BAB DUA
PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT
KONSEP AL-ISHLAH
2.1. Pengertian dan Dasar Hukum al-Ishlah
2.1.1.
Pengertian al-Ishlah
Secara
bahasa, Ishlah berasal dari lafazh صلح - يصلح - صلح yang berarti baik, Kata Ishlah
merupakan bentuk mashdar dari wazan إفعال yaitu dari
lafazh اصلاح – يصلح –اصلح
yang berarti
memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian pertikaian).
Kata صلاح merupakan lawan kata dari سيئة /فساد (rusak). Sementara kata اصلح biasanya
secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di
kalangan manusia. Dalam pengertian bahasa Ash-Shulhu atau al-ishlah adalah
memutus pertengkaran atau perselisihan. Dan dalam pengertian syari’at adalah
suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.[1]
Secara
istilah, term ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam
kaitannya dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam
secara umum, ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin
membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan
kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. ‘Abd Salam menyatakan
bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala
urusannya.[2]
Para ulama mendefinisikan al-ishlah adalah:
1. Sayid Sabiq (1336 H – 1421 H) menerangkan bahwa ishlah merupakan suatu
jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan.
Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan ishlah
tersebut dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan disebut dengan
Mushalih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak
lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushalih 'alaih.[3]
2.
Menurut
Imam Taqiy Al Din Abu Bakr, Ibnu Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul
Akhyar al-ishlah adalah:[4]
الَعَقْدٌ الَذِي يَنْقَطِعٌ بِهِ حُصُوْمَةُ المُتَخاَصِمَيِنِ
Artinya : Akad yang memutuskan
perselisihan dua pihak yang berselisih”
3.
T.M
Hasby ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fikih Muamalah berpendapat bahwa
yang dimaksud Ishlah adalah:[5]
عَقْدُ يَتَّفَقُ فِيِهِ المُتَنَازِعاَنِ فِي حَّقِ عَلَى ماَ يَرْتَفِعُ بِهِ النِزاَعُ
Artinya
: Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk
melaksanakan sesuatu, dengan akad tersebut dapat hilang perselisihan”
4.
Menurut
Syekh Ibrahim al-Bajuri yang dikutip oleh Said Agil Husen Al- Munawar dituliskan bahwa yang dimaksud al-ishlah
adalah:[6]
عَقْدُ يَحْصُلُ بِهِ قَطْعُهاَ
Artinya : Akad yang berhasil
memutuskannya”
Sedangkan pengertian ishlah menurut para
pakar hukum Islam dari empat mazhab berbeda pendapatnya:
1.
Menurut
Ulama Hanafiah al-ishlah adalah:[7]
الَحُكْمُ
بَيْنَ الَّنَاسِ بِاّلحَّقِ وَالّحُكْمُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: Menetapkan hukum antara
manusia dengan yang hak dan dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT.
2. Menurut Ulama Malikyyah al-ishlah
adalah:[8]
حَقِيْقَةُ
الَقَضَاءِ الَأخْبَارُ عَنْ حُكْمِ شَرْعِي عَلَي سَبِيْلِ الإِلْزَامِ
Artinya: Hakikat qadla adalah
pemberitaan terhadap hukum syar’i menurut jalur yang pasti (mengikat).
3. Menurut Ulama Syafi’iyah al-ishlah
adalah:[9]
فَصْلُ
خُصُوْمَةِ بَيْنَ خَصِيْمَيْنِ فَاَكْثَرَ بِحُكْمِ اللَّهِ تَعَالَي
Artinya: Memisahkan pertikaian antara
pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT.
4. Menurut Ulama Hanabilah al-ishlah adalah:[10]
تَنْبِيْه
وَالِإزَامُ بِهِ وَصَلَ الخُصُوْمَاتِ
Artinya: Penjelasan dan kewajibannya,
serta penyelesaian persengketaan.
Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam ishlah merupakan tindakan mendamaikan, memperbaiki,
menghilangkan sengketa yang menjadi kewajiban umat Islam baik personal maupun
sosial. Penekanan Ishlah ini lebih difokuskan pada hubungan antar sesama umat
manusia dalam rangka memenuhi kewajiban kepada Allah SWT.[11]
Dengan memperhatikan perumusan Al-Ishlah
di atas bahwa perjanjian perdamaian dibuat karena adanya perkara atau
perselisihan diantara pihak, dimana untuk mengakhiri atau mencegah perselisihan
tersebut diadakan persetujuan. Dan untuk tercapainya suatu perdamaian diantara
para pihak harus ada pengorbanan yang bertimbal balik.
