Selasa, 04 Agustus 2020

MAKNA SIFAT AZALIYYAH

MAKNA SIFAT AZALIYYAH

Wajib mempelajarinya karena istilah sifat azaliyyah diucapkan oleh para ulama ahlussunnah sepanjang zaman, dari zaman salaf hingga khalaf.
Zaman salaf diwakili oleh Imam Al Muzani :
وصفاته أزليات وليست بمحدثات
sifat sifat Nya adalah azaliyyah, bukan sifat sifat yang baru.
Kitab Syarhussunnah. Imam Al Muzaniy

Diwakili juga oleh Imam Abu Hanifah :
وصفته أزلية
dan sifat Nya adalah azaliyyah.
Kitab Al Fiqhul Akbar.

Zaman khalaf diwakili oleh para ulama asy'ariah dan al maturidiyyah. Tidak perlu dituliskan karena sudah ma'lum.

Lalu apa makna sifat azaliyyah ?
Dikatakan sifat azaliyyah itu jika suatu sifat sudah ada sebelum mahluk tercipta dan sifat tersebut tetap ada dan tidak akan punah.

Imam Abu Hanifah mengatakan :
لم يزل ولا يزال بأسمائه وسفاته
kita uraikan kalimah tersebut
لم يزل 
artinya senantiasa, tetap, terus menerus.
لا يزال
artinya tidak akan hilang atau punah.

oleh karena itu, ketika mahluk belum diciptakan Allah disifati tidak bertempat, maka sekarang pun sama tidak bertempat. maksudnya tetap tidak bertempat, terus menerus tidak bertempat, senantiasa tidak bertempat.
Sehingga ketika ditanya dimana Allah sekarang ? mewajibkan seseorang menjawab dengan melihat sifat ketika mahluk belum diciptakan :
لو قيل أين الله فقال يقال له كان الله ولا مكان قبل أن يخلق الخلق
Jika dikatakan dimana Allah sekarang maka dikatakan padanya : Allah ada dan tidak ada tempat sebelum mahluk diciptakan.
Kitab Al Fiqhul Akbar.

Walhasil, tanda seseorang meyakini sifat azaliyyah adalah ketika ditanya sifat Allah yang sekarang, dia menjawabnya dengan sifat ketika mahluk belum diciptakan.
Maka jika ada wahabi sepakat bahwa sifat sifat Allah azaliyyah, tapi ketika ditanya dimana Allah dia jawabnya berada di atas. Itu tandanya dia tidak faham makna azaliyyah. Jahil tapi tidak sadar dengan kejahilannya sendiri.
Sama hal nya jika ada ulama salaf menetapkan arah atas lalu dituduh meyakini makna berada di atas, itu tandanya dia tidak faham dengan makna azaliyyah.

Senin, 03 Agustus 2020

Larangan memohonkan ampunan bagi orang kafir

Larangan memohonkan ampunan bagi orang kafir

Pertama perlu diketahui :
Ulama ahlussunnah berbeda pendapat apakah ahlul fatrah dari bangsa arab adalah golongan selamat atau ahli neraka.
dikatakan sebagian ulama : mereka golongan selamat.
dan sebagian nya lagi mengatakan ahli neraka : berdalil dengan sabda Nabi SAW : Sesungguhnya ayah ku dan ayah mu didalam neraka.
Sebagaimana yg dikatakan oleh Imam Nawawi didalam syarah nya :
(إن ﺃﺑﻲ ﻭﺃﺑﺎﻙ ﻓﻲ اﻟﻨﺎﺭ ) 
Perkataan Nabi saw : Sesungguhnya Ayah ku dan ayah mu di dalam neraka.
ﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺮ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ اﻟﻨﺎﺭ
didalam nya dalil bahwa org yg meninggal diatas kekafiran maka ia di dalam neraka
 ﻭﻻ ﺗﻨﻔﻌﻪ ﻗﺮاﺑﺔ اﻟﻤﻘﺮﺑﻴﻦ
dan tidak memberi manfaat (tidak dapat menolong) kepadanya kerabat terdekat yg beriman
 ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻓﻲ اﻟﻔﺘﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻌﺮﺏ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﺓ اﻷﻭﺛﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻨﺎﺭ
dan didalam nya dalil bahwa orang yg meninggal didalam masa fatrah bagi orang arab yg menyembah berhala maka ia sebagian dari ahli neraka.
 ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬا ﻣﺆاﺧﺬﺓ ﻗﺒﻞ ﺑﻠﻮﻍ اﻟﺪﻋﻮﺓ 
dan demikian ini bukan yg ditetapkan belum sampai dakwah 
ﻓﺈﻥ ﻫﺆﻻء ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺪ ﺑﻠﻐﺘﻬﻢ ﺩﻋﻮﺓ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ اﻷﻧﺒﻴﺎء ﺻﻠﻮاﺕ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺳﻼﻣﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ
sesungguhnya  telah sampai dakwah nabi ibrahim kepada mereka dan selainnya dari para nabi shalawatullah ta'ala wasalamuhu 'alaihim.

Kitab syarh sohih muslim. Imam Nawawi.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama, apakah ahlul fatrah bangsa arab golongan selamat atau ahli neraka, semua nya tidak ada yg berkata : "sesungguhnya kedua orang tua rasulullah saw di dalam neraka."

Kemudian tentang doa memohon ampun bagi  orang tua pada surat ibrahim 41.
Dari keumuman makna lafadz nya dapat digunakan kaum muslimin untuk memohon ampun bagi kedua orang tua mereka yg juga sama sama muslim.
Sedangkan dari kekhususan asbabun nuzul nya, menjelaskan bahwa memohon ampun bagi orang tua kafir tertolak. 
Sebagaimana yg dijelaskan ibnu katsir didalam tafsirnya :
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ}
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan ibu bapakku. 
ﻭﻗﺮﺃ ﺑﻌﻀﻬﻢ: "ﻭﻟﻮاﻟﺪﻱ"، ﻋﻠﻰ اﻹﻓﺮاﺩ 
Sebagian ulama tafsir membacanya waliwalidi dalam bentuk tunggal
ﻭﻛﺎﻥ ﻫﺬا ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺘﺒﺮﺃ ﻣﻦ ﺃﺑﻴﻪ  ﻟﻤﺎ ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﻋﺪاﻭﺗﻪ  ﻟﻠﻪ، ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
Hal ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebelum ia berlepas diri dari ayahnya, setelah ia mengetahui dengan jelas bahwa ayahnya adalah musuh Allah Swt.

ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻭاﻏﻔﺮ ﻷﺑﻲ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ اﻟﻀﺎﻟﻴﻦ
Dan firman Allah : dan ampunilah ayah ku sesungguhnya ia sebagian dari orang orang yg sesat
ﻛﻘﻮﻟﻪ: {ﺭﺑﻨﺎ اﻏﻔﺮ ﻟﻲ ﻭﻟﻮاﻟﺪﻱ} 
[ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ:41] 
sama seperti firman Allah : Wahai rabb kami, ampunilah aku dan kedua orang tua ku. Ibrahim 41.
، ﻭﻫﺬا ﻣﻤﺎ ﺭﺟﻊ ﻋﻨﻪ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ، ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ:
Ini adalah sebagian dari doa yang dicabut kembali oleh Ibrahim as seperti apa yg telah allah firman kan:
 {ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ اﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻷﺑﻴﻪ ﺇﻻ ﻋﻦ ﻣﻮﻋﺪﺓ ﻭﻋﺪﻫﺎ ﺇﻳﺎﻩ ﻓﻠﻤﺎ ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺃﻧﻪ ﻋﺪﻭ ﻟﻠﻪ ﺗﺒﺮﺃ ﻣﻨﻪ ﺇﻥ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻷﻭاﻩ ﺣﻠﻴﻢ} [ اﻟﺘﻮﺑﺔ:114]
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. (At-Taubah: 114) 
ﻭﻗﺪ ﻗﻄﻊ [ اﻟﻠﻪ] ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻹﻟﺤﺎﻕ ﻓﻲ اﺳﺘﻐﻔﺎﺭﻩ ﻷﺑﻴﻪ، فقال 
Allah ta'ala telah memutus ilhaq (tidak mengabulkan permohonan) di dalam istigfar nabi ibrahim bagi ayah nya. Lalu Allah berfirman :
ﺇﻻ ﻗﻮﻝ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻷﺑﻴﻪ ﻷﺳﺘﻐﻔﺮﻥ ﻟﻚ ﻭﻣﺎ ﺃﻣﻠﻚ ﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺷﻲء [ اﻟﻤﻤﺘﺤﻨﺔ:4] 
Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.”  Al mumtahanah 4.

Kitab tafsir ibnu katsir.

Yg demikian semakna dengan perkataan Nabi saw yg meminta izin utk memohon ampun bagi ibunya.
Sebagaimana yg dijelaskan oleh Imam Nawawi di dalam syarah nya :
Sabda Nabi saw :
اﺳﺘﺄﺫﻧﺖ ﺭﺑﻲ ﺃﻥ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﻷﻣﻲ ﻓﻠﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﻟﻲ
aku meminta izin kepada rabb ku memohon ampun bagi ibuku lalu allah tidak mengizinkan aku.
....ﻭﻓﻴﻪ اﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ اﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻟﻠﻜﻔﺎﺭ
didalam nya adalah larangan dari memohon ampun bagi org org kafir.

Kitab al minhaj syarh sohih muslim. Imam Nawawi.

Sehingga tidak ada pertentangan antara ayat al qur'an dan hadits tersebut.

Allahu a'lam.

Mengajarkan Anak Perkara yg Wajib dan Haram

Wajib mengajarkan anak perkara yang wajib dan haram

بسم الله الرحمن الرحيم
قال المصنف رحمه الله تعالى

ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ 
Dan wajib bagi orang yang sudah berlalu
ﻧَﻬْﻴُﻪُ
melarang anak
 ﻋَﻦِ المُحَرَّمَاتِ  
dari perkara-perkara yang diharamkan
ﻭَﺗَﻌْﻠِﻴْﻤُﻪُ اﻟﻮَاﺟِﺒَﺎﺕِ 
dan mengajarkannya perkara-perkara yang wajib
ﻭَﺳَﺎﺋِﺮِ اﻟﺸَّﺮَاﺋِﻊِ  
dan syari'at syari'at yang lain 
ﻛَﺎﻟﺴِّﻮَاﻙِ
Seperti bersiwak
ﻭَﺣُﻀُﻮْﺭِ اﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺎﺕِ 
Dan menghadiri shalat berjama'ah.

_Qultu : Ketika anak sudah tamyiz dan berumur 7 tahun, orang tua bukan hanya wajib memerintahkan shalat dan puasa, tetapi wajib juga mengajarkan perkara-perkara yang haram dan perkara perkara yang wajib lainnya, serta syari'at syari'at yang lain seperti bersiwak dan menghadiri shalat berjama'ah. Jika tidak mengajarkan demikian maka orang tua berdosa._

ﺛُﻢَّ 
Kemudian
ﺇِﻥْ ﺑَﻠَﻎَ ﺭَﺷِﻴْﺪًا اِﻧْﺘَﻔَﻰ ﺫَﻟِﻚَ
Jika anak sudah baligh matang pikirannya (sudah dewasa), maka menjadi tiada (kewajiban) yang demikian itu
 ﻋَﻦِ اﻷَﻭْﻟِﻴَﺎءِ
Dari para wali 
 ﺃَﻭْ ﺳَﻔِﻴْﻬًﺎ ﻓَﻮِﻻَﻳَﺔُ اﻷَﺏِّ ﻣُﺴْﺘَﻤِرَّﺓٌ ﻓَﻴَﻜُﻮْﻥُ ﻛَﺎﻟﺼَّﺒِﻲِّ
Atau sudah baligh tapi lemah akal, maka wilayah ayah adalah yang tetap berlanjut, sehingga anak yang demikian saperti anak kecil.

