dipandu oleh seorang mediator. Penyelesaian sengketa ini menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak untuk berdamai dan mengikuti semua butir-butir kesepakatan yang telah disepakati.
Ombudsman dalam menyelesaikan sengketa sebelum dan sesudah sengketa terselesaikan mempunyai kewenangan dalam hal mengawasi kedua belah pihak yang bersengketa agar keputusan yang diambil untuk berdamai tetap terjaga keutuhannya. Pengawasan yang dilakukan oleh ombusman terkait dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat atau pihak-pihak yang bersengketa.

Dalam  menjalankan  kewenangannya  Ombudsman Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor ataupun instansi yang dilaporkan. Ombudsman tidak menyibukkan diri dengan perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan-tindakan atas norma-norma kepantasan.[30]
   Menurut  pasal  1  angka  1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam menyelesaikan sengketa termuat dalam undang-undang adalah meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman, dan tugas lain sesuai perundang-undangan.[31]
Mediasi yang digunakan oleh Ombudsman dalam menyelesaikan sengketa sebagai langkah awal yang ditempuh sebelum sengketa tersebut sampai kepada pengadilan. Dalam hal ini ombusman bertindak sebagai fasilitator dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalahnya melalui seorang mediator. Sehingga sengketa yang dialami oleh kedua belah pihak tersebut terselesaikan dengan suatu perdamaian tanpa adanya ketidakpuasan antara kedua belah pihak terhadap keputusan yang telah disepakati.
Konsep Ishlah dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang dipraktekkan di lembaga Ombudsman. Dalam Islam mediasi adalah penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.[32] Hal tersebut juga ditempuh sebagai upaya dalam mencapai sebuah perdamaian.
Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah al-Ishlah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”. Berdamai adalah suatu cara yang sangat dianjurkan dalam Islam dari semua permasalahan yang ada didunia ini, dengan adanya perdamaian terciptalah suatu keadilan dan kenyamanan didalam suatu masyarakat tanpa ada permusuhan yang berlanjut akibat adanya permasalahan atau persengketaan yang terjadi. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa’ ayat 35 dan 114 yang berbunyi:[33]
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. Annisa’ : 35).
Pada ayat ini Allah menjelaskan, bahwa jika kamu khawatir akan terjadi  persengketaan, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari dua orang yang bersengketa . Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib, atau oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga yang bersengketa, dan boleh dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikannya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari kedua belah pihak yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya.
Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari Ishlah antara kedua belah pihak yang bersengketa pada tahap pertama itu tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukkan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.
žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar”.( Q.S Annisa’: 114).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan tidaklah dikatakan perdamaian kecuali yang terjadi diantara dua orang yang bersengketa dan bermusuhan. Permusuhan, pertikaian dan rasa benci menimbulkan keburukan dan perpecahan yang tidak dapat terhingga. Oleh karena itu, Syariat menganjurkan perdamaian diantara manusia pada hak darah , harta, kehormatan, bahkan masalah agama sebagaimana firman Allah (artinya) : 
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah yang kuat dan janganlah saling berpecah belah”, dan juga FirmanNya: 
“Apabila ada dua kelompok diantara kaum yang beriman berperang maka damaikanlah mereka berdua, dan tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Prosedur penyelesaian yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia melalui  apa  diperoleh dari terlapor, maka dalam hal ini, ombudsman segera pula disusun surat permintaan klarifikasi ombudsman dengan menyebutkan secara singkat adanya laporan tentang administrasi dan sejauh mana peristiwa yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan klarifikasi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Klarifikasi di lapangan (langsung) dan klarifikasi melalui surat resmi (tidak langsung).[34]
              Dalam hal menangani laporan yang disampaikan cukup jelas, objektif, dan kronologis, serta dokumen pendukung yang dilampirkan cukup sahih dan dapat dipertanggung jawabkan, maka ombudsman dapat langsung menyusun surat permintaan klarifikasi kepada terlapor dan atau atasan terlapor guna meminta keterangan / penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal terkait dengan tindakan terlapor.
            Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh ombudsman terhadap sengketa utang-piutang menurut tinjauan konsep al-ishlah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan konsep al-ishlah yang diterapkan dalam Islam. Ombudsman tidak diam sampai disitu dan terus melakukan pengawasan hingga kasus/ sengketa tidak terulang dikemudian hari. Dan ombudsman dengan tegas memberlakukan sanksi terhadap perdamaian yang telah dilaksanakan/ disepakati.


[1]  Budi  Masthuri, Mengenal  Ombudsman  Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,  2005), hlm. 4.

[2] Antonius Sujata, Efektifitas Komisi Ombudsman Nasional, (Jakarta: Cetakan Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hlm. 10.

[3] Ibid.

[4] Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2009), hlm. 32.
[5] Zulkanaini, Kepala Tata Usaha Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh,  Pada Tanggal  28 Mei 2013.
[6] Wawancara dengan Taqwaddin,  Kepala  Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh,  Pada Tanggal  22 Oktober  2013.

[7] Philipus M.  Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Introduction to The Indonesian Administrative Law. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hlm. 303.
[8]Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, ( Jakarta: Citra Umbara, 2009), hlm. 8.

[9] Ibid.
[10] Sunaryati Hartono,  Budhi Masturi, Enni Rochmaini, & Winarso Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia,( Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional 2003), hlm. 7.

[11] Wawancara dengan Taqwaddin, Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, pada tanggal 28 Oktober  2013.
[12] Ibid, hlm. 30.
[13] Ibid, Pasal  7. hlm. 7.


[14] Ibid. Pasal 8. hlm. 8.
[15] Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008, Op.cit, hlm. 7.
[16] Wawancara dengan Rudi Ismawan, Asisten III Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, pada tanggal  28 Juli 2013.

[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Hendra Nurtjahjo, Yustus Maturbongs, Diani Indah Racmitasari,  Memahami Mal Administrasi, ( Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013), hlm. 23.

[21] Sunaryati Hartono, dkk,  Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia,( Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2003), hlm. 8.
[22]Ibid. hlm. 9.

[23] Ibid. hlm. 10.


[24] Ibid, hlm. 29-30.
[25] Ibid.
[26] Ibid.

[27] Ibid. 

[28] Ibid.

[29] Ibid.
[30] Philipus M.  Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Op.cit hlm. 303

[31] Ibid.
[32] PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.

                [33] Depag RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :Toha Putra, 1989), hlm. 846.
[34] Sunaryati Hartono,dkk, Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia, hlm. 31.