Selasa, 26 Maret 2019

Hukum Wanita Berhaid Menetap dalam Mesjid



Mesjid merupakan 
tempat yang mulia, menetap di mesjid 
saja tanpa melakukan ibadah lain sudah menjadi satu ibadah bila di sertai dengan niat i`tikaf. Selain itu masjid juga memiliki hukum khusus termasuk berkenanan dengan orang berjanabah dan wanita berhaid. Pemahaman yang telah ma’ruf adalah wanita berhaid di larang menetap di dalam mesjid. Namun akhir-akhir ini muncul pemahaman bahwa wanita berhaid boleh menetap di dalam mesjid asalkan menggunakan pembalut sehingga tidak di takutkan akan mengotori masjid.
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya bagi wanita berhaid yang memakai pembalut menetap dalam mesjid?
Jawaban:
Rincian hukum wanita berhaid masuk mesjid sebagai berikut:
  1. Bila masuk sedekar lalu tanpa menetap di dalamnya maka :
    1. Bila ditakutkan dapat mengotori mesjid maka haram memasukinya
    2. Bila tidak ditakutkan dapat mengotori mesjid,maka dibolehkan. Namun hukumnya makruh.
  2. Adapun hukum menetap dalam mesjid, maka haram secara mutlaq, baik ditakutkan mengotori mesjid atau tidak.
Maka kesimpulannya menetap di mesjid bagi wanita berhaid yang memakai pembalut tetap di haramkan.

Penjabaran:
Mesjid adalah rumah Allah yang memiliki hukum khusus, salah satunya adalah dilarang menetap di dalamnya bagi orang yang berhadas besar baik karena janabah atau haid. Alasan keharaman menetap ini bukanlah karena di takutkan mengotori mesjid sehingga akan timbul pertanyaan bagaimana bila wanita berhaid memakai pembalut apakah boleh menetap di mesjid?
Hal lain yang mendukung kesimpulan ini adalah orang yang berjunub yang lebih ringan dari haid juga di larang menetap di dalam mesjid padahal padanya tidak ada hal yang memang di takutkan akan mengotori mesjid.

Larangan menetap dalam mesjid berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 43:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَقْرَبُواالصَّلَاةَوَأَنْتُمْسُكَارَىحَتَّىتَعْلَمُوامَاتَقُولُونَوَلَاجُنُبًاإِلَّاعَابِرِيسَبِيلٍحَتَّىتَغْتَسِلُوا
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,dan jangan (pula menghampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…. (Q.S. an-Nisa 43)
Kalimat إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا(terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi) secara implisit mengandung makna tempat, terbukti dengan adanya redaksi “عَابِرِي سَبِيلٍ”. Sehingga kalimat ini menjadi petunjuk yang menunjukkan bahwa ayat diatas juga dimaksudkan kepada tempat shalat, yaitu masjid.
Wanita berhaid haram menetap dalam mesjid karena mesjid adalah sarana tempat shalat, sedangkan wanita berhaid tidak boleh melaksanakan shalat, kecuali hanya sekedar melintasi maka hukumnya tidak haram apabila tidak akan mengotori mesjid dengan darah, akan tetapi tetap dimakruhkanjika tidak ada keperluan. Sedangkan bila dikhawatirkan dapat mengotori mesjid maka hukumnya haram. Hukum haram tidak hanya berlaku bagi wanita yang sedang haidh, tetapi juga berlaku bagi orang-orang yang tubuhnya bernajis, seperti orang yang menderita salsul baul (Urinary incontinence), wanita istihazah dan orang-orang yang pada sandalnya terdapat najis yang basah, namun bila ia berencana memasuki mesjid, maka harus menghilangkan najis terlebih dahulu di sandalnya. Ini berdasarkan pendapat Ulama syafi’iyah. Sedangkan menurut Ulama Hanbali, wanita berhaid dibolehkan menetap dalam mesjid sesudah habis masa haidnya, namun disyaratkan harus dalam keadaan berwuduk. Namun mayoritas para ulama mengatakan wudhuk sama sekali tidak memberi pengaruh kepada wanita haid untuk bisa menetap di dalam masjid (hukumnya tetap haram).
Abu Mu’adz memberikan komentar tentang hukum wanita berhaid menetap dalam masjid bahwa para imam mazhab telah sepakat menetapkan hukum haram menetap dalam mesjid bagi wanita yang berhaid. Dan khilaf pendapat yang terjadi di kalangan ulama adalah pada penetapan hukum lewat dalam mesjid saja, tanpa menetap dalam mesjid. Adapun pendapat di bolehkan bagi wanita berhaid dan orang berjunub untuk menetap dalam masjid hanya di keluarkan oleh sebagian kecil ulama, pendapat ini juga tidak di terima oleh ulama-ulama setelahnya bahkan para ulama menjawab pendapat tersebut dan menganggapnya sebagai pendapat yang lemah. Dan pada masa sekarang ini, diangkat ke permukaan setelah pendapat tersebut lenyap.

Referensi:
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Khatib Al-Syirbini, Mughni Muhtaj, Jld.I. (Kairo: Darul Hadis). h.274-275.
(ويحرمبه ) أيبالحيض ( ماحرمبالجنابة ) منصلاةوغيرهالأنهأغلظويدلعلىأنهأغلظمنهاأنهيحرمبهمايحرمبها (و ) أشياءأخرأحدها ( عبورالمسجدإنخافتلويثه ) صيانةللمسجدعنالنجاسةفإنأمنتهجازلهاالعبوركالجنبلكنمعالكراهةكمافيالمجموعولاخصوصيةللحائضبهذابلكلمنبهنجاسةيخافتلويثالمسجدمنهامثلهاكمنبهسلسالبولواستحاضةومنبنعلهنجاسةرطبة
Artinya: “ Dan haram dengan sebab haid apa saja yang diharamkan dengan sebab janabah, seperti shalat dan sebagainya. Alasannya adalah karna haid lebih berat dari janabah. Dalil yang menunjukkan bahwa haid lebih berat dari janabah adalah hukum yang menyebutkan bahwa haram dengan sebab haid apa saja yang haram dilakukan dengan sebab janabah. Dan (haram pula) perkara-perkara yang lain, salah satunya ; berlalu (‘ubur) dalam mesjid jika takut dapat mengotori masjid (‘ubur: masuk dari satu pintu dan langsung keluar dari pintu yang lain) karena untuk memelihara masjid dari najis. Maka jika tidak ditakutkan mengotori masjid, dibolehlah berlalu, sama seperti orang yang berjunub. Namun hukumnya makruh, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Majmu’. Hal ini (hukum ‘ubur dalam mesjid) tidak hanya khusus pada wanita yang berhaid, tetapi juga brlaku pada setiap orang yang padanya terdapat najis yang dapat mengotori masjid, seperti orang yang mengalami salsul baul, istihadhah, dan orang yang pada sandalnya terdapat najis yang basah.

Al-Bakri bin Muhammad Syaththa, I’ānat al-Thālibῑn, Jld I, (Semarang: Haramain, 2007), h. 69-70.
ويحرمبنحوالحيضأيضاالعبورفيالمسجدإنخافتتلويثه،فإنأمنتهجازلهاالعبوركالجنب،معالكراهة.
Artinya: Dan haram pula dengan sebab seumpama haidh yaitu ‘ubur dalam mesjid jika takut dapat mengotori masjid. Maka jika tidak takut akan mengotori masjid, bolehlah ‘ubur, seperti orang yang berjunub. Namun hukumnya makruh. 

Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi,Kasyifah Al-Saja fi Syarah safinah Al-Naja,Jld.I.( Maktabah Syamilah). Hal. 71
(و) تاسعها: (المرور) أيمجردالعبور (فيالمسجد) لغلظحدثهاوبهذافارقتالجنبحيثلميحرمفيحقهمجردالعبور (إنخافتتلويثه) بالثاءالمثلثةأيتلطيخهبالدمصيانةللمسجدفإنأمنتهكانلهاالعبورلكنمعالكراهةعندانتفاءحاجةعبورهابخلافالجنبفإنالعبورفيحقهبلاحاجةخلافالأولى،فإنكانلهاغرضصحيحكقربطريقفلاكراهةولاخلافالأولى
Artinya: “ (Dan) yang ke sembilan; (lewat) sekedar lalu(dalam masjid), karena berat hadatsnya haidh. Dan karena ini, berbedalah dengan orang junub, sekira–kira tidak haram baginya semata-mata berlalu, (jika ditakutkan akan mengotori masjid) mengotori dengan darah, karena untuk memelihara masjid. Maka jika yakin tidak akan mengotori masjid, maka boleh bagi wanita untuk ‘ubur dalam masjid, tapi hukumnya makruh bila tidak ada keperluan. Berbeda dengan orang junub, bagi orang junub ‘ubur dalam masjid tanpa hajat hukumnya khilaf aula, sementara jika terdapat hajat yang shahih, seperti menjadikan ‘ubur dalam mesjid sebagai jalan pintas, maka tidak makruh dan tidak pula khilaf aula. 

Imam Nawawi, Raudhah ath-Thalibin Jld I. (Beirut; Dar Kutub Ilmiyah).h. 248

يحرمعلىالحائضمايحرمعلىالجنب،ولايجبعليهاقضاءالصلاة. ولوأرادتالعبورفيالمسجد،فإنخافتتلويثهلعدمإحكامهاالشد،أولغلبةالدم،حرمالعبورعليها،ولايختصهذابها،بلالمستحاضة،والسلس،ومنبهجراحةنضاخة،يحرمعليهمالعبورإذاخافواالتلويث. فإنأمنتالحائضالتلويث،جازالعبورعلىالصحيح،كالجنبومنعليهنجاسةلايخافتلويثها
Artinya; Haram bagi wanita berhaidh semua yang diharamkan terhadap orang yang berjunub, dan tidak wajib baginya (wanita berhaidh) mengkadha shalatnya. Jika ia berencana melewati mesjid, maka jika ditakutkan mengotori mesjid, karena tidak kuat ikatannya atau banyak darah, maka haram lalu dalam mesjid. Hukum ini tidak hanya khusus dengan wanita berhaidh tetapi wanita mustahadhah, orang yang salils baul dan orang yang mengalir (darah) juga haram bagi mereka melewati mesjid apabila ditakutkan mengotori mesjid. Maka jika aman dari mengotori mesjid, bolehlah melewatinya berdasarkan pendapat yang shahih, sama seperti orang berjunub dan orang yang bernajis yang tidak ditakutkan mengotori mesjid.

Zakaria Al-Ansari, Syarqawi ‘ala Al-Tahrir, Jld I. (Jeddah:Haramain).h.88.

(ولبثمسلمبمسجدلاعبوره( قالتعالىلاتقربواالصلاةأيمواضعهاوأنتمسكارىحتىتعلمواماتقولونولاجنباالاعابرىسبيلحتىتغتسلوانعميجوزلبسهفيهلضرورةكأننامفيهفاحتلموتعذرخروجهلخوفمنعسسونحوهلكنيلزمهالتيمم.
(قولهلاعبوره)أيفلايحرمثمانكانلهغرضصحيحكقربطريقفلاكراهةأيضاولاخلافالاولىوالافهوخلافالاولىبخلافالحائضاذاأمنتالتلويثفانعبورهامكروه

Imam Nawawi, Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Jld.III, (Beirut: Darul Kutub.1971). h.293-294.

قالأصحابنايتعلقبالحيضأحكام (التاسع) يحرممسالمصحفوحملهوقراءةالقرآنوالمكثفيالمسجدوكذاالعبورعلىأحدالوجهين
ومعظمهذهالأحكاممجمععليهقالأصحابنافإذاطهرتمنالحيضارتفعمنهذهالأمورالمحرمةتحريمالصوموالطلاقوالظهاروارتفعأيضاتحريمالعبورفيالمسجدعلىالأصحإذاقلنابتحريمهفيزمنالحيضوقدسبقحكايةوجهعنحكايةصاحبالحاويوإمامالحرمينأنالعبوريبقىتحريمهحتيتغتسلوليسبشئ

Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Jld III Hal, 101-102 Dar Kutub Ilmiyah thn 2007
(فرع)
فيمذاهبالعلماءفيمكثالجنبفيالمسجدوعبورهفيهبلامكث: مذهبناانهيحرمعليهالمكث
فيالمسجدجالساأوقائماأومتردداأوعلىأيحالكانمتوضأكانأوغيرهويجوزلهالعبورمنغيرلبثسواءكانلهحاجةأملاوحكيابنالمنذرمثلهذاعنعبداللهابنمسعودوابنعباسوسعيدبنالمسيبوالحسنالبصريوسعيدبنجبيروعمروبندينارومالكوحكيعنسفيانالثوريوأبيحنيفةوأصحابهواسحاقابنراهويهأنهلايجوزلهالعبورالاانلايجدبدامنهفيتوضأثميمروقالاحمديحرمالمكثويباحالعبورلحاجةولايباحلغيرحاجةقالولوتوضأاستباحالمكث: وجمهورالعلماءعليانالوضوءلاأثرلهفيهذاوقالالمزنيوداودوابنالمنذريجوزللجنبالمكثفيالمسجدمطلقاوحكاهالشيخأبوحامدعنزيدبناسلم
واحتجأصحابنابقولاللهتعالى (لاتقربواالصلاةوأنتمسكارىحتىتعلمواماتقولونولاجنباإلاعابرىسبيل) قالالشافعيرحمهاللهفيالامقالبعضالعلماءبالقرآنمعناهالاتقربوامواضعالصلاةقالالشافعيومااشبهماقالبماقاللانهليسفيالصلاةعبورسبيلانماعبورالسبيلفيموضعهاوهوالمسجدقالالخطابيوعلىماتأولهاالشافعيتأولهاأبوعبيدةمعمربنالمثنيقالالبيهقىفيمعرفةالسننوالآثار

Imam Ramli, Nihayah Muhtaj, Jld I, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah).h.327-328
ثمشرعفيأحكامالحيضفقال (ويحرمبه) أيبالحيض (مايحرمبالجنابة) منصلاةوغيرهالكونهأغلظمنهابدليلأنهيحرمبهأمورزيادةعلىمايحرمبهاكماأشارإليهبقوله (وعبورالمسجدإنخافتتلويثهصيانةلهعنتلويثهبالنجاسة،فإنأمنتتلويثهجازلهاالعبورمعالكراهة) كمافيالمجموعومحلهاعندانتفاءحاجةعبورهاولايختصماذكرهبها،فمنبهحدثدائمكمستحاضةوسلسبولومنبهجراحةنضاخةبالدمأوكانمنتعلابنعلبهنجاسةرطبةوخشيتلويثالمسجدبشيءمنذلك

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islamiyah wa adillatuh, Jld.I. (Darul Fikri, 1997).h 267.

- دخولالمسجد،واللبثوالاعتكاففيه،ولوبوضوء،لقولهصلّىاللهعليهوسلملاأحلالمسجدلحائضولاجنب.
وأجازالشافعيةوالحنابلةللحائضوالنفساءالعبورفيالمسجدإنأمنتتلويثه،لأنهيحرمتلويثالمسجدبالنجاسةوغيرهامنالأقذاربسببالمكثفيه،ولماروتعائشةرضياللهعنهاقالت: قالليرسولاللهصلّىاللهعليهوسلم : «ناولينيالخُمْرةمنالمسجد»فقلت: «إنيحائض»فقال: «إنحيضتكليستفييدك»وعنميمونةرضياللهعنهاقالت: «تقومإحدانابالخُمْرةإلىالمسجد،فتبسُطُهاوهيحائض»هذا .. وأباحالحنابلةأيضاًللحائضالمكثفيالمسجدبوضوءبعدانقطاعالدم،لانتفاءالمحذوروهوخشيةتلويثالمسجد.
Abu mu’adz Muhammad Abdulhayyi ‘awinah, Basthu Athfal fi ma kalami a’la al-Haizi min Af’al, hal. 66, al-Thaba’atul ula, 2010.

قدذكرناأنهلاخلافبينعلماءالمذاهبالأربعةفىحرمةمكثالحائضفىالمسجد, وإنماالخلافبينهمفىجوازالمرورمنغيرمكث, أماالقولبحللبثالحائضأوالجنبفىالمسجدفقدقالبهنفرقليلمنأهلالعلم, ولميأخذبهأحدممنجاءبعدهم, ولمينتشرقولهم, بلأجابعنهالعلماءوضعفواهذاالقول, إلىأنجاءعصرنا, فأخرجوالناهذاالقولوحاولواإيقاظهأوبعثهبعدموته

Hukum Zakat Uang Kertas




Zakat Uang Kertas 
 

Sebenarnya uang kertas belum dikenal pada masa Rasulullah SAW karena pada masa itu dinar dan dirham lah yang menjadi sebagai alat tukar utama dalam perekonomian, begitu pula pada masa sahabat dan ulama salaf dalam beberapa dekade. Maka dari itu, kita tidak akan menemukan pendapat-pendapat para ulama terdahulu mengenai hukum zakat uang kertas secara khusus, namun para ulama setelahnya mencoba mengkaji hukumnya dari teks-teks kitab ulama terdahulu yang mungkin hasilnya berdasarkan makna yang tersirat dari uraian-uraiannya dan tentu saja pendapat-pendapat mereka masih relevan untuk kita jadikan rujukan dan sejak berlakunya uang kertas sebagai alat tukar telah menarik perhatian ulama-ulama kontemporer untuk mengkajinya. Telah terjadi perdebatan besar antar ulama  mengenai hukum zakat uang kertas, berikut ini kami rincikan beberapa pendapat ulama tersebut :



       1.   Hukum Zakat uang Kertas Menurut Al-Anbaby dan Abdullah ibn Umar




قال الأنبابي فى جواب سؤال رفع إليه ما نصه : الورقة المذكورة يصح البيع والشراء بها لأنها ذات قيمة , وما ملك منها بنية التجارة.. عرض تجارة تجب زكاتها في قيمتها بشروطها المعلومة , ولازكاة فى عينها, لأنها ليست من الأعيان الزكوية, والله أعلم.



Dari ibarat di atas dapat dipahami bahwa menurut al-Anbaby hukum transaksi (jual-beli) dengan kertas adalah sah karena ia memiliki harga (qimah) sama seperti fulus dan barang yang dimilikinya itu menjadi benda tijarah yang wajib dizakati. Adapun uang kertas tidak wajib dizakati karena ia tidak termasuk dalam harta yang wajib zakat (a’yan zakawi). Pendapat al-Anbaby juga senada dengan komentar al-Habib Abdullah ibn Umar, sebagaimana tercantum dalam redaksi berikut ini ;




وقال الحبيب عبد الله بن عمر ما نصه: المضروب من النحاس والقرطاس ونحوها لاتجب الزكاة في عينه ، بل تجب فيه للتجارة إذا وجدت شروطها ، وهذه المسألة واضحة لا تحتاج إلى نقل واستدلال ، لكنا فى زمان صارت فيه الواضحات مشكلات ، هذا والله أعلم.




2. Hukum Zakat Uang Kertas Menurut Syekh Salim ibn Samir dan Abu Bakar Utsman ibn Muhammad Syatha



واختلف المتأخرون فى الورقة المعروف بالنوط فعند الشيخ سالم بن سامر والحبيب عبد الله بن سميط أنها من قبيل الديون نظرا الى ما تضمنته الورقة المذكورة من النقود المتعامل بها وعند الشيخ محمد الأنبانى والحبيب عبد الله بن أبي بكر أنها كالفلوس المضروبة والتعامل بها صحيح عند الكل وتجب زكاة التجارة عند الأولين زكاة عين وتجب زكاةالتجارة عند الأخرين فى أعيانها اذا قصد بها التجارة وأما أعيان الأوراق التى لم تقصد بها التجارة فلا زكاة بها باتفاق وجمع شيخنا رحمه الله بين كلامهم فقال بعد نقل افتاآتهم ما حاصله أن الأوراق المذكور لها جهتان:



الأولى : جهة متضمنته من النقدين.



الثانية : جهة أعيان ، فإذا قصدت المعاملة بما تضمنته ففيها تفصيل ، حاصله أنه إذا اشتريت عين به وهو الغالب فى المعاملة بها كان من قبيل شراء عرض بنقد فى الذمة ، وهو جائز ،وإعطاء ورقة النوط للبائع إنما هو لتسلم ما تضمنته من الحاكم الواضع لذلك النوط أو نوابه. وإذا قصد بذلك الشراء التجارة صح وصارت تلك العين عرض التجارة.



قال : فإن دفع الأوراق لصراف ليأخذ منه قدر ما تضمنته كان من قبيل تسلم ما لصاحب الورقة عند الحاكم من نوابه  لأنه دين عنده يدفعه بنفسه أو بمأذونه من كل من يتعاطى المعاملة بها لمن اراد حقه ممن كانت الأورق فى يده ، فإن بيعت الأوراق بمثلها متماثلا أو متفاوتا كان من قبيل الدين وهو باطل.



وإذا قصدت المعاملة بأعيانها كانت كالفلوس المضروبة ، فيصح البيع بها وبيع بعضها ببعض لأنها منتفع بها وذات قيمة كالنحاس المضروب ، وتصير عرض تجارة بنيتها ، وتجب زكاة التجارة فيها.



وحاصل هذا الجمع :أنا نعتبر قصد المتعاملين فإما أن يقصد ما تضمنته الأوراق وإما ان يقصد أعيانها، ويترتب على كل أحكام غير أحكام الآخر، قال: وترجيح الجهة الأولى هو الأولى لأنه يعلم بالضرورة: أن المقصود عند المتعاقدين إنما هو القدر المعلوم مما تضمنته الأوراق لا ذواتها.



لا يقال : إن المتعاقدين لا يصرحون بألسنتهم أن المقصود منها هو النقد المقدر ، لأن نقول : لما شاع اصطلاح واضعها على ذالك وكثر على التعامل بها على الوجه المصطلح عليه نزل ذلك منزلة التصريح ، ويترتب على ذالك أنه اشتراها وبقيت عنده حولا كاملا وكانت نصابا وجبت عليه زكاتها لأنها من قبيل الدين وهو تجب فيه الزكاة.



قال : وإذا علمت ذالك تعلم أن ما كتبه العلامة عبد الحميد الشروانى محشى (( التحفة)) فى أوائل (كتاب البع) من جزمه بعدم صحة التعامل بها مطلقا، وجزمه بعدم وجوب الزكاة معللأ عدم الصحة بأن الأوراق المذكورة لا منفعة فيها وأنه كحبتى بر غير صحيح لأنها ذات قيمة ومنفعة منتفع بها غاية الانتفاع، على أنك قد علمت أن الاقصد ما دلت عليه من النقود المقدرة فلا يتم تعليله، فتنبه لهذه المسألة فإن التجار ذوى الأموال يتثبتون بما صدر من المحشي المذكور رحمه الله و يمتنعون من إخراج الزكاة . وهذا جهل منهم وغرور، والمحشى قال فيها بحسب ما بدا له من غير نص، فلا يؤخذ بقوله، ولاحتياط فى أمثال هذه المسألة مما هو متعين لأنه ينشأ منه فساد كبير وغرر عظيم للجهال، ومن تمكن حب الدنيا فى قلبهم انتهى ما نقله من كلام شيخنا رحمه الله.



ولم يبين ما أخرجه فى الزكاة عنها هل هو ذهب او فضة؟ والظاهر : أن يخرجها فضة. لأن المشهور: أن صورة المكتوب فيها قيمت الدراهم من الربابي والريالات لا الدنانير و يحتمل أنه يخرجها بحسب ما بذل للحاكم أولا عوضا عنها سواء كان ذهبا أم فضة ، وهذا هو المتبادر من كلام الشيخ رحمه الله، ولكن بقي على هذا في من حصلها من غير إعطاء العوض فيها كأن أعطاه شخص إيها أو تملك لقطة منها بشرطه ، ولو قيل بالتخيير حينئذ لم يبعد، والله أعلم.  



            Dari ibarat di atas dapat dipahami bahwa menurut Syaikh Sayyid Abubakar bin Syatha dan Syekh Salim ibn Samir yang dikutip oleh al-Tarmasy hukum transaksi dengan uang kertas adalah sah dan barang yang dimilikinya itu menjadi benda tijarah yang wajib dizakati. Namun menurut beliau uang kertas juga wajib dizakati ditinjau karena uang kertas mengandung nilai emas atau perak (متضمنته من النقدين) sehingga orang yang memiliki uang kertas artinya ia mempunyai naqad yang diperhutangkan.


3. Hukum Zakat Uang Kertas Menurut Wahbat Al-Zuhaili



سادساً ـ زكاة الأوراق النقدية:



الأوراق النقدية والنقود المعدنية: هي التي يتم التبادل بها بدلاً عن الذهب والفضة، وتعد بمثابة حوالة مصرفية على المصرف المركزي للدولة بما يعادلها ذهباً من الرصيد الذهبي المخزون الذي يغطي العملة المتداولة، إلا أن أغلب الدول حرمت التعامل بالذهب، فلم تعد تسمح بسحب الرصيد المقابل لكل ورقة نقدية أو نقد معدني مصنوع من خلائط معدنية معينة كالبرونز والنحاس وغيرهما، حفاظاً على الرصيد الذهبي في خزانة الدولة. وبما أن هذا النظام ظهر حديثاً بعد الحرب العالمية الأولى، فلم يتكلم فيه فقهاؤنا القدامى، وقد بحث فقهاء العصر حكم زكاة هذه النقود الورقية (1) ، فقرروا وجوب الزكاة فيها عند جمهور الفقهاء (الحنفية والمالكية والشافعية)؛ لأن هذه النقود إما بمثابة دين قوي على خزانة الدولة، أو سندات دين، أو حوالة مصرفية بقيمتها ديناً على المصرف.



ولم ير أتباع المذهب الحنبلي الزكاة فيها حتى يتم صرفها فعلاً بالمعدن النفيس (الذهب أو الفضة) قياساً على قبض الدين.