_Qultu : Jika anak sudah baligh maka kewajiban wali anak di dalam memerintahkan shalat, puasa dan seluruh syari'at sudah tiada. Namun jika sudah baligh tapi lemah akal (autis) maka tanggung jawab ayah tetap berlanjut sama seperti si anak masih kecil._

_Kitab Nihayatuz Zain. Syaikh Nawawi Al Bantani.

10 Tahun Meninggalkan Shalat wajib dipukul

10 Tahun Meninggalkan Shalat wajib dipukul
10 tahun meninggalkan shalat wajib dipukul

بسم الله الرحمن الرحيم
قال المصنف رحمه الله تعالى
(ﻭَﻳُﻀْﺮَﺏُ)
Dan dipukul
 ﺃَﻱِ اﻟْﻤُﻤَﻴِّﺰُ
Maksudnya anak yang sudah tamyiz
 ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺫُﻛِﺮَ
(Halnya dihukumi) wajib bagi orang yang sudah dituturkan.
 (ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ) ﺃَﻱْ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺮْﻛِﻬَﺎ 
Di atasnya. Maksudnya jika meninggalkan shalat
ﺿَﺮْﺑًﺎ ﻏَﻴْﺮِ ﻣُﺒَﺮِّﺡٍ 
(Halnya) pukulan yang tidak membuat bekas luka memar.
(ﻟِﻌَﺸْﺮٍ)
Karena (sudah berumur) sepuluh (tahun).

_Qultu : Jika anak sudah tamyiz dan sudah berumur 10 tahun, maka wajib bagi orang tua memukul si anak jika meninggalkan shalat, dengan pukulan yang tidak membuat bekas luka memar atau berdarah. Artinya jika orang tua itu tidak memukul maka orang tua itu berdosa. Ini bukan termasuk kekerasan terhadap anak di bawah umur, ini syari'at dan syari'at itu sesuai fitrah manusia._

 ﻷَِﻧَّﻪُ ﻣَﻈِﻨَّﺔُ اﻟﺒُﻠُﻮُﻍِ
Karena yang demikian adalah letak dugaan (sudah) baligh
 ﻓَﻴَﺠُﻮْﺯُ ﺿَﺮْﺑُﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﺛْﻨَﺎءِ اﻟْﻌَﺎﺷِﺮَﺓِ
Maka boleh memukulnya pada pertengahan (usia) yang kesepuluh (tahun).
ﻭَاﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ
Dan asal (dalil) di dalam yang demikian itu adalah :
 ﻗَﻮْﻟُﻪُ 
Sabda Nabi
ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
 ﻣُﺮُﻭْا ﺃَﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼﺓِ
Perintahkan oleh kalian anak anak kalian mengerjakan shalat
 ﻭَﻫُﻢْ ﺃَﺑْﻨَﺎءُ ﺳَﺒْﻊٍ
Ketika sudah berusia tujuh tahun.
 ﻭَاﺿْﺮِﺑُﻮْﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﺃَﺑْﻨَﺎءُ ﻋَﺸْﺮٍ 
Dan pukul lah mereka jika meninggalkan shalat. Ketika mereka sudah berusia 10 tahun
ﻭَﻓَﺮّﻗُﻮْا ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ 
Dan pisahkan oleh kalian diantara mereka di dalam tempat tempat tidur.

