BAB TIGA
ANALISIS KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA UTANG-PIUTANG MENURUT KONSEP AL-ISHLAH
3.1. Profil Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Aceh
3.1.1. Sejarah Ombudsman Republik Indonesia
Institusi
pengawasan
bernama Ombudsman pertama kali lahir di Swedia,
namun pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan
Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul ”The Ombudsman In New Zealand” mengungkapkan
bahwa pada zaman Kekaisaran
Romawi terdapat
institusi Tibunal Plebis yang tugasnya
hampir
sama
dengan Ombudsman yaitu melindungi hak- hak
masyarakat lemah dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan.[1]
Di Indonesia
sendiri pembentukan
Komisi
Ombudsman Nasional (Ombudsman) dilatarbelakangi oleh suasana transisi menuju demokrasi. Pada saat itulah Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia
memutuskan membentuk Ombudsman
sebagai lembaga yang
diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum
lembaga peradilan, dengan menandatangani
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun
2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional pada tanggal 20 Maret 2000.[2]
Sejak tanggal 07 Oktober
2008 Komisi Ombudsman Nasional (KON)
telah berganti nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) seiring dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia
Susilo Bambang Yudhoyono.[3]
Ombudsman
Republik Indonesia (disingkat ORI)
adalah lembaga negara di Indonesia yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta
badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan
publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat
Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008.[4]
Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh sendiri dibentuk sesuai dengan Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang ”Pelaksanaan Peraturan
pemerintah tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman
Republik Indonesia Di Daerah”. Serta keluarnya Surat Keputusan Ketua Ombudsman
Republik Indonesia Nomor 65/ORI/X/2012 tentang “Pengangkatan Kepala Perwakilan
Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Provinsi Kalimantan
Barat di Pontianak, Provinsi Sulawesi Tengah di Palu, Provinsi Sumatera Selatan
di Palembang, Provinsi Sumatera Barat di Padang, Provinsi Nusa Tenggara Barat
di Mataram, Provinsi Aceh di Banda Aceh, Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari,
Provinsi Riau di Pekanbaru”.
3.1.2. VISI dan MISI Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
1. VISI
Mewujudkan Pelayanan Publik
Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang berorientasi sekedar melayani menuju
pelayanan publik berbasis masyarakat. Perubahan paradigma tersebut dilaksanakan
melalui berbagai upaya, sebagai berikut:
1.
Mengubah perilaku penyelenggara negara dan
pemerintahan menuju pelayan masyarakat (bukan untuk dilayani)
2.
meningkatkan kesadaran masyarakat dan
pembudayaan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara
3.
mendorong penyelenggara negara dan
pemerintahan agar dinamis dan berkelanjutan menjaring aspirasi dan memenuhi
pelayanan publik yang diperlukan masyarakat
4.
memanfaatkan nilai-nilai kebijakan lokal yang
bernilai positif dan menghapuskan secara bertahap nilai-nilai lokal yang
bernuansa negatif.
5.
menjalin hubungan yang saling menguntungkan
antara penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat (simbiosis mutualisme)
agar masyarakat berkontribusi mendukung program-program pemerintah.
Dengan hubungan tersebut diharapkan terjadi
penguatan peran masyarakat dalam pemerintahan sehingga dalam jangka panjang
masyarakat makin sejahtera melalui pelayanan publik yang baik.
Selain upaya tersebut, diperlukan penerapan
program quick wins yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat
dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Program quick wins yang
akan dilaksanakan adalah pengelolaan pengaduan masyarakat yang profesional,
efektifdan efisien, proaktif, dan komprehensif.
2.
MISI
2.
Mendorong penyelenggara
negara dan pemerintah agar lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih
serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
3.
Meningkatkan budaya hukum
nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan
pelayanan, kebenaran serta keadilan
4.
Mendorong terwujudnya sistem
pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis teknologi informasi.
3.1.3. Struktural pengurus Organisasi Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh
Setiap organisasi baik pemerintahan maupun swasta tidak lepas dari
kepengurusan, Ombudsman Republik Indonesia juga mempunyai kepengurusan dalam
sebuah wadah organisasi.
Adapun Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh adalah
sebagai berikut:[5]
KEPALA
PERWAKILAN
DR.
TAQWADDIN S.H, S.E. M.S
|
TATA USAHA
ZULKANAINI SH. MH
|
ASISTEN I
AYU PARMAWATI S.H, M.kn
|
ASISTEN II
M. FADHIL RAHMI LC.
|
ASISTEN III
RUDI ISMAWAN S.HI, M.Si
|
ASISTEN IV
ANDI SYAHPUTRA S.TP, M.Si
|
3.2. Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia
Perwakilan Aceh dalam Menangani Sengketa Utang-Piutang
Sebagai
lembaga yang mengemban tugas pengawasan, Ombudsman Republik Indonesia sekaligus
memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan pemeriksaan tertentu, khususnya yang
terkait dengan dugaan adanya tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh
Negara, penyelenggara pemerintahan serta lembaga peradilan, baik yang
dilaporkan oleh masyarakat maupun atas inisiatif sendiri.[6]
Dalam
menjalankan
kewenangannya
Ombudsman Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor ataupun instansi yang dilaporkan. Ombudsman
tidak menyibukkan
diri dengan
perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan-tindakan atas norma-norma kepantasan.[7]
Menurut Pasal
1
angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia,
yang
dimaksud dengan Ombudsman Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut
ombudsman adalah lembaga
negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik
yang
diselenggarakan
oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan
Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta
atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan
belanja daerah.[8]
Wewenang Ombudsman
Republik Indonesia dalam menyelesaikan
sengketa termuat dalam undang-undang adalah meminta keterangan secara lisan dan/atau
tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang
disampaikan kepada Ombudsman,
dan
tugas lain sesuai perundang-undangan. Ombudsman juga berwenang menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan
atau
prosedur
pelayanan publik, dan menyampaikan saran kepada dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan
atau
kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi.[9]
Bagi Ombudsman Republik Indonesia pemeriksaan
dapat dilakukan melalui investigasi yang diperlukan guna memperoleh informasi
yang lebih lengkap, tajam, seimbang, dan objektif yang akan dijadikan bahan
untuk merumuskan tindakan seperti apa yang dapat dilakukan selanjutnya, apakah
meminta klarifikasi terlebih dahulu atau sudah segera dapat memberikan
rekomendasi tertentu. Penggunaan istilah investigasi dipilih untuk membedakan
pemeriksaan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Ombudsman Indonesia dengan
pemeriksaan oleh petugas Penyelidik/penyidik lainnya seperti Kepolisian,
Kejaksaan dan PPNS.[10]
Ombudsman Republik Indonesia
menganut dua tahapan system investigasi yang berjenjang, tahap pertama adalah
investigasi di belakang meja, yaitu memeriksa keputusan, surat menyurat atau
dokumen-dokumen lain yang disampaikan pelapor untuk memperoleh kebenaran
laporan masyarakat hasil pemeriksaan tersebut sangat menentukan tindakan
selanjutnya apabila laporan yang disampaikan cukup kronologis dan objektif
serta dokumen-dokumen pendukungnya cukup valid dan dapat langsung dipertanggung
jawabkan, ombudsman dapat saja langsung meminta klarifikasi guna memberikan
kesempatan kepada pihak terlapor untuk menjelaskan sebaliknya, namun demikian
apabila laporan dan dokumen-dokumen yang disampaikan masih sangat awal dan
minim ombudsman masih harus meminta kelengkapan lebih lanjut dari pelapor
/terlapor dan untuk itu maka dapat segera disiapkan investigasi lapangan.[11]
Investigasi lapangan ini merupakan jenjang
dan tahapan kedua setelah investigasi dokumen dilakukan dibelakang meja,
pengertian lapangan bukan hanya semata-mata dilokasi terbuka seperti misalnya utang-piutang
sebagai objek sengketa, tetapi meliputi juga ruangan kantor instansi dimana
terlapor bekerja. Investigasi lapangan dilakukan dengan meminta keterangan
secara lisan dari terlapor maupun pelapor ataupun pihak lain yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang dilaporkan, dalam hal
ini perlindungan hak akan kebebasan memperoleh informasi adalah menjadi sangat
penting sehingga dengan demikian ombudsman memperoleh kesempatan luas untuk
mengakses informasi berupa dokumen-dokumen yang diperlukan dari kantor terlapor
atau instansi terkait lainnya.[12]
Investigasi dan Monitoring dilakukan untuk
mendukung kinerja ombudsman dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan
pelayanan publik, ombudsman berwenang melakukan investigasi dan monitoring yang
didasarkan pada Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia. , Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman bertugas:
a.