2.1.2. Dasar Hukum
al-Ishlah
Dalam Islam aturan hidup telah
ditetapkan melalui sumber hukum yang mutlak, yaitu Al-Qur’an sebgai sumber
hukum pertama, As-Sunnah sebagai sumber
hukum kedua, ijma ulama (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga dan qiyas
(analogi hukum) sebagai hukum keempat. Sumber-sumber hukum Islam tadi merupakan
hirarki dalam sistem Hukum Islam. Sedangkan menurut TM. Hasby Ash-Shiddieqy,
bahwa hukum dan Islam mempunyai beberapa maziyah keistimewaan dan beberapa
mahsanah keindahan yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya,
dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat.[12]
Perdamaian dalam Syariat Islam sangat
dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindar kehancuran silaturrahim (hubungan
kasih sayang) sekaligus permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa akan
dapat diakhiri.[13]
Adapun dasar hukum anjuran diadakannya
perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al Qur’an, Sunnah rasul dan ijma’:
1. Al Qur’an
Menurut Rahmat Rosyadi dalam bukunya
Arbitrase dalam Perspektif
Islam dan Hukum Positif mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai
sumber hukum pertama memberikan petunjuk kepada manusia apabila
terjadi sengketa para pihak, apakah dibidang politik, keluarga atau
bisnis, terdapat dalam surat al-Hujarat ayat 9.[14]
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# (سورةالحجرة : 9)
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S
Al-Hujarat :9).
Ayat
di atas mengandung perintah kepada pihak ketiga untuk mendamaikan para pihak
yang sedang berselisih. Selain itu juga perintah untuk melakukan penegakan dari
hasil kesepakatan perdamaian, yaitu dengan memerangi pihak yang melanggar
kesepakatan damai tersebut. Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka ada dua pihak
yang dapat diidentifikasi dalam sebuah proses ishlah, yaitu dua atau lebih
pihak yang berselisih, dan satu pihak sebagai mediator atau mushlih (orang yang mendamaikan). Namun,
bila melihat konteks surat Al-Hujurat Ayat 9 yang mengandung perintah kepada
pihak ketiga, maka pada dasarnya mediator sangat penting, bahkan ketika
berposisi sebagai pihak menurut ayat tersebut, hukumnya wajib untuk mendamaikan.
Sedangkan
dalam Surat An-Nisa’ayat 35 Allah
berfirman:[15]
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz .(سورة
النساء : 35)
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Annisa’ : 35).
Allah menegaskan
lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 114 yang berbunyi:[16]
w uöyz Îû 9ÏV2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R wÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) ú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿt Ï9ºs uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã. .(سورة النساء: 114)
Artinya: “Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian
Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang
besar”. ( Q.S Annisa’: 114).
Perintah untuk berdamai dalam surat
Al-Hujurat dan An-Niisa ini mempunyai arti yang sama dengan nama Islam itu
sendiri yang berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai.
2. As-Sunnah
Sebagai sumber kedua dari ajaran Islam,
hadis Rasul juga menunjukan peluang untuk menyelesaikan sengketa tanpa melalui
badan peradilan pemerintah, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar
Bin Auf Al Muzani RA.[17]
أَّنَ رَسُوْلَ الَّلهِ صَّلَى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلْصُلْحُ جاَئِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحَا حَرَّمَ حَلَالَا أَوْ أَحَّلَ حَرَامًا وَاْلُمسْلِمُوْنَ عَلَى شرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاَ أَوْ أَحَّلَ حَرَامَا قاَلَ أَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. (رواه ترمذي).
Artinya: Bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda: Perjanjian antara orang-orang muslim itu boleh,
kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal
dan (muamalah) orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali
syarat itu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Abu Isa
berkata bahwa hadits ini hasan shahih. (H.R. At-Tirmidzi)
Disebutkan
juga dalam hadist Abdullah bin Muhammad, hadist Usman Ibn Umar yang riwayatkan Laish sebagai berikut:[18]
أَنَّ كَعْبِ بْنُ مَلِكِ أَخْبَرَهٌ أنٌّهٌ تٌقَا ضَى اِبْنُ
اَبِي حَدْرَدَ دَيْناَ كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسٌوْلِ الًّلهِ صَلَّي
الَّلهِ عَلَيْهِ وَسَّلمَ فِي المَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّي سَمِعَهُمَا
رَسُوْلُ الَّلهِ صَلَّي الَّلهِ عّلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ , فَخَرَجَ رَسُوْلُ الّلَهِ إِلَيْهِمَا حَّتَي كَشِفَ
سَجْفَ حَجْرَتِهِ فَنَادَي كَعْبُ بْنُ ماَلِكٍ, فَقَالَ يَا كَعْبَ, فَقَالَ لَبَيْكَ ياَ رَسُوُلَ الَّلهِ
فَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ صِعْ الشَطْرَ فَقاَلَ
كَعْبُ : قَدْ فَعَلْتُ
ياَ رَسُوْلَ الَّلهِ, فَقَالَ رَسُوُلُ الَّلهِ قُمْ فَاَقْضِهِ. (رواه البخارى)
Artinya: Bahwsanya Ka’ab sedang menyelesaikan piutangnya
dari Ibn Abi Hadrad di masjid, suara mereka meninggi hingga didengar oleh Rasullullah
saw dari rumah beliau. Maka beliau keluar dan membuka tirai kamar beliau,
kemudian memanggil : “Hai Ka’ab”, Ka’ab pun menjawab : “ Saya datang ya
Rasullulah”. Beliau bersabda :“Turunkan hutangmu, dan ambil separuhnya saja”.
Ka’ab berkata : “ Sudah saya lakukan ya Rasullulah.: Kemudian beliau bersabda
(kepada Ibn Abi Hadrad) “Lunasilah hutangmu”. (H.R. Bukhari).
3. Ijma Ulama
Ijma ulama sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi
persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa
setelah wafat Rasullullah SAW. Banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama
untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui
musyawarah dan konsensus diantara mereka sehingga menjadi yurisprudensi hukum
Islam dalam beberapa kasus.
Keberadaan ijma sahabat atau ulama
sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah
sosial keagamaan tercantum dalam Al Qur’an dan As-sunnah secara terinci. Bahkan
Sayyidina Umar Ibnu Khatab pernah mengatakan bahwa: Tolaklah permusuhan hingga
mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan
kedengkian diantara mereka.[19]
Mengenai bentuk perdamaian di dalam
pengadilan/ Qada’ mulai berkembang pada saat dunia Islam mengalami perkembangan
pula. Hal ini dimulai ketika wilayah kekuasaan Islam semakin besar dan luas.
Mulailah dibentuk lembaga Al-Qadla yang merupakan representasi bentuk pengadilan
modern jaman sekarang. Dari sinilah kemudian berkembang pula acara pengadilan
yang mengatur jalannya proses berperkara, dimana salah satunya adalah mengenai
perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
Pengimplikasian perdamaian di dalam
pengadilan bisa dan boleh dilaksanakan sebagai hasil ijtihad yang memang
termasuk dalam salah satu sumber hukum dalam ajaran Islam. Disinilah sebenarnya
letak keindahan dari Al-Qur’an, Allah SWT tidak menurunkan Al-Qur’an dengan
segala perinciannya mengenai segala hal, karena dapat dimengerti secara logis
jika Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia sampai akhir
jaman maka Al-Qur’an haruslah bisa menjawab setiap perubahan zaman. Berbagai
prinsip-prinsip dasar mengenai segala hal dalam Al-Qur’an memberikan lapangan
yang seluasluasnya untuk kita berijtihad menjawab tantangan jaman dengan tidak
melupakan prinsip-prinsip dasar yang tertera di dalam Al-Qur’an dan Hadist.
2.2.
Syarat-Syarat
Penyelesaian Sengketa Dengan Al-Ishlah
Syarat-syarat Shulhu atau al-ishlah ini
ada yang berhubungan dengan mushalih bihi dan ada pula yang berhubungan dengan
mushalih ‘anhu. Untuk syarat mushalih, adalah orang yang tindakannya dinyatakan
sah secara hukum.[20]
Orang yang melakukan perjanjian perdamaian, selain cakap bertindak menurut
hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk
melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak
menurut hukum tetapi tidak mempunyai kekuasaaan atau wewenang itu seperti:[21]
a.
Wali,
atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya.
b.
Pengampu,
atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya.
c.
Nadzir
(pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.
Syarat-syarat mushalih bihi adalah :
a.
Bahwa
ia berbentuk harta yang dapat dinilaikan, dapat diserahterimakan atau berguna.
b.
Bahwa
ia diketahui secara jelas sekali, sampai pada tingkat adanya kesamaran dan
ketidakjelasan yang dapat membawa kepada perselisihan, jika memerlukan
penyerahan dan penerimaan.
Syarat-syarat Mushalih ‘Anhu adalah :
a.
Bahwa
ia berbentuk harta yang dapat dinilaikan atau barang yang bermanfaat.dan tidak
disyaratkan mengetahuinya karena tidak memerlukan penyerahan.
b.
Bahwa
ia termasuk hak manusia, yang boleh di’iwadukan (diganti) sekalipun berupa
harta, seperti Qishas.
Dalam ketentuan hukum Indonesia,
perjanjian perdamaian itu hanya sebatas persoalan-persoalan yang menyangkut
hubungan keperdataan (hal-hal yang menyangkut hubungan antara individu dengan
individu lain), Sedangkan terhadap persolan-persoalan yang melanggar ketentuan
hukum pidana (seperti pencurian, pembunuhan) tidak dapat diadakan perjanjian
perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan publik atau masyarakat. Jadi,
kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus atau berakhirnya penuntutan.[22]
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu
perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Menyangkut subyek (pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian perdamaian) tentang subjek atau orang yang melakukan
perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum.
Adapun orang yang cakap bertindak
menurut hukum adalah:[23]
a. Orang yang membuat aqad perdamaian
haruslah sehat akalnya, dan ia tidak perlu sudah baligh
b. Aqad yang dibuat oleh orang gila, dungu
dan anak yang belum mengerti (ghair mumayiz) mutlak tidak sah
c. Perdamaian yang dilakukan oleh anak yang
telah diberi izin oleh walinya adalah sah, asalkan penyelesaian itu tidak
berakibat kerugian yang nyata. Keadaan-keadaan yang bisa berlaku dalam
perdamaian yang melibatkan seorang anak adalah:
1.
Jika
seseorang mengajukan gugatan yang ditujukan kepada seorang anak yang telah
diberi izin, dan anak itu membuat pengakuan atas hal itu, maka hasilnya adalah
sebuah bentuk perdamaian yang sah melalui pengakuan
2.
Seorang
anak yang sudah diberi ijin berhak untuk membuat suatu aqad perdamaian yang sah
dengan catatan ia diberi waktu untuk memikirkan tuntutannya
3.
Jika
seorang anak menyetujui suatu perdamaian tentang sebagian dari tuntutannya daan
disamping itu juga ia memiliki bukti untuk menunjang tuntutannya tersebut, maka
perdamaian itu tidak sah, tetapi jika ia tidak memiliki bukti semacam itu,
serta lawannya bersedia untuk diangkat
sumpah, maka perdamaian itu sah
4.
Jika
anak yang sudah diberi ijin melakukan gugatan untuk mendapatkan kembali barang
dari orang lain, dan lalu membuat perdamaian tentang nilai tuntutannya, maka
perdamaian itu adalah sah
5.
Suatu
perdamaian yang dibuat oleh anak yang sudah diberi ijin untuk sebuah jumlah
yang kecil dari nilai kekayaan yang besar, adalah tidak sah
6.
Adalah
sah apabila wali seorang anak melakukan aqad perdamaian atas gugatan terhadap
harta anak, dengan ketentuan perdamaian itu tidak mengakibatkan kerugian yang
nyata bagi anak itu, dan bila kerugian yang nyata terjadi maka perdamaian itu
tidak sah
7.
Apabila
seseorang membayarkan sejumlah uang kepada seorang anak dan walinya (misal :
ayahnya) membuat perdamaian dengan cara mengurangi sebagian uang itu, maka
perdamaian itu tidak sah jika ada bukti yang mendukung pembayaran itu, tetapi
jika bukti itu tidak ada dan walinya dapat dimintai sumpah, maka perdamaian itu
adalah sah
8.
Perdamaian
yang dilakukan seorang wali untuk pembayaran sejumlah uang kepada seorang anak,
dengan pertimbangan bahwa barangnya sama dengan nilai tuntutan adalah sah,
tetapi bila di dalam pertimbangan itu menimbulkan kerugian yang besar, maka
perdamaian itu tidak sah.
Dalam Pasal 1542 dan Pasal 1543
KUHPerdata mengatur mengenai perdamaian dengan menggunakan perwakilan, yaitu:[24]
1.
Menyebutkan
bahwa suatu aqad perwakilan untuk perkara di pengadilan, tidak otomatis
merupakan perwakilan untuk aqad perdamaian. Jadi seorang perwakilan yang
mengajukan gugatan kepada orang lain kemudian perwakilan itu melaksanakan perdamaian
tanpa ijin dari orang yang menunjuk dia, maka perdamaian itu tidak sah.
2.
Seseorang
menunjuk orang lain sebagai wakilnya untuk melakukan perdamaian atas suatu
gugatan, dan wakilnya itu membuat suatu perdamaian, maka orang yang mewakilkan terikat
dengan perdamaian itu. Wakil itu tidak bertanggung jawab pada suatu tuntutan
yang dibuat dan berkaitan dengan penggantian perdamaian, kecuali jika ia
sendiri sebagai penjaminnya yang dalam hal ini bertanggung jawab.
3.
jika
seorang wakil membuat suatu perdamaian dengan cara pengakuan bahwa ia akan
mengganti harta dengan harta lain, dan lalu ia membuat perdamaian atas namanya
sendiri, maka wakil semacam ini menjadi bertanggung jawab atas semua tuntutan
yang diajukan, artinya sejumlah uang yang diselesaikan dengan cara itu, bisa
diperoleh dari wakil tersebut, dan wakilnya sendiri bisa menuntut terhadap
orang yang mewakilkannya.
2.
Menyangkut
obyek perdamaian tentang obyek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut
:
a.
Berbentuk
harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda
tidak berwujud seperti hak milik intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai,
dapat diserahterimakan, dan bermanfaat.
b.
Dapat
diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan,
yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru terhadap obyek
yang sama (sedangkan perdamaian memutus pertikaian untuk selama-lamanya)
3.
Persoalan
yang boleh didamaikan tidaklah segala sesuatu persoalan dapat didamaikan
(diadakan perjanjian perdamaian). Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh
atau dapat didamaikan hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a.
Pertikaian
itu berbentuk harta yang dapat dinilai.
b.
Pertikaian
itu menyangkut hak manusia yang boleh digeluti Dalam perkataan lain perjanjian
perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah, sedangkan
persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak dapat diadakan
perdamaian.[25]
2.3. Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Dengan Konsep Al-Ishlah
Islam
mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah Shulhu/ Ishlah
sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya: “Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat Rahmat”.
Perdamaian
atau al-ishlah adalah suatu proses pertarungan multidimensional yang tak pernah
berakhir untuk mengubah kekerasan. Perdamaian yang stabil relatif jarang
terjadi. Banyak pihak yang tidak dapat menikmati perdamaian karena faktor
ekonomi, politik dan sosial. Sementara ini mayoritas orang memahami perdamaian
sebagai keadaan tanpa perang. Tidak adanya perang tentunya penting, tetapi
keadaan ini hanyalah langkah awal ke arah cita-cita yang lebih sempurna, dengan
mendefinisikan perdamaian sebagai jalinan hubungan antar individu, kelompok dan
lembaga yang menghargai keragaman nilai dan mendorong pengembangan potensi
manusia secara utuh.[26]
Tidak ada sengketa sering disebut sebagai
perdamaian negatif (dingin), dan kontras dengan perdamaian positif (hangat),
yang meliputi semua aspek tentang masyarakat yang baik, yang kita yakini sendiri : hak-hak universal, kesejahteraan
ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-nilai
pokok lainnya. Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara dalam islam,
maka jalan pertama yang ditempuh adalah penawaran sebuah bentuk perdamaian yang
bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.[27]
Konsep Ishlah dalam Islam tidak berbeda
dengan Mediasi yang dipraktekkan di sejumlah Negara-negara di dunia. Penggunaan
Mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru.
Mediasi adalah penyelesaian konflik
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai Mediator, yang tidak
memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang
bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah
pihak. Cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh Mediator.[28]
Mediasi merupakan bagian dari tradisi
dari masyarakat, oleh karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor
budaya, namun seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan turut memperkuat komitmen mereka menggunakan Mediasi.[29]
Dalam bahasa Indonesia mediasi bersifat
privat, proses non formal penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga
yang netral, yaitu mediator yang membantu persengketaan para pihak untuk
mencapai kesepakatan bersama. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
membuat/ menentukan keputusan bagi para pihak yang bersengketa.
Di dalam Pasal 1 PERMA No 2 tahun 2003 disebutkan pengertian mediasi
adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu oleh mediator. Pengertian para pihak yang bersengketa dalam pasal di
atas yaitu seperti disebutkan dalam Pasal 1 adalah dua atau lebih subjek hukum
yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama
untuk memperoleh penyelesaian.
Penyelesaian sengketa menurut PERMA No.
2 Tahun 2003 dilakukan dengan cara Mediasi seperti yang tercantum dalam Pasal 2
ayat (1) dan (2) yaitu :
1.
Semua
perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih
dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
2.
Dalam
melaksanakan fungsinya mediator wajib menaati kode etika mediator.
Disebutkan lagi dalam Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003 dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3),(4). dilakukan
dalam beberapa tahap yaitu:[30]
1.
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
2. Hakim wajib menunda proses
persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada pihak menempuh
proses mediasi.
3. Hakim wajib memberikan
penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi.
4. Dalam hal para pihak memberikan
kuasa kepada kuasa hukum, setiap keputusan yang diambil oleh kuasa hukum wajib
memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.
Menurut ketentuan dalam Pasal 6 ayat (40)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dapat kita katakan bahwa Undang-undang
membedakan mediator dalam :[31]
a.
Mediator
yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak.
b.
Mediator
yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
yang ditunjuk oleh para pihak.
Adapun yang menjadi kewajiban dan tugas
dari suatu mediasi dapat digolongkan ke dalam 4 tahap sebagai berikut:[32]
1. Tahap pertama : dalam tahap ini,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Rapat
Gabungan
b.
Statement
Pembukaan oleh Mediator, dalam hal ini yang dilakukan adalah mendidik para
pihak, menentukan aturan main pokok, dan membina hubungan dan kepercayaan
c.
Statement
Para Pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah dengar pendapat (hearing),
menyampaikan dan klarifikasi informasi, dan cara-cara interaksi
2.
Tahap
kedua : Mengumpulkan dan Membagi-bagi Informasi Dalam tahap ini,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah mengadakan rapat-rapat terpisah untuk:
a.
Mengambangkan
informasi selanjutnya
b.
Mengetahui
lebih mendalam keinginan para pihak
c.
Membantu
para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya
d.
Mendidik
para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian masalah
3.
Tahap
Ketiga: Pemecahan Masalah Dalam tahap ketiga ini yang dilakukan mediator adalah
rapat bersama atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
a.
Menetapkan
agenda
b.
Kegiatan
pemecahan masalah
c.
Memfasilitasi
kerja sama
d.
Identifikasi
dan klarifikasi isu dan masalah
e.
Mengembangkan
alternatif dan pilihan-pilihan
f.
Memperkenalkan
pilihan-pilihan tersebut
g.
Membantu
para pihak untuk mengajukan, menilai dan memprioritaskan
kepentingan-kepentingannya
4.
Tahap Keempat : Pengambilan Keputusan Dalam
tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Rapat-rapat
bersama
b.
Melokalisir
pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan masalah
c.
Membantu
para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan
d.
Mengkonfirmasikan
dan klarifikasi kontrak
e.
Membantu
para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian masalah dengan
alternative di luar kontrak
f.
Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan
menerima pemecahan masalah
g.
Mengusahakan
formula pemecahan masalah yang win-win dan tidak hilang muka
h.
Membantu
para pihak untuk mendapatkan pilihannya
i.
Membantu
para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Menurut PERMA No 1 Tahun 2008 Proses
mediasi dalam hal ini dibagi menjadi dua tahap yaitu pra mediasi dan tahap
mediasi yaitu:[33]
1.
Tahap
pra Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditentukan
yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
melakukan mediasi. Kehadiran dari pihak turut Tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi, sehingga hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada
para pihak mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses
mediasi.kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. hakim wajib menunda proses
persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
mediasi dan hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada
para pihak yang bersengketa.
2. Tahap Mediasi
Ketika para pihak sepakat untuk
melakukan proses mediasi, yang mana para pihak berkehendak untuk mencapai
kesepakatan penyelesaian atas sengketanya. Mediasi akan berjalan dengan kondisi-kondisi
sebagai berikut:[34]
1.
Mediator
adalah seorang fasilitator yang akan membantu para pihak untuk mencapai
kesepakatan yang dikehendaki oleh para pihak.
2.
Mediator
tidak memberi nasehat atau pendapat hukum.
3.
Para
pihak yang bersengketa dapat meminta pendapat para ahli baik dari sisi hukum
lainnya selama proses mediasi berlangsung.
4.
Mediator
tidak dapat bertindak sebagai penasehat hukum terhadap salah satu pihak dalam
kasus yang sama ataupun yang berhubungan dan ia juga tidak dapat bertindak
sebagai arbiter atau kasus yang sama.
5.
Para
pihak paham agar proses mediasi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan
proses komunikasi yang terbuka dan jujur, selanjutnya segala bentuk negosiasi
dan pernyataan baik tertulis maupun lisan yang dibuat dalam.
6.
proses
mediasi akan diperlukan sebagai informasi yang bersifat tertutup dan rahasia.
Sedangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2008 pada bab III pasal
13 Dalam suatu mediasi dijelaskan
tentang tahap-tahap proses mediasi sesuai dengan tentang penyerahan resume perkara dan lama
proses mediasi sebagai berikut:[35]
1.
Dalam
waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang
disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu
sama lain dan kepada mediator
2.
Dalam
waktu paling sedikit 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator,
masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk
3.
Proses
mediasi berlangsung paling lama 40 hari keja sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (5) dan (6)
4.
Atas
dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu proses mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi
5.
Jangka
waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara
6.
Jika
diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
Menurut Munir Fuady, dapat ditarik
beberapa elemen dari suatu alternatif penyelesaian sengketa (selain arbitrase)
yang diinginkan oleh Undang-Undang tersebut. Elemen-elemen itu adalah sebagai
berikut:[36]
1.
Penyelesaian
sengketa didasarkan pada unsur iqtikad baik
2.
Penyelesaian
lewat pengadilan dikesampingkan
3.
Penyelesaiannya
dilakukan dalam pertemuan langsung oleh para pihak (upaya tingkat pertama).
4.
Waktu
penyelesaiannya paling lama 14 hari
5.
Hasil
penyelesaiannya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis Apabila
penyelesaian tingkat pertama (secara langsung) tidak membuahkan hasil, maka
dapat ditempuh upaya tingkat kedua
6.
Upaya
tingkat kedua tersebut baik berupa bantuan seorang atau lebih penasihat ahli
7.
Upaya
tingkat kedua tersebut disamping berupa penasihat ahli, maupun berupa upaya
melalui seorang mediator
8.
Upaya
tingkat kedua tersebut (penasihat ahli atau mediator) ditempuh dengan berlandaskan
suatu kesepakatan tertulis dari para pihak
9.
Waktu
penyelesaian hingga tercapai kata sepakat melalui penasihat ahli atau mediator
tersebut adalah 14 hari
10. Jika upaya tingkat kedua tersebut gagal
dalam waktu 14 hari, maka ditempuh upaya tingkat ketiga berupa penunjukan
seorang mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa
11. Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini
harus sudah melakukan upaya mediasinya dalam waktu paling lama 7 hari
12. Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini
harus sudah selesai melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu 30 hari, maksudnya
dalam waktu 30 hari tersebut harus sudah tercapai kata sepakat di antara para pihak
dalam bentuk tertulis
13. Kesepakatan tertulis diantara para pihak
tersebut adalah final
dan mengikat para pihak
14. Kesepakatan
tertulis itu harus sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam jangka waktu 30
hari
15. Jangka
waktu pelaksanaan putusan dalam kesepakatan tertulis tersebut adalah dalam
jangka waktu 30 hari sejak pendaftaran di pengadilan
16. Apabila
tidak tercapai kesepakatan (dalam upaya tingkat satu sampai tiga), maka para
pihak dapat menempuh upaya tingkat keempat, yaitu upaya penyelesaian melalui
lembaga arbitrase
17. Upaya
tingkat keempat (arbitrase) tersebut diajukan oleh para pihak melalui
kesepakatan tertulis
18. Terhadap
penyelesaian upaya di tingkat keempat tersebut (arbitrase) berlaku ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Meskipun
tidak disebut-sebut dengan tegas dalam Pasal 6 dari Undang-Undang Arbitrase No.
30 Tahun 1999, para pihak tidak harus mengikuti prosedur alternatif
penyelesaian sengketa tingkat demi tingkat sampai tingkat keempat, tetapi dapat
saja mengabaikan tingkat-tingkat tertentu. Hal ini disebabkan :[37]
1.
Sifat
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cepat dan efisien
2.
Undang-undang
tidak mengharuskan secara tegas untuk mengikuti setiap tahap tersebut
3.
Masih
tercakup dalam kewenangan dan kebebasan para pihak untuk berkontrak, termasuk
untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang dihekendakinya.
4.
Untuk
kepentingan efektifitas, Maksudnya adalah jika para pihak sudah tidak mau
menggunakan salah satu
atau lebih tahap penyelesaian sengketa (diantara empat tahap tersebut), tidak
ada gunanya dipaksakan, karena kemungkinan besar kata sepakat juga tidak akan
tercapai. Dengan demikian, sungguhpun tidak disebutkan dalam Undang-Undang
Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, tahap-tahap penyelesaian sengketa tersebut (empat tahap) bukanlah
hukum memaksa (dwingend
recht) melainkan
hanya hukum mengatur. Akan tetapi, sekali tahap tersebut sudah disetujui oleh
para pihak, maka para pihak tersebut wajib mematuhinya.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah Jilid 13, (Bandung : Al-
Ma’arif, 1987), hlm. 211
[2] Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid
II, (Jakarta: PT. Ichtiar Barucan Hoeve,
2001), hlm. 740.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah..., hlm. 125
[4] Imam
Taqiy Al Din Abu Bakr Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha
Putra, 1998), hlm. 271.
[5] T.M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
hlm. 21
[6] Abdul Rahman
Saleh, Pelaksanaan Mediasi Islam di
Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 5
[7] Ibid, hlm. 48
[9] Ibid. hlm. 50
[11] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam.., hlm 740
[12] T.M.
Hasby Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 119.
[13] Suhrawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2000), hlm. 178.
[14] Depag RI, Al
Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 846
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] At-Tirrmidzi,
Sunan at-Turmudzi: Kitab al-Ahkam 'An Rasulillah, dalam Mausu'at al-Hadits al-Syarif, (Global Islamic Software Company,
2000), Versi II, Hadits no. 1272
[18] Ibnu
Hajar Ashskhalani, Fathul Bari, dalam Hadist Shahih Bukari, jilid V, (Semarang
: Toha Putra, 1999), hlm. 187
[19] Rahmat Rosyadi, Ensiklopedi Hukum Islam..., hlm. 48
[20] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah..., hlm, 213
[24] Lihat KUHPerdata
Pasal 1542 dan 1543.
[26]
Simon Fisher, Mengelola Konflik:
Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra, 2000), hlm. 13
[27] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2009), hlm.22.
[28] PERMA No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.
[29] Runtung Sitepu, Pemberdayaan
Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Rajawali Pers,
2006), hlm. 25.
[30] Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003,
Pasal 3 ayat 1,2,3,4.
[32] Munir
Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung,
Citra Aditya Bakti , 2000), hlm 48-50
[35] Ibid.
[36] Munir Fuadi, Arbitrase
Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis..., hlm 25-26
[37] Republik Indonesia, Undang-Undang
Arbitrase No. 30 Tahun 1999 Pasal 6.