_Qultu : Usia 10 tahun adalah letak dugaan sudah baligh, karena bisa saja umurnya belum sampai batas usia baligh (15 tahun) tapi si anak sudah mimpi. Maka perintah mengerjakan shalat harus lebih ketat dan tegas. Maka memukul disana dikarenakan orang tua sayang kepada anaknya, khawatir si anak meninggalkan shalat padahal sudah baligh sehingga si anak berdosa._

_Kitab Nihayatuz Zain. Syaikh Nawawi Al Bantani. Hal. 11._

Wajib memerintahkan anak berpuasa di bulan Ramadhan

Wajib memerintahkan anak berpuasa di bulan Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم
قال المصنف رحمه الله تعالى
(ﻛَﺼَﻮْﻡٍ ﺃَﻃَﺎﻗَﻪُ) 
(Wajib memerintahkan shalat) seperti (wajibnya memerintahkan) berpuasa, (jika) si anak kuat melakukannya.
ﺑِﺄَﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﺤْﺼُﻞْ ﻟَﻪُ 
Dengan (tanda) tidak ada bagi si anak
ﺑِﻪِ ﻣَﺸَﻘَﺔٌ 
dengan (sebab) berpuasa, (mengalami) kesulitan 
ﻻَ ﺗَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﻋَﺎﺩَﺓً  
yang tidak  ihtimal kesulitan itu (dengan) adat.
ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗُﺒِﺢُ اﻟﺘَّﻴَﻤُّﻢَ
Sekalipun kesulitan itu tidak membolehkan bertayamum.

_Qultu : Ketika orang tua sudah diwajibkan memerintahkan anaknya mengerjakan shalat sebagaimana yang sudah dituturkan sebelumnya, maka sama hal nya wajib memerintahkan anaknya berpuasa, sekiranya si anak kuat melakukannya. Dengan tanda tidak ada kesulitan. Misalkan seperti sakit yg tidak ihtimal dengan adat. Maksudnya sakitnya si anak tidak seperti biasanya, sehingga jelas mengalami kesulitan. Karena lawan dari ihtimal adalah jelas.
Sekalipun sakit itu adalah tergolong sakit yang tidak membolehkan bertayamum (sakit ringan). Misalkan ketika si anak mengeluh pusing atau sakit perut. Maka seketika itu jangan diperintahkan berpuasa, atau jika sudah dipertengahan puasa dibatalkan saja puasanya.

Sabtu, 18 Mei 2019

Berjamaah mengikuti imam yg berbeda

Berjama’ah mengikuti imam yang berbeda mazhab

Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab dalam furu’ fiqh
1.      Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya, artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu.

2.      ‘Ibarat Nihayah :
“Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah mengikutinya.

3.       Berkata An-Nawawi :
“Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam hal berbekam dan  tidak sah dalam hal menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.) adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.

4.       Berkata Umairah :
“Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh al-Qafal. Al-Qafal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan. Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”.

5.      Berkata pengarang Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
“Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum mengetahui bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian juga jika ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang wajib pada i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut pendapat Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah. Berkata Imam Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan ulama, tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”.

6.      Berkata Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madni :
“Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi  fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”

7.      Berkata Imam An-Nawawi dalam Majmu’ :
“Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah pada i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada i’tiqad imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini ada empat pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar i’tiqad imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq, karena meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam tidak mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga : kalau imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka sah mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya, maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.

Sabtu, 27 April 2019

Sedekah Dari Penghasilan Sabu-Sabu




Sabu-sabu adalah salah satu jenis bahan kimia untuk menciptakan halusinasi akibat dari efek mabuk yang ditimbulkannya sehingga menghasilkan ketergantungan yang kuat. Bila ditinjau dari efeknya, sabu-sabu termasuk benda yang memudharatkan pemakainya karena dapat memabukkan yang berpotensi rusaknya akal pikiran sehingga ia diharamkan dalam agama.
Meningkatnya jumlah pemakai sabu-sabu di berbagai belahan dunia menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda bagi para pengedarnya. Tidak sedikit di antara mereka yang menjadi kaya raya sehinggadengan mudah mendermakan sebagian hartanya untuk orang lain ataupun kepentingan publik, seperti pembangunan sarana ibadah, sekolah dan lainnya.
Beranjak dari hal tersebut muncul beberapa permasalahan yang patut untuk dikaji bersama, di antaranya ;
1.      Hukum bersedekah dan menerimanya dari penghasilan sabu-sabu
2.      Sarana ibadah yang dibangun darinya, wajibkah diruntuhkan
3.      Hukum beribadah pada tempat yang dibangun dengan harta sabu-sabu
-          Hukum Bersedekah dan Menerimanya Dari Penghasilan Harta Haram
ولا شك أن المال الحرام لا يجوز التصدق به؛ لأنه يجب رده على مالكه، بل نقل بعض العلماء أنه لو اعتقد أنه يثاب بالمال الحرام، وتصدق به أنه يكفر، نعم قد يقال: فيه نوع سرور بدخوله على المتصدق عليه، ولكن هذا لا يقاوم إثم ترك الواجبفتاوي الخليلي جزء 1 ص 115
قال الحنفية : إذا تصدق بالمال الحرام القطعي، أو بنى من الحرام بعينه مسجداً ونحوه مما يرجو به التقرب، مع رجاء الثواب الناشئ عن استحلاله، كفر؛ لأن استحلال المعصية كفر، والحرام لا ثواب فيه. ولا يكفر إذا أخذ ظلماً من إنسان مئة، ومن آخر مئة، وخلطهما، ثم تصدق به؛ لأنه ليس بحرام بعينه قطعاً لاستهلاكه بالخلط، ولأنه ملكه بالخلط، ثم يضمنه)الفقه الاسلامي وادلته ج 3 ص 2058(
لِأَنَّ مَا حَرُمَ أَخْذُهُ لِحَقِّ الْغَيْرِ إذَا أخذه وجب رده إلى مالكه كالمغصوب وان هلك عنده وجب عليه الجزاء لانه مال حرام أخذه لحق الغير فصمنه بالبدل كمال الآدمى.)المجموع شرح المهذب ج 8  ص325  دار الكتب العلمية(
قالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ ... وَإِذَا دَفَعَهُ إلَى الْفَقِيرِ لَا يَكُونُ حَرَامًا عَلَى الْفَقِيرِ بَلْ يَكُونُ حَلَالًا طَيِّبًا)المجموع شرح مهذب  جزء 10  ص 381 دار الكتب العلمية(
(مسألة : ب ش) : وقعت في يده أموال حرام ومظالم وأراد التوبة منها ، فطريقه أن يرد جميع ذلك على أربابه على الفور ، فإن لم يعرف مالكه ولم ييأس من معرفته وجب عليه أن يتعرفه ويجتهد في ذلك ، ويعرفه ندباً ، ويقصد رده عليه مهما وجده أو وارثه ، ولم يأثم بإمساكه إذا لم يجد قاضياً أميناً كما هو الغالب في هذه الأزمنة اهـ. إذ القاضي غير الأمين من جملة ولاة الجور ، وإن أيس من معرفة مالكه بأن يبعد عادة وجوده صار من جملة أموال بيت المال ، كوديعة ومغصوب أيس من معرفة أربابهما ، وتركة من لا يعرف له وارث ، وحينئذ يصرف الكل لمصالح المسلمين الأهم فالأهم ، كبناء مسجد حيث لم يكن أعم منه ، فإن كان من هو تحت يده فقيراً أخذ قدر حاجته لنفسه وعياله الفقراء كما في التحفة وغيرها )بغية المسترشدين  ص 101 دار الفكر(
وسئل عن مغصوب تحقق جهل مالكه هل هو حرام محض أو شبهة وهل يحل التصرف فيه كاللقطة أو كغيرهافأجاب بقوله لا يحل التصرف فيه ما دام مالكه مرجو الوجود بل يوضع عند قاض أمين إن وجد وإلا فعالم كذلك فإن أيس من معرفة مالكه صار من جملة أموال بيت المال كما في شرح المهذب فإنه قال ما ملخصه من معه مال حرام وأيس من معرفة مالكه وليس له وارث فينبغي أن يصرفه في المصالح العامة كالقناطر والمساجد وإلا فيتصدق به على فقير أو فقراء. ويتولى صرفه القاضي إن كان عفيفا وإلا حرم التسليم إليه وضمنه المسلم بل ينبغي أن يحكم رجلا من أهل البلد دينا عالما فإن فقد تولاه بنفسه وأخذالفقير للمدفوع إليه حلال طيب وله أن يتصدق به على نفسه وعياله إن كانوا فقراء والوصف موجود فيهم بل هم أولى من يتصدق عليهم وله أن يأخذ منه قدر حاجته لأنه أيضا فقير كذا ذكره الأصحاب ونقل عن معاوية وأحمد والحارث المحاسبي وغيرهم من أهل الورع لأنه لا يجوز إتلاف المال ولا رميه في البحر فلم يبق إلا مصالح المسلمين  ا هـ وقد سبقه إليه الغزالي في الإحياء وغيره هذا في الحرام المحض كما تقرر أما ما لم يتحقق فيه ذلك فهو شبهة والاشتراء منه مكروه وإن غلب الحرام كما في شرح المهذب وقال الغزالي حرام قيل يستثنى من الأول ما قاله الشيخ عز الدين من أنه لو اختلط ثوب مباح بنحو ألف ثوب مغصوب فيجب الجزم تحريم الشراء لأن المباح مغمور تافه بالنسبة إلى الحرام ويؤيده قولهم في باب الصيد لو اختلط حمام مملوك غيرمحصور بحمام مباح محصور حرم الاصطياد منه ا هـ )الفتاوي الكبري الفقهية جزء 3 ص 97 دار الفكر(