والحق وجوب الزكاة فيها؛ لأنها أصبحت هي أثمان الأشياء، وامتنع التعامل بالذهب، ولم تسمح أي دولة بأخذ الرصيد المقابل لأي فئه من أوراق التعامل، ولا يصح قياس هذه النقود على الدين؛ لأن هذا الدين لا ينتفع به صاحبه وهو الدائن، ولم يوجب الفقهاء زكاته إلا بعد قبضه لاحتمال عدم القبض، أما هذه النقود فينتفع بها حاملها فعلاً كما ينتفع بالذهب الذي اعتبر ثمناً للأشياء، وهو يحوزها فعلاً، فلا يصح القول بوجود اختلاف في زكاة هذه النقود. والقول بعدم الزكاة فيها لاشك بأنه اجتهاد خطأ؛ لأنه يؤدي في النتيجة البينة ألاّ زكاة على أخطر وأهم نوع من أموال الزكاة، فيجب قطعاً أن تزكى النقود الورقية زكاة الدين الحالّ على مليء، كما هو المقرر لدى الشافعية، ويجب فيها ربع العشر (2.50%). ويقدر نصابها ـ كما أبنت ـ بسعر صرف نصاب الذهب المقرر شرعاً وهو عشرون ديناراً أو مثقالاً، ونختار أن يكون وزنها ذهباً 85غراماً، ومن الفضة (595 غراماً) عملاً بالدرهم العربي وهو (975،2 غم)، والأصح تقدير النصاب الورقي بالذهب؛ لأنه المعادل لنصاب الأنعام (الإبل والبقر والغنم)، ولارتفاع مستوى المعيشة وغلاء الحاجيات، وإن كان يرى كثير من علماء العصر تقدير النصاب بالفضة؛ لأنه أنفع للفقراء، وللاحتياط في الدين، ولأن نصاب الفضة مجمع عليه، وثابت بالسنة الصحيحة، وكان يساوي في الماضي ستة وعشرين ريالاً مصرياً وتسعة قروش وثلثي قرش، ونحو خمسين ريالاً في السعودية ودولة الإمارات، ونحو 60 أو 55 روبية في باكستان والهند.




حكم التعامل بالنقود



أقر فقهاؤنا بالاجماع التعامل بالنقود على انها اثمان للاشياء من سلع وخدمات, وعلى ضرورة توفيرها وحمايتها لتغطية حاجات الناس, على أساس من الحق والعدل والمساواة والحرص على حرية تداولها من غير اكتناز ولا ادخار فلم يجيزوا المراباة بها لانها تضر بقاعدة التعادل في التبادل وبمبدأ توفيرها في التعامل فلا يحتكر المرابون التعامل بها وبما هو ضروري مثلها وهي المطعومات أقوى الناس واوجبوا الزكاة في المجمد منها لمدة عام دون تحريك او تعامل بها وقرروا ضرورة تفتيت الثروة بالارث وتوزيع الغنائم ونحوها وإبرام العقود الاقتصادية ليستفد منها اكبر قدر ممكن من طريق تسييلها (تحقيق السيولة النقدية) وتوفيرها في الأسواق لذا قال الله تعالى في تخصيص الفيء للمصالح العامة: "ما افاد الله على رسوله من اهل القرى فلله وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم" (الحشر: 59/7)



وتتأثر أحكام التعامل بالنقود بسببين: كونها أثمانا للأشياء (الثمنية) وتغير قيمتها.



أما ثمنية النقود: فاتفق الفقهاء المسلمون على كون الذهب والفضة أثمانا للأشياء في المبيعات وغيرها, سواء قالوا: كالحنفية : إنهما أثمان بالخلقة و الطبيعة أو قالوا كبقية الفقهاء ومنهم الجصاص الرازي: إنهما أثمان بالعرف والاصطلاح والمعنى الثاني أسلم وأصوب لأن الثمنية اصطلاح. وأما الفلوس (وهى المصنوعة من معدن آخر غير الذهب و الفضة) فهي أثمان بالاصطلاح والتعارف، فلها صفة الثمنية ما دامت رائجة، وتلحق بالنقود الذهبية والفضية، و فيها الزكاة ويجري فيها الربا في رأي المالكية والحنفية. أما الشافعية والحنابلة فقالوا:لا تعطى صفة الثمنية، ولا تلحق بالذهب والفضة، فلا زكاة ولا ربا فيها.ولا شك بأن الإتجاه الأول هو الأصوب والأسلم، بسبب مشروعية التعامل بها،.واعتبارها نقودا شرعية،تحل محل الذهب والفضة



وأما النقود الورقية: فألحقها أكثر المعاصرين بالذهب والفضة، فأوجبوا فيها الزكاة، وأجروا فيها الربا. وشذ بعض المعاصرين فجعلوا ها كالسلع التجارية تأثرا بمذهبي الشافعية والحنابلة في تقييم الفلوس وكونها وثائق للديون في مبدأ أمرها، وليس لها صفة النقود، ولم يوجبوا الزكاة فيها إلا إذا كانت معدة للتجارة كبقية السلع، وكذالك لم يجروا فيها أحكام الربا كبقية العروض التجارية، وهذا خطأ محض، لأن العمالات الورقية صارت أثمان الأشياء بدلا من الذهب والفضة