Menerima laporan atas dugaan maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik
b.
Melakukan pemeriksaan substansi atas laporan
c.
Menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam
ruang lingkup kewenangan ombudsman
d.
Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri
terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
e.
Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan
lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan
dan perseorangan;
f.
Membangun jaringan kerja;
g.
Melakukan upaya pencegahan maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas
lain yang diberikan oleh undang- undang.[13]
Kewenangan Ombudsman didalam menjalankan
fungsi dan tugas tersebut diatas, diatur didalam ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang
berbunyi:[14]
1.
Dalam menjalankan fungsi dan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, ombudsman berwenang:
a. Meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor, atau pihak
lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada ombudsman
b. Memeriksa
keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun
terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan
c. Meminta
klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari
instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor
d. Melakukan
pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
laporan
e. Menyelesaikan
laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak
f. Membuat
rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar
ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan demi kepentingan
umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
2.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ombudsman berwenang:[15]
a. Menyampaikan
saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau Pimpinan Penyelenggara Negara lainnya
guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. Menyampaikan
saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan/atau Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Di samping
berdasarkan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2008 yang mengatur tentang tugas
pokok dan fungsi Ombudsman Republik Indonesia, didalam melaksanakan tugasnya
para anggota maupun asisten ombudsman juga harus berpedoman kepada peraturan
ombudsman yaitu Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 002 Tahun 2009
Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Penyelesaian Laporan, kedua peraturan inilah
yang dipakai oleh anggota ombudsman maupun asisten ombudsman sebagai pedoman
terhadap masuknya laporan tidak dilaksanakannya putusan Nomor
20/G.TUN/2003/PTUN.PDG yang telah berkekuatan hukum tetap.
3.3. Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Utang-Piutang Antara KPKNL Dengan Koperasi Get Road Yang Dilakukan
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
3.3.1. Posisi Kasus
Pada tanggal 31 oktober 2012 Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Aceh menerima laporan dari saudara Usman Abdullah, Pelapor
tersebut merupakan warga Gampong Gle Deyah Kecamatan Krueng Barona Jaya
Kabupaten Aceh Besar, dan Pelapor merupakan salah satu pengurus koperasi yang
telah mengundurkan diri sebagaimana yang tertuang didalam surat pengunduran
diri pelapor yang disampaikan kepada pengurus Koperasi Get Road Banda Aceh
dengan surat Ist /2012 tertanggal 11 september 2012, dalam hal ini, Pelapor menyampaikan bahwa Koperasi Get Road
Banda Aceh pernah mengajukan permohonan izin Frekuensi Radio (KOMRAD) ke Dirjen Pos dan Telekomunikasi Up. Direktur
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Loket Perizinan Frekuensi Radio Lt
II Subdit Operasi dan Pelayanan Perizinan namun izin tersebut tidak pernah
diberikan.
Justru karena izin tidak didapati, maka Koperasi
Get Road Banda Aceh mengirimkan surat pembatalan permohanan izin dan sarana
frekuensi ke Dirjen Pos Dan Telekomunikasi Up. Direktur Spektrum Frekuensi
Radio dan Orbit Satelit Loket Perizinan Frekuensi Radio Lt II Subdit Operasi
dan Pelayanan Perizinan, sehingga frekuensi tersebut tidak pernah dipergunakan.
Namun, Menurut pelapor pembayaran iuran dan penagihan tetap dilakukan oleh
kantor KPKNL Banda Aceh kepada pelapor, dan juga Pelapor menyampaikan telah
menerima suara paksa Nomor SP/80/PUPNC.01.01/2012, tanggal 10 oktober 2012 dan surat berita acara pemberitahuan surat
paksa tanggal 22 oktober 2012 yang disampaikan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang Banda
Aceh.
Dalam hal ini, Pelapor mengatakan menolak menandatangani surat berita acara
pemberitahuan surat paksa tersebut dengan alasan:
a. Karena
tidak lagi sebagai anggota pengurus koperasi get road banda aceh sesuai dengan
surat pengunduran diri dengan surat no Ist /2012 tertanggal 11 september 2012
b. Karena
penyetoran tunggakan pajak frekuensi radio melalui rekening penampungan sementara panitia/ bendahara penerima kantor
KPKNL Banda Aceh pada bank BRI banda aceh
c. Pada
surat tersebut juga mencamtumkan biaya administrasi pengurusan piutang sebesar
10% yang dibebankan pada pada penunggak
piutang sebagaimana termuat dalam surat berita acara tersebut dan bukan denda
sebagaimana lazim berlaku.
Menurut pelapor saat ini Koperasi Get Road
Banda Aceh sudah tidak aktif lagi, dimana saudara Syarifuddin sebagai ketua
telah meninggal dunia dan sekretaris mengundurkan diri.
Adapun upaya yang dilakukan pelapor telah
melakukan wawancara dengan kasi piutang negara di kantor KPKNL banda aceh,
membuat surat pernyataan dan memberikan surat dari dinas koperasi mengenai
koperasi get road yang tidak aktif namun proses penagihan tetap dilaksanakan, Pelapor
mengharapkan agar pihak KPKNL Banda Aceh melakukan pembatalan surat paksa,
menghapus kewajiban iuran bagi koperasi get road pada negara.[16]
Sedangkan dari Kantor Pelayanan Keuangan
Negara dan Lelang menjelaskan yang bahwa KPKNL Banda Aceh, Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI c.q Direktorat Jenderal Sumberdaya dan Perangkat
Pos Dan Informatika/ Direktorat Operasi Sumberdaya melalui surat nomor
6910/R/DJDPPI.3/KOMINFO/11/2012 tanggal 19 November 2011, nomor 17/DJSDPPI.3/KOMINFO/1/2013
tanggal 3 Januari 2012, nomor 3288/KOMINFO/DJSDPPI/SP02.04/06/2013 tanggal 26 Juni 2012 telah menyerahkan piutang negara atas nama
Koperasi Get Road kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang NAD yang
penyelenggaranya dilakukan Oelah KPKNL Banda Aceh.[17]
Panitia Urusan PiutangNegara (PUPN) Cabang
NAD menerima penyerahan piutang negara
nomor SP3N-071/PUPNC.01.01/2012 tanggal 15 Juli 2012 sehingga sejak tanggal tersebut, pengurusan piutang negara termasuk
penagihan menjadi kewenangan KPKNL Banda Acehdan pembayaran atas angsuran
dan/atau pelunasan hutang dilakukan melalui rekening Penampungan Piutang Negara
Pada PT BRI ( Persero) Cabang Banda Aceh.
Berdasarkan Bab VI pasal 40 huruf b peraturan
menteri keuangan nomor 128/PMK.06/2007 jo. PMK Nomor 88/PMK.06/2009 jo PMK
nomor 163/PMK.06/2011 tentang pengurusan piutang negara, KPKNL Banda Aceh
melaksanakn pengurusan piutang negara atas nama koperasi get road dengan
melakukan pemanggilan terhadap pengurus koperasi get road yaitu saudara Muazwir, Syaifuddin Is, dan
Maneh.
Pada tanggal 19 Agustus 2012, Saudara Muazwir menyampaikan secara
tertulis bahwa sesuai berita acara rapat pemilihan pengurus/ pengawas koperasi
get road tanggal 10 Mei 2010 telah ditetapkan susunan pengurus baru koperasi
yaitu Sdr. Syaifuddin Is (ketua), Fajri (sekretaris) dan Usman Abdullah
(Bendahara).[18]
Atas dasar hal tersebut, KPKNL Banda Aceh
melakukan panggilan kepada para pengurus Koperasi Get Road yang baru, pada
tanggal 9 september 2012, Sdr Usman Abdullah memenuhi panggilan dan menyampaikan hal-hal antara
lain:
a.
Koperasi Get Road sudah tidak beroperasi
.aktif lagi sejak tahun 2009/2010
b.
Ketua pengurus (Syaifuddin Is) telah
meninggal dunia
c.