-          Sarana Ibadah Yang Telah Dibangun Dari Harta Haram, Wajibkah Diruntuhkan?
حاشيتا قليوبي وعميرة جزء 3 ص 41 دار الفكر
فرع: قال الماوردي لو أدرج حجرا مغصوبا في منارة مسجد نقضت، وعليه غرم نقضها للمسجد وإن كان هو المتطوع بالبناء؛ لأنها خرجت عن ملكه ببنائها للمسجد اهـ فانظره مع ما قبله وما بعده إلا أن يحمل على هدم ما جاور الحجر منها فراجعه

تخفة المختاج جزء 6 ص 55
وَلَوْ غَصَبَ خَشَبَةً وَبَنَى عَلَيْهَا) قَالَ فِي الْعُبَابِ، وَلَوْ مَنَارَةً لِمَسْجِدٍ ثُمَّ قَالَ وَغَرِمَ نَقْصَ الْمَنَارَةِ لِلْمَسْجِدِ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الْمُتَطَوِّعَ بِهَا لِخُرُوجِهَا عَنْ مِلْكِهِ. اهـ.

حاشيتا قليوبي وعميرة جزء 3 ص 41
(ولو غصب خشبة وبنى عليها أخرجت) وردت إلى مالكها أي يلزمه ذلك وأرش نقصها إن نقصت مع أجرة المثل، فإن عفنت بحيث لو أخرجت لم يكن لها قيمة، فهي كالتالفة (ولو أدرجها في سفينة فكذلك) أي يلزمه إخراجها وردها إلى مالكها، وأرش نقصها مع أجرة المثل (إلا أن يخاف) من إخراجها (تلف نفس أو مال معصومين) بأن كانت أسفل السفينة، وهي في لجة البحر فيصبر المالك إلى أن تصل الشط، ويأخذ القيمة للحيلولة، ومن غير المستثنى أن تكون السفينة على الأرض، أو مرساة على الشط، أو تكون الخشبة في أعلاها أو لا يخاف تلف ما ذكر، وخرج بالمعصومين نفس الحربي، وماله

فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب جزء 2 ص 236 الحرمين
( ولو غصب خشبة ) مثلا ( وبنى عليها وأدرجها في سفينة ولم تعفن ولم يخف ) من إخراجها ( تلف معصوم ) من نفس أو مال أو غيرهما ( كلف إخراجها ) وردها إلى مالكها وأرش نقصا إن نقصت مع أجرة المثل فإن عفنت بحيث لو أخرجت منها لم يكن لها قيمة فهي كالتالفة
-          Hukum Beribadah di Tempat Yang Dibangun Dari Hasil Harta Haram
اعانة الطالبين جزء 2 ص 8 الحرمين
)في غيره (أي غير ما ذكر من المسجد المتيقن حل أرضه أو مال الباني له، ومن المسجد الذي يتعطل لو لم يحضر بأن كان المسجد مشكوكا في حل أرضه أو مال الباني له.بأن يعلم أنالمتولي عليه ظالم، فإن تيقن أن محل الصلاة بعينه حرام حرمت الصلاة فيه

بجيرمي علي الخطيب جزء 2 ص 125
 (لِاسْتِيلَاءِ ظَالِمٍ) أَيْ وَفَرْضُ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الَّذِي بَنَاهُ ظَالِمٌ مَشْهُورٌ بِالظُّلْمِ، وَلَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّ مَحَلَّ الصَّلَاةِ بِعَيْنِهِ حَرَامٌ وَإِلَّا فَالصَّلَاةُ فِيهِ حَرَامٌ. وَلَوْ اسْتَوَى مَسْجِدًا جَمَاعَةٍ قُدِّمَ الْأَقْرَبُ مَسَافَةً لِحُرْمَةِ الْجِوَارِ؛ ثُمَّ مَا انْتَفَتْ الشُّبْهَةُ فِيهِ عَنْ بَانِيهِ أَوْ وَاقِفِه

المجموع شرح مهذب  جزء 4 ص 185
فصل في الصلاة في الأرض المغصوبة  ولا يجوز أن يصلى في أرض مغصوبة لأن اللبث فيها يحرم في غير الصلاة فلأن يحرم في الصلاة أولى فإن صلى فيها صحت صلاته لأن المنع لا يختص بالصلاة فلم يمنع صحتها
لأن تعلق الصلاة بالأوقات أشد ؛ لأن الشارع جعل لها أوقاتا مخصوصة لا تصح في غيرها فكان الخلل فيها أشد ، بخلاف الأمكنة فتصح في كلها ، ولو كان المحل مغصوبا ؛ لأن النهي فيه كالحرير لأمر خارج منفك عن العبادة فلم يقتض فسادها.
احياء علوم الدين ج 2 ص 227 مكتبة مصر
وأما المسجد فإن بني في أرض مغضوبة أو بخشب مغصوب من مسجد آخر أو ملك معين فلا يجوز دخوله أصلا ولا للجمعة بل لو وقف الإمام فيه فليصل هو خلف الإمام وليقف خارج المسجد فإن الصلاة في الأرض المغصوبة تسقط الفرض وتنعقد في حق الاقتداء فلذلك جوزنا للمقتدي الاقتداء بمن صلى في الأرض المغصوبة وإن عصى صاحبه بالوقوف في الغصبوإن كان من مال لا يعرف مالكه فالورع العدول إلى مسجد آخر إن وجد فإن لم يجد غيره فلا يترك الجمعة والجماعة به لأنه يحتمل أن يكون من الملك الذي بناه ولو على بعد وإن لم يكن له مالك معين فهو لمصالح المسلمين