والراجح هو الإتجاه الأول، لأنها أصبحت ثمنا للمبيعات، وحلت محل الذهب والفضة في التعا مل بها، وعدت في العرف العام نقودا شرعية، ولها صفة الثمنية عرفا و قنونا والتزمت الحكومات بأداء بدلها عند هلاكها أو ضياعها، لتوفير ثقة الناس بها، وصارت أثمانا رمزية كالفلوس الرائجة قديما، وحينئذ تجب فيها. الزكاة، و يجري فيها الربا، فإذا بيعت ببعضها من جنس واحد يجب فيها التساوي في قيمة البدلين، وقبض كل منهما في مجلس العقد دون تأخير، فلا يجوز التفاضل والنسيئة(التأجيل). فإن اختلف الجنس في العملتين كريال بدولار، جاز التفاضل وحرم النساء.




وأما تغير قيمة النقود الورقية: فهو مشكلة أدت إلى اضطراب التعامل بها، ولا سيما إذا أقرضت، ثم هبطت قيمتها، وقد اتجه الفقهاء في كيفية سدادها اتجاهين :اتجاه الجمهور الأعظم من فقهاء المذاهب الأربعة: أنها تؤدى بجنسها ونوعها وقدرها و صفتها، دون زيادة أو نقصان، منعا من الوقوع فى الربا المحرم شرعا، شأنها بقية النقود الذهبية أوالفضة والفلوس الرائجة. وذهب أبو يوسف رحمه الله إلى أنه يجب ردها بقيمتها يوم إقراضها، أو قبضها في القرض، ورد قيمتها يوم الإنعقاد في عقد البيع، وهذا هوالمفتي به عند الحنفية. وهو أيضا رأي بعض المالكية (الرهوني) إذا كان التغير فا حشا، وترد بمثلها إذا كان التغير يسيرا. و هذا الإتجاه هو الإتجاه هوالأصح، رعاية لمصالح الناس، ودرء ااضرر عنهم. لكن قرار مجمع الفقه الإسلامي الولي رقم:  ٤۲(۴/٥) عام ١٤٠٩ ه/ ١٩٨٨ م في دورته الخامسة بالكويت أخذ بالإتجاه الأول ونصه ما يأتي: بعد الاطلاع على قرار المجمع رقم 12 (9/3) في الدورة الثالثة بأن العاملات المقررة للذهب والفضة من حيث احكام الربا والزكاة والسلم وسائر احكامهما, قرر مايلى:



-العبرة فى وفاء الديون الثابتة بعلمة ماهى : بالمثل وليس بالقيمة, لان الدوين تقتضى بامثالها, فلا يجوز ربط الدوين الثابتة في الذمة, أيا كان مصدرها, بمستو الأسعار. وأما نص القرار 21 (9/3) الصادر في دورة المجمع الثالثة بالأردن فهو:اولا: بخوصص احكام العملات الورقية : انها نقود إعتبارية فيها صفة الثمنية كاملة, ولها الاحكام الشرعية المقررة للذهب و الفضة, من حيث احكام الربا والزكاة والسلم وسائر احكامهما. ثانيا:  بخوصص تغير قيمة العملة: تاجيل النظر فى هذه المسألة حتى تستوفى دراسة كل جوانبها لتنظر في الدورة الرابعة للمجلس ثم اصدر هذا المجمع فى عام 1421 إه/ 2000 م في دورة الثانية عشرة المنقدة في الرياض القرار رقم 110 (9/12) بشأن موضوع التضخم وتغير قيمة العملة, و نصه: أولا: تأكيد العمل بالقرار السابق رقم 43 (4/5) و نصه:  العبرة فى وفاء الديون الثابتة بعلمة ماهى : بالمثل وليس بالقيمة, لان الدوين تقتضى بامثالها, فلا يجوز ربط الدوين الثابتة في الذمة, أيا كان مصدرها, بمستو الأسعار".     ثانيا: يمكن في حالة توقع التضخم التحوط عند التعاقد بإجرء الدين بغير العملة المتوقع هبوطها, وذلك بأن يعتقد الدين بما يلى:  أ). الذهب والفضة. ب). سلعة مثلية.  ث).سلة من السلع المثلية . د). عملة أخرى أكثر ثبتا .ه). سلة عملا



            Dari ibarat di atas, dapat dipahami bahwa Syekh Wahbah al-Zuhaily mewajibkan zakat kepada uang kertas karena ia disamakan dengan naqad (emas dan perak) dari segi sama-sama menjadi harga bagi setiap barang, bahkan menurut beliau fulus juga wajib dizakati karena juga sama dengan naqad. Beliau menganggap salah pendapat ulama yang tidak mewajibkan zakat uang kertas dengan alasan karena menurut mereka uang kertas tidak sama dengan naqad dan uang kertas adalah hanya sebagai jaminan hutang pada awal mulanya. Jadi, Syekh Wahbah al-Zuhaily mewajibkan zakat pada diri uang kertas itu sendiri bukan karena ia mengandung nilai emas dan perak.




            Dari paparan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada 3 pendapat mengenai hukum zakat uang kertas antara lain yaitu, uang kertas tidak wajib dizakati pada dirinya karena uang kertas tidak termasuk dalam harta yang wajib dizakati (a’yan zakawy). Pendapat ini dikemukakan oleh al-Anbaby dan Abdullah ibn Umar.



2.      Uang kertas tidak wajib dizakati pada dirinya namun wajib dizakati karena ia berada sebagai jaminan hutang dan ia mengandung nilai emas atau perak (متضمنته من النقدين).



3.      Uang kertas wajib dizakati pada dirinya karena disamakan dengan naqad (emas atau perak) bahkan fuluspun wajib dizakati. Pendapat ini dikemukakan oleh Wahbat al-Zuhaily.






Menurut hemat kami lebih cenderung bahwa uang kertas tidak wajib dizakati karena ia bukan harta zakawy. Adapun pendapat Syekh Sayyid Abu Bakar Syatha yang mewajibkannya karena ia mengandung nilai emas atau perak hal tersebut sebenarnya sudah tepat karena memang pada masa beliau uang kertas dicetak berdasarkan kekayaan emas atau perak yang dimiliki oleh sebuah negara yaitu di bawah tahun 1973 M. Namun setelah ditelusuri, pada masa sekarang uang kertas dicetak bukan lagi berdasarkan banyaknya emas yang dimilki, akan tetapi menurut kekayaan produktif dalam sebuah negara sehingga uang kertas saat ini tidak lagi berada pada posisi emas atau perak yang diperhutangkan.






Kemudian, mengenai pendapat Wahbat al-Zuhaily yang mewajibkan zakat karena uang kertas adalah tsaman bagi semua barang sebagai pengganti emas dan perak bahkan beliau mewajibkan zakat pada fulus karena ia juga menjadi harga (tsaman) dalam sebuah transaksi, bila tinjauan dengan  fiqh Syafi’i,  pendapat tersebut kurang tepat dikarenakan wajibnya zakat emas atau perak illatnya adalah  karena ia barang produktif (mu’addun li al-Nama`) bukan barang konsumtif  sedangkan uang kertas adalah barang konsumtif. Hal ini bisa dilihat dari beberapa nash kitab berikut ini ;






Al-Nawawy Yahya ibn Syaraf, Majmu’ Syarh Muhadzdzab, Juz VII hal 54, Cet. Dar al-Kutub



(زكاة الذهب والفضة: تجب الزكاة في الذهب والفضة لقوله عز وجل (والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم) ولان الذهب والفضة معد للنماء فهو كالابل والبقر السائمة ولا تجب فيما سواهما من الجواهر كالياقوت والفيروزج واللؤلؤ والمرجان لان ذلك معد للاستعمال فهو كالابل والبقر العوامل ولا تجب فيما دون النصاب من الذهب والفضة.



Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiat Sulaiman al-Bujairimi, Juz II, h. 37-38 Cet. Dar al-Kutub



والمعنى في ذلك أن الذهب والفضة معدان للنماء كالماشية في السائمة وبما ذكر علم أن نصاب الذهب عشرون دينارا ونصاب الفضة مائتا درهم فضة وأنه لا وقص في ذلك كالمعشرات لإمكان التجزؤ بلا ضرر بخلاف الماشية وأنه لا زكاة فيما دون النصاب وإن ثم في بعض الموازين ولا في مغشوش حتى يبلغ خالصه نصابا فيخرج زكاته خالصا أو مغشوشا خالصه قدرها لكن يتعين على الولي إخراج الخالص حفظا للنحاس ولا في سائر الجواهر كلؤلؤ وياقوت وفيروزج لعدم ورود الزكاة فيها ولأنها معدة للاستعمال كالماشية العاملة






(قوله: معدان) أي مهيئان بحسب خلق الله لهما (قوله: كالماشية في السائمة) أي في كونها معدة للنماء وإن كان النمو مختلفا فنمو الماشية من جهة السمن والدر والنسل ونمو النقد من جهة ربح التجارة كما قرره شيخنا قال الشوبري: وكان الأولى أن يقول كالسائمة في الماشية أو إسقاط في كما في شرح الروض وكما أسقطها في العاملة فيما سيأتي وقال بعضهم العبارة مقلوبة.






(قوله: ولا في سائر الجواهر) هذا علم من قوله ذهبا أو فضة وفيه أن كلا من الذهب والفضة لقب أي ليس بمشتق واللقب لا مفهوم له إلا أن يقال هذا مبني على قول من قال إن له مفهوما وأنه حجة فتأمل شيخنا






            Dari pernyataan Imam al-Nawawi diketahui bahwa illat wajibnya zakat emas dan perak karena ia barang produktif sebagaimana harta zakawi lainnya. Maka tidak diwajibkan zakat pada segala jenis permata karena semuanya itu adalah barang konsumtif (mu’addun lil isti’mal) sekaligus tidak ada dalil wajibnya zakat terhadap semuanya itu.  


Abdullah ibn Umar Ba Jummah al-‘Amudy, al-Masa`il al-Tsalats, Cet. Dar al-Minhaj, h. 107.



Syekh Muhammad Mahfudh ibn Abdullah al-Tarmasy, Hasyiah Tarmasih `ala Syarah Bafadhal, Juz V, Cet. Dar al-Minhaj, hal. 209-211

Wahbat al-Zuhaily. Al- Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz III, Cet. Dar al-Fikr, hal. 1833-1835.

Wahbat al-Zuhaily, al-Mu’amalat al-Maliyat al-Mu’ashirat, Cet. Dar al-Fikr, hal. 153-157.