Sekretaris pengurus (Fajri) tidak diketahui
alamat pastinya
d.
Tidak mengakui ada dan besarnya jumlah utang
dan
e.
Sudah mengajukan pembatalan permohonan izin
stasiun radio kepada direktur Spektrum frekuensi , ditjen pos dan
telekomunikasi, yang kami dokumentasikan dalam berita acara tanya jawab nomor
BATJ-05/WKN.01//KNL.0104/2012 tanggal 9 september 2012.
Sesuai ketentuan PMK diatas, keterangan Sdr.
Usman Abdullah selaku salah satu pengurus tidak menjadikan pengurusan piutang
negara atas koperasi get road dihentikan
sehingga PUPN Cabang NAD/ KPKNL Banda Aceh menerbitkan penetapan jumlah piutang
negara dan surat paksa atas nama Koperasi Get Road yang diikuti dengan
pemberitahuan surat paksa oleh jurusita piutang negara kepada pengurus koperasi
(Sdr Usman Abdullah) untuk segera melunasi hutang Koperasi Get Road.[19]
Pengurusan piutang negara atas nama koperasi
belum dapat dinyatakan selesai meskipun terdapat surat kepala bidang koperasi
atas nama kepala dinas perindustrian perdagangan koperasi dan UKM Kota Banda Aceh yang menyatakan bahwa
koperasi sudah tidak aktif lagi karena status badan hukum koperasi tersebut
masih hidup (exist) dan menjadi tugas pengurus untuk menyelesaikan hak dan
kewajiban koperasi, status badan hukum koperasi akan dihapus sejak tanggal
pengumuman pembubaran koperasi dalam berita Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 tentang perkoperasian dinyatakan bahwa “ rapat anggota merupakan pemegang
kekuasaan tertinggi dalam koperasi” dan pasal 33 huruf c dinyatakan bahwa “
Rapat anggota berwenang memilih, mengangkat dan memberhentikan pengawas dan
pengurus”, maka menurut hemat kami pengunduran diri koperasi tidak dapat
dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui rapat anggota koperasi.
Mengenai biaya administrasi pengurusan piutang negara
sebesar 10% dari sisa hutang yang wajib dilunasi oleh penanggung hutang
merupakan salah satu jenis dan tarif PNBP sebagaimana diatur dalam peraturan
pemerintah nomor 1 tahun 2013 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Keuangan.
3.3.2. Prosedur
Untuk tahap awal Ombudsman Republik Indonesia
Perwakilan Aceh, melakukan klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan yang belum
terjawab, klarifikasi tersebut baik dari pelapor maupun terlapor. Apabila
diperlukan klarifikasi dari pelapor maka ombudsman langsung dapat menanyakan
pada saat pelapor (Koperasi Get Road) menghadap, atau pelapor dapat juga
diminta untuk menyerahkan dokumen asli yang sah. Apabila pelapor tidak dapat
memberikan klarifikasinya atau tidak dapat menunjukan dokumen asli yang sah
kepada ombudsman, maka pemeriksaan keluhan pelapor tidak dapat dilanjutkan.[20]
Apabila perlu diperoleh dari terlapor, maka
segera pula disusun surat permintaan klarifikasi ombudsman dengan menyebutkan
secara singkat adanya laporan tentang administrasi dan sejauh mana peristiwa
yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan klarifikasi tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu Klarifikasi di lapangan (langsung) dan
klarifikasi melalui surat resmi (tidak langsung).[21]
1.
Klarifikasi di Lapangan (Langsung).
Klarifikasi di lapangan atau langsung
diperoleh dengan cara mendatangi langsung
instansi terlapor (KPKNL)dan instansi terkait (Koperasi Get Road).
Kemudian setelah itu baru dilaksanakan mediasi guna mendapatkan jawaban-jawaban yang dianggap
belum dapat diselesaikan.[22]
Pada saat Ombudsman mewawancarai terlapor
atau atasan terlapor dan memeriksa dokumen terkait dikantor terlapor, pada
dasarnya saat itu sedang terjadi proses permintaan klarifikasi secara langsung.
Kadangkala permintaan klarifikasi langsung ini masih harus dilengkapi dengan
permintaan klarifikasi tidak langsung melalui surat resmi guna melengkapi hasil
analisis terhadap temuan lapangan selama investigasi diselenggarakan.[23]
2.
Klarifikasi Melalui Surat Resmi (Tidak
Langsung)
Klarifikasi melalui surat resmi atau tidak
langsung ombudsman melakukan dengan dua cara yaitu mendasarkan hasil
investigasi dokumen (di belakang meja) dan mendasarkan hasil temuan dilapangan.[24]
a. Investigasi
di belakang meja yaitu dengan memeriksa keputusan, surat menyurat atau dokumen-dokumen
lain yang disampaikan oleh pelapor untuk memperoleh kebenaran laporan dari
masyarakat atau pihak terkait. Apabila laporan yang disampaikan cukup
kronologis dan objektif serta dokumen-dokumennya cukup valitdan dapat
dipertanggungjawabkan, ombudsman dapat saja langsung meminta klarifikasi guna
memberikan kesempatan kepada pihak terlapor untuk menjelaskan sebaliknya, namun
apabila laporan atau dokumen yang disampaikan masih sangat awal atau minim
ombudsman masih bisa meminta kelengkapan lebih lanjut dari pelapor atau
terlapor, dan untuk itu maka dapat segera dipersiapkan investigasi lapangan. Investigasi
lapangan merupakan jenjang dan tahapan kedua setelah investigasi dokumen
dilakukan dibelakang meja. investigasi dilapangan dilakukan dengan meminta
keterangan secara lisan dari terlapor maupun terlapor, ataupun pihak lain yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang dilaporkan.[25]
b. Mendasarkan
hasil temuan di lapangan adakalanya perlu diadakan pemeriksaan / investigasi
dan / atau observasi dilapangan. Setelah dilakukan analisa terhadap hasil
investigasi dan /atau observasi lapangan tersebut ternyata masih ada beberapa
hal yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut dari atasan terlapor, maka
ombudsman dapat menyusun surat permintaan klarifikasi, ditujukan kepada atasan
terlapor guna meminta penjelasn lebih lanjut tentang hal-hal terkait denga
tindakan terlapor. Permintaan klarifikasi seperti ini perlu dipertimbangkan
apabila ombudsman masih merasa perlu melengkapi, memastikan dan/ atau
menguatkan hasil analisis temuan dilapangan Tim Investigasi (selama
investigasi) sebelum akhirnya memberikan pendapat akhir sebagai dasar bagi
ombudsman memberikan rekomendasi kepada pejabat terkait.
3.3.3.
Hasil al-Ishlah
Menyangkut dengan hasil al-ishlah antara
Koperasi Get Road dengan KPKNL melahirkan kesepakatan damai diantara kedua
belah pihak.[26]
Para pihak saling memahami bahwa permasalahan
yang dikeluhkan berkenaan dengan penagihan dan pembayaran iuran Koperasi Get
Road kepada KPKNL Kota Banda Aceh. Kepala
KPKNL Banda Aceh dan Sdr. Usman Abdullah sebagai salah satu pengurus Koperasi
Get Road berkomitmen secara penuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
secara musyawarah dan mufakat tanpa ada kerugian dikedua belah pihak dengan
dimediasi (al-ishlah) oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh. [27]
Penyelesaian masalah yang dimaksud, akan
diselesaikan baik secara formal maupun
informal dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan
perundangan-undangan yang berlaku.
Kepala KPKNL banda Aceh sepakat bahwa
pembayaran tagihan dan iuran yang tertunggak oleh Koperasi Get Road akan
dilakukan namun tidak menjadi tanggung jawab secara personal kepada saudara
Usman Abdullah namun dilakukan penagihan kepada lembaga.
Saudara Usman Abdullah menerima opsi
penyelesaian melalui penagihan iuran dan pembayaran tunggakan tersebut tidak
dibebankan kepada dirinya serta memastikan bahwa dirinya memperoleh kepastian dan
perlindungan hukum atas opsi penyelesaian yang dimaksud.[28]
Adapun mengenai tehnis pelaksanaan pembayaran
iuran dan penagihan tunggakan Koperasi Get Road dilakukan sepenuhnya oleh KPKNL
Banda Aceh. Namun, Para pihak sepakat tidak akan melakukan gugatan dikemudian
hari, dan meminta laporan dengan nomor : 0070/LM/XI/2012/BNA untuk ditutup.[29]
Sesuai dengan kewenangan yang ada, Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh tetap melakukan mekanisme pengawasan/
monitoring lanjutan dan berkesinambungan terhadap penyelenggaraan publik di
KPKNL secara umum dan hasil kesepakatan (Pasal
59 PO RI Nomor: 002 tahun 2009).
3.4. Tinjauan Konsep Al-Ishlah
Terhadap Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Antara KPKNL dan Koperasi Get Road
Yang Dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
Penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh ombudsman terhadap kasus utang-piutang antara
KPKNL dan Koperasi Get Road, diselesaikan melalui mediasi yang didasarkan
menurut konsep al-ishlah didalam hukum Islam yang dipandu oleh seorang mediator.
Penyelesaian sengketa ini menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak
untuk berdamai dan mengikuti semua butir-butir kesepakatan yang telah
disepakati.
Ombudsman
dalam menyelesaikan sengketa sebelum dan sesudah sengketa terselesaikan
mempunyai kewenangan dalam hal mengawasi kedua belah pihak yang bersengketa
agar keputusan yang diambil untuk berdamai tetap terjaga keutuhannya.
Pengawasan yang dilakukan oleh ombusman terkait dengan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat atau pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam
menjalankan
kewenangannya
Ombudsman Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor ataupun instansi yang dilaporkan. Ombudsman
tidak menyibukkan
diri dengan
perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan-tindakan atas norma-norma kepantasan.[30]
Menurut pasal
1
angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia,
Ombudsman yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
dalam menyelesaikan sengketa termuat dalam undang-undang adalah meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor,
Terlapor, atau pihak
lain
yang terkait mengenai Laporan yang
disampaikan kepada Ombudsman,
dan
tugas lain sesuai perundang-undangan.[31]
Mediasi yang digunakan oleh Ombudsman dalam
menyelesaikan sengketa sebagai langkah awal yang ditempuh sebelum sengketa
tersebut sampai kepada pengadilan. Dalam hal ini ombusman bertindak sebagai
fasilitator dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalahnya melalui
seorang mediator. Sehingga sengketa yang dialami oleh kedua belah pihak
tersebut terselesaikan dengan suatu perdamaian tanpa adanya ketidakpuasan
antara kedua belah pihak terhadap keputusan yang telah disepakati.
Konsep
Ishlah dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang dipraktekkan di lembaga Ombudsman.
Dalam Islam mediasi adalah penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian
(solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh Mediator.[32]
Hal tersebut juga ditempuh sebagai upaya dalam mencapai sebuah perdamaian.
Islam
mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah al-Ishlah sebagaimana
dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya: “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.
Berdamai adalah suatu cara yang sangat dianjurkan dalam Islam dari semua
permasalahan yang ada didunia ini, dengan adanya perdamaian terciptalah suatu
keadilan dan kenyamanan didalam suatu masyarakat tanpa ada permusuhan yang
berlanjut akibat adanya permasalahan atau persengketaan yang terjadi. Seperti
firman Allah SWT dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa’ ayat 35 dan 114 yang
berbunyi:[33]
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz
Artinya: “Dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Q.S. Annisa’ : 35).
Pada ayat ini Allah menjelaskan, bahwa jika kamu
khawatir akan terjadi persengketaan,
maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari dua orang yang bersengketa . Kedua hakam itu dikirim
oleh yang berwajib, atau oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Dua orang hakam itu sebaiknya seorang
dari keluarga yang bersengketa, dan boleh dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui
persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha
mendamaikannya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana
meskipun bukan dari kedua belah pihak yang mungkin lebih mengetahui rahasia
persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya.
Jika usaha kedua
orang hakam dalam mencari Ishlah antara kedua belah pihak yang
bersengketa pada tahap pertama itu tidak berhasil maka diusahakan lagi
penunjukkan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari kedua belah pihak yang
bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum
berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan
mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.
w
uöyz
Îû
9ÏV2 `ÏiB
öNßg1uqôf¯R
wÎ) ô`tB
ttBr&
>ps%y|ÁÎ/ ÷rr&
>$rã÷ètB
÷rr& £x»n=ô¹Î) ú÷üt/ Ĩ$¨Y9$#
4 `tBur
ö@yèøÿt
Ï9ºs uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$#
t$öq|¡sù
ÏmÏ?÷sçR
#·ô_r& $\KÏàtã
Artinya: “Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian
Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang
besar”.( Q.S Annisa’: 114).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tidaklah dikatakan
perdamaian kecuali yang terjadi diantara dua orang yang bersengketa dan
bermusuhan. Permusuhan, pertikaian dan rasa benci menimbulkan keburukan dan
perpecahan yang tidak dapat terhingga. Oleh karena itu, Syariat menganjurkan perdamaian diantara manusia
pada hak darah , harta, kehormatan, bahkan masalah agama sebagaimana firman Allah (artinya) :
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah yang kuat dan janganlah saling berpecah belah”, dan juga FirmanNya:
“Apabila ada dua kelompok diantara kaum yang beriman
berperang maka damaikanlah mereka berdua, dan tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah.
Prosedur penyelesaian yang dilakukan oleh Ombudsman
Republik Indonesia melalui apa diperoleh dari terlapor, maka dalam hal ini,
ombudsman segera pula disusun surat permintaan klarifikasi ombudsman dengan
menyebutkan secara singkat adanya laporan tentang administrasi dan sejauh mana
peristiwa yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan klarifikasi tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu Klarifikasi di lapangan (langsung) dan
klarifikasi melalui surat resmi (tidak langsung).[34]
Dalam hal menangani laporan yang disampaikan cukup jelas, objektif, dan
kronologis, serta dokumen pendukung yang dilampirkan cukup sahih dan dapat
dipertanggung jawabkan, maka ombudsman dapat langsung menyusun surat permintaan
klarifikasi kepada terlapor dan atau atasan terlapor guna meminta keterangan /
penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal terkait dengan tindakan terlapor.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh ombudsman terhadap sengketa
utang-piutang menurut tinjauan konsep al-ishlah merupakan suatu penyelesaian
yang sesuai dengan konsep al-ishlah yang diterapkan dalam Islam. Ombudsman
tidak diam sampai disitu dan terus melakukan pengawasan hingga kasus/ sengketa
tidak terulang dikemudian hari. Dan ombudsman dengan tegas memberlakukan sanksi
terhadap perdamaian yang telah dilaksanakan/ disepakati.
[2] Antonius
Sujata, Efektifitas Komisi Ombudsman Nasional, (Jakarta: Cetakan Komisi
Ombudsman Nasional, 2002), hlm. 10.
[4] Undang -Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
(Bandung: Citra Umbara, 2009), hlm. 32.
[5] Zulkanaini, Kepala
Tata Usaha Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Pada Tanggal
28 Mei 2013.
[6] Wawancara
dengan Taqwaddin, Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Pada Tanggal
22 Oktober 2013.
[7] Philipus M.
Hadjon,
Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Introduction to The Indonesian
Administrative Law. (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1999), hlm. 303.
[8]Undang -Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
( Jakarta: Citra Umbara, 2009), hlm. 8.
[10] Sunaryati
Hartono, Budhi Masturi, Enni Rochmaini,
& Winarso Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia,(
Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional 2003), hlm. 7.
[11] Wawancara dengan Taqwaddin,
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, pada tanggal 28 Oktober 2013.
[12] Ibid, hlm. 30.
[14] Ibid.
Pasal 8. hlm. 8.
[16] Wawancara
dengan Rudi Ismawan, Asisten III Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh,
pada tanggal 28 Juli 2013.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Hendra
Nurtjahjo, Yustus Maturbongs, Diani Indah Racmitasari, Memahami Mal Administrasi, ( Jakarta: Ombudsman
Republik Indonesia, 2013), hlm. 23.
[21] Sunaryati
Hartono, dkk, Panduan Investigasi
Untuk Ombudsman Indonesia,( Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2003),
hlm. 8.
[27] Ibid.
[29] Ibid.
[32] PERMA No. 1 tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.
[34] Sunaryati Hartono,dkk,
Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia, hlm. 31.