Diskripsi Masalah
Kemajuan
teknologi di zaman ini banyak meringankan pekerjaan tangan manusia, baik
pekerjaan berat maupun ringan. Salah satunya adalah mencuci pakaian. Dengan
bantuan mesin cuci, pekerjaan yang dilakoni wanita
Pertanyaan
Bagaimanakah status pakaian yang di cuci dengan mesin cuci, apakah bisa
menyucikan pakaian tersebut atau tidak?
Jawaban.
Untuk menjawab
masalah ini, maka perlu kami uraikan terlebih dahulu sedikit beberapa hal yang
berkaitan dengan masalah menyucikan najis. Dalam bab najasah, ada perbedaan
hukum antara najis yang datang pada air yang sedikit dengan air yang di
datangkan di atas najis. Menurut pendapat yang kuat, bila benda najis di
celupkan ke dalam air yang sedikit (di bawah dua kulah) maka benda tersebut
tidak akan suci bahkan sebaliknya semua air tersebut akan bernajis. Sedangkan
bila air yang sedikit di tuangkan ke atas najis, maka najis tersebut bisa suci.
hal ini di sebabkan air yang di datangkan bersifat lebih kuat.
Pertanyaan:
Qaedah air yang datang atas benda bernajis
(warid ‘ala mutanjis) ini apakah juga berlaku bila benda mutanajis (contohnya
kain bernajis) dimasukkan dalam ember kemudian di siramkan air ke dalamnya
sehingga air memenuhi ember tersebut atau hanya berlaku bila airnya langsung
mengalir setelah di siram (misalnya kain tersebut di pegang) ?
Jawaban:
Ketentuan bahwa air yang di tuangkan ke
atas benda mutanajis akan menyucikan benda tersebut dan tidak akan menyebabkan
air tersebut bernajis juga berlaku bila kain bernajis tersebut di masukkan
dalam satu ember kemudian di tuangkan air ke dalamnya, ketika air telah
memenuhi ember maka kain dalam ember akan menjadi suci. Jadi qaedah ini tidak
hanya berlaku pada masalah menyiramkan air pada kain bernajis yang berada pada
tangan (sehingga saat di siram airnya langsung turun/tidak tergenang).
Syeikh Syarwani mengutip perkataan Ibnu
Hajar :
ولو وضع ثوبا في إجانة وفيه
دم معفو عنه وصب الماء عليه تنجس بملاقاته؛ لأن دم نحو البراغيث لا يزول بالصب فلا
بد بعد زواله من صب ماء طهور وهذا مما يغفل عنه أكثر الناس اهـ[1]
Artinya; dan jika diletakkan baju
dalam ember sedangkan pada baju tersebut ada darah yang dimaafkan, kemudian di
tuangkan air ke dalamnya maka air tersebut akan bernajis dengan sebab bertemu
darah tersebut, karena darah kutu tidak bisa hilang dengan semata-mata di
tuangkan air, sehingga setelah menghilangkan ainnya baru di tuangkan air menyucikan,
ini adalah hal yang di lalaikan oleh kebanyakan manusia. (Hasyiah Syarwani)
Pada nash فلا بد بعد زواله من صب ماء طهور
bisa di pahami bahwa dalam kasus kain dalam ember bila ain najis telah
dihilangkan terlebih dahulu, maka ketika di siramkan air bisa menyucikan
pakaian tersebut.
lebih jelasnya penjelasan dalam kitab
Hilyah al-Ulama :
فإن وضع الثوب النجس في إجانة وصب عليه الماء حتى غمره
واستهلك النجاسة ولم يعصره طهر في أظهر الوجهين[2]
Artinya; Maka jika diletakkan pakaian
yang bernajis dalam ember dan di tuangkan air kedalamnya hingga
menenggelamkannya dan menyebabkan najisnya hancur dan tidak perlu di peras maka
pakaian tersebut bisa suci menurut pendapat yang kuat. (Hilyaul Ulama)
Keterangan lain yang mendukung pemahaman
ini adalah pernyataan para ulama yang menempatkan khilafiyah keharusan memeras
kain yang telah di cuci (menurut pendapat yang kuat tidak wajib di peras)
berlaku bila benda bernajis tersebut berada di dalam ember kemudian di tuangkan
air kedalamnya, sedangkan bila kain bernajis berada di tangan kemudian kita
siram maka tidak ada khilaf tentang tidak wajib di peras. Hal ini menunjukkan
menyiramkan air ke dalam ember yang berisi kain bernajis bisa menyucikan kain
tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar mengatan dalam
Tuhfah :
ومحل الخلاف إن صب عليه في إجانة مثلا فإن صب عليه وهو
بيده لم يحتج لعصر قطعا كالنجاسة المخففة والحكمية[3]
Dan posisi khilaf (keharusan memeras
kain yang di cuci) jika di tuangkan air ke dalam ember, sedangkan jika di
tuangkan air pada kain yang di tangan maka tiada khilaf tidak wajib di peras
sama seperti najis yang ringan dan najis hukmiyah (Tuhfatul Muhtaj)
Selain itu, qaedah ini hanya berlaku
bila najis pada kain tersebut adalah najis hukmiyah, najis mukhaffah atau najis
ainiyah yang najisnya bisa hilang setelah disiramkan air ke atasnya. Sedangkan
bila pada pakaian tersebut ada ain najis yang tidak bisa hilang ketika di
siramkan air ke atasnya maka tidak akan menyucikan pakaian tersebut bahkan air
tersebut akan bernajis. Selain itu juga di syaratkan jangan sampai air tersebut
berubah sifatnya. Syeikh Abdul Hamid asy-Syarwani mengutip perkataan Imam
Nawawi :
قال في شرح العباب إذ محل كون الوارد
لا يتنجس بملاقاة النجاسة إذا أزالها عقب وروده من غير تغير ولا زيادة وزن اهـ اهـ سم.[4]
Artinya; berkata Imam Nawawi dalam
kitab Majmuk, posisi keadaan air yang datang tidak bisa bernajis dengan sebab
bertemu najis adalah apabila air tersebut bisa menghilangkan najis tersebut
setelah air tersebut datang tanpa adanya perubahan pada air dan tidak ada
penambahan massanya . (Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah)
Maka dalam kasus pencucian lewat mesin
cuci, bila pakaian yang dicuci ada terdapat najis yang tidak bisa hilang dengan
hanya menuangkan air ke dalamnya maka menyiramkan air ke dalamnya tidaklah
menyucikannya bahkan akan menyebabkan air tersebut bernajis dalam keadaan
demikian maka seluruh baju akan bernajis dengan air tersebut.
Pertanyaan;
Bila seandainya setelah bilasan pertama
tersebut (yang menyebabkan seluruh air dan pakaian bernajis) di buang airnya,
selanjutnya di siram dengan air kedua, apakah siraman ke dua tersebut bisa
menyucikan pakaian ?
Jawaban:
Pakaian yang telah basah tersebut telah
dihukumi bernajis, kemudian setelah diperas maka bila memang perasannya kering
sehingga bila di peras tidak lagi mengeluarkan air maka di di hukumi bahwa ain
najisnya sudah hilang. Dalam keadaan demikian maka bila disiram air kedua pakaian
tersebut bisa suci.
Sedangkan bila perahannya masih
menyisakan air ketika di peras, maka berarti ain najisnya masih tersisa, maka
menyiramkan air kedalamnya tidak dapat menyucikannya.
Note.
Kalau kain yang akan di cuci tidak
dipastikan adanya najis, maka boleh saja langsung di masukkan ke dalam mesin
cuci dengan langsung disertai sabun karena pencucian tersebut hanya mencuci
dari kotoran saja bukan menyucikannya dari najis. Kalau ragu-ragu apakah ada
ain najid pada pakaian yang akan kita cuci maka dihukumi tidak ada najis,
karena adanya najis baru akan berpengaruh bila telah pasti ada.
Kesimpulan;
Dari uraian kami di atas dapat di
simpulkan hukum tentang mencuci pakaian bernajis dengan mesin cuci:
- Tidak dapat
menyucikan pakaian dan bahkan menyebabkan airnya bernajis bila :
- Bila
menggunakan air yang tidak menyucikan (thahur) seperti air yang bercampur
sabun maka sama sekali tidak bisa menyucikan, baik sabun tersebut di
pakai dalam air yang di siram atau telah di masukkan dalam pakaian.
- Bila pada
pakaian tersebut ada najis ainiyah yang ainnya tidak bisa hilang seketika
di siramkan air ke dalamnya.
- Dapat
menyucikan pakaian bila:
- Bila
pakaian tersebut bernajis ringan (mukhaffafah) dan najis hukmiyah maka
dengan menyiramkan air yang suci menyucikan (thahur) pada pakaian
tersebut langsung pakaian itu bisa suci.
- Pada
pakaian ada najis tetapi najis tersebut bisa hilang dengan segera setelah
di siramkan air kedalamnya.
- Bila tidak
yakin adanya najis pada pakaian maka boleh saja di cuci langsung dengan
siraman air sabun.
- Untuk lebih
memudahkan ada baiknya di pisahkan pakaian yang bernajis dengan pakaian
yang tidak bernajis, untuk pakaian yang bernajis di bilas terlebih dahulu
dengan air di luar mesin cuci sehingga di hukumi suci, kemudian baru di
rendam dengan air sabun.
Referensi;
Hasyiah Bajuri Jilid 1
hal 103 Haramain
(قوله
ورود الماء عليه إن كان قليلا) ولذلك قال فى المنهج وشرط ورود ماء قل
(قوله فإن عكس) أى بأن كان الماء مورودا وقوله
لم يطهر أى لضعف الماء بسبب قلته مع كونه مورودا فليس له قوة أن يدفع عن نفسه
التنجس بخلاف ما إذا كان واردا
Hawasyi Madaniyah Jilid 1
Hal 119 Maktabah ghazali
(ويشترط
ورود الماء القليل) على المحل لقوته وإلا تنجس بخلاف الكثير (والغسالة القليلة)
المنفصلة (طاهرة) غير مطهرة (مالم تتغير) بطعم أو لون أو ريح ولم يزد وزنها بعد
إعتبار ما يأخذه الثوب من الماء ويعطيه من وسخ الطاهر (وقد طهر المحل) بخلاف ما
إذا تغيرت أو زاد وزنها أو لم يطهر المحل فهى نجسة كالمحل لأن البلل الباقى فيه
بعضها والماء القليل لايتبعض طهارة ونجاسة ولانظر لإنتقال النجاسة إليها لأن الماء
قهره فأعدمها فعلم أنها كالمحل مطلقا فحيث حكم بطهارته حكم بطهارتها وحيث لا فلا
فلو وضع ثوبا فى إجانة وفيه دم معفو عنه وصب الماء عليه تنجس بملاقاته لأن دم نحو
لبراغيث لايزول بالصب فلا بد بعد زواله من صب ماء طهور وهذا مما يغفل عنه أكثر
الناس
Hasyiah Bujairimi ‘ala
Manhaj Jilid 1 hal 146 Dar Fikr
)قوله وشرط ورود ماء) أي على المحال كإناء متنجس كله فوضع فيه ماء وأدير عليه كله
فيطهر كله ما لم تكن فيه عين النجاسة ولو مائعة واجتمعت حج: وإفتاء بعضهم بطهارة ماء
صب على بول في إجانة محمول على بول لا جرم له وبذلك علم أن التفصيل في الغسالة محله
فيما لا جرم للنجاسة فيها لكن قولهم لو صب ماء على دم نحو براغيث فزالت عينه طهر المحل،
والغسالة بشرطها ينازع في ذلك فراجعه وحرره ق ل على الجلال.
وقوله كإناء إلخ لا بد فيه من ورود الماء على أعلاه
إلى أسفله فلو صبها في أسفله ثم أدارها حواليه لم يكف. اهـ. ح ف، وكلام حج يخالفه وعبارة
شوبري قال في الخادم: لو وضع ثوبا في إجانة وفيه دم معفو عنه وصب الماء عليه تنجس بالملاقاة
لأن نحو دم البراغيث لا يزول بالصب فلا بد بعد زواله من صب ماء طهور قال: وهذا مما
يغفل عنه أكثر الناس اهـ وهو يدل على أن القليل الوارد ينجس إن لم يطهر المحل اهـ وفي
ع ش على م ر فرع قرر م ر أنه لو غسل ثوبا فيه دم براغيث لأجل تنظيفه من الأوساخ ولو
نجسة لم يضر بقاء الدم فيه ويعفى عن إصابة هذا الماء له فليتأمل سم على منهج، أما إن
قصد غسل دم البراغيث فلا بد من إزالة أثر الدم ما لم يعسر فيعفى عن اللون على ما مر
اهـ.
Asnal Mathalib jilid 1
hal 57 Dar kutub
(وكذا) يكفي غسل مكان نجاسة (لو صب ماء على مكانها،
وانتشر) حولها فلا يحكم بنجاسة محل الانتشار لأن الماء الوارد على النجاسة طهور ما
لم يتغير، ولم ينفصل كما مر
Hasyiah Kabir ‘ala Asnal
Mathalib jilid 1 hal 55 Dar kutub
(قوله فليدره في الإناء يطهر) لا إن بقيت عين النجاسة
المائعة ولو مغمورة بالماء
Hasyiah Syarwani dan Ibnu
qasem jilid 1, hal 335, Dar fikr
(قوله
وما نجس بغيرهما إلخ) فرع لو صب الماء على مكان النجاسة وانتشر حولها لم يحكم بنجاسة
محل الانتشار كما في الروض وأصله قال في شرحه؛ لأن الماء الوارد على النجاسة طهور ما
لم يتغير ولم ينفصل كما مر اهـ، وظاهره أنه لا يحكم بنجاسة محل الانتشار وإن لم يطهر
مكان النجاسة المصبوب عليه ويدل عليه التعليل المذكور إذ لو كان المراد أن محل النجاسة
طهر بالصب لكان الماء طهورا وإن انفصل، وقد يجاب عن هذا بأن التقييد بعدم الانفصال؛
لأنه بعد الانفصال يصير مستعملا فلا يوصف حينئذ بأنه طهور، وقد يستشكل الحكم بالطهورية
بعد مجاوزة مكان النجاسة، بل ينبغي الحكم بالاستعمال حينئذ إلا أن يقال لا بد في الاستعمال
من مجاوزة ذلك الشيء بالكلية، وقد يقال لم اعتبر في التعليل الطهورية فإنه يكفي في
عدم الحكم بنجاسة محل الانتشار الطاهرية هذا ولكن ظهر مع م ر أنه لو لم يطهر مكان النجاسة
تنجس محل الانتشار حتى لو كان فيه دم معفو عنه لم يعف عن إصابة الماء له ولا يقال إن
هذا من إصابة ماء الطهارة ويحمل كلام الروض وأصله على ما لو طهر مكان النجاسة بالصب
ثم انتشرت الرطوبة اهـ فليحرر
mughni Muhtaj jilid 1 hal 289 Syirkah kudus
ويكفي غسل موضع نجاسة وقعت على ثوب ولو عقب عصره ولا
يجب غسل جميعه وكذا لو صب ماء على مكانها وانتشر حولها فلا يحكم بنجاسة محل الانتشار
لأن الماء الوارد على النجاسة طهور ما لم يتغير ولم ينفصل لقوته لكونه فاعلا فإن تغير
تنجس كما مر وإذا كان طهورا فيما ذكر فإذا أداره في الإناء طهر
Hasyiah Tarmasi jilid 2 hal 151 Dar Minhaj
قوله ;(ويشترط) أى ;
في طهور المحل.
قوله ;(ورود
الماء القليل) وهذا هو الأصح ,قال في المغني ; (والثني- وهو قول ابن سريج- ;لا يشترط, لأنه إذا قصد
بالغمس في الماء القليل إزالة النجاسة..
طهر كما لو كان الماء واردا, بخلاف ما إذا ألقته
الريه) انتهى
قوله ;(على المحل) أى ;محل النجاسة ,لا على عينها ,وعلى عينها وزالت
به ولم يجتمع معها في إناء.
قوله ;(لقوته) أى ;الوارد , وهو تعليل للإشتراط المذكور, لكن في تقريبه شيء, وعبارة التحفة ;(وفارق الوارد غيره بقوته
لكونه عاملا, ومن ثم لم يفترق
الحال بين المنصب من أنبوب والصاعد من فوارة مثلا) إنتهى,
وهي أسبك, فلو أخره عن قوله ;(بخلاف الكثير).. لكان أظهر, تأمل.
قوله ;(وإلا) أى; بأن ورد المحل المتنجس على الماء القليل.
قوله ;(تنجس) أى; الماء القليل,
لما مر في (باب المياه) من أنه يتنجس بوصول النجس إليه غير المعفو عنه له, فلا يطهر غيره لإستحالته, لأن تكميل الشيء لغيره فرع
كماله في نفسه.
قوله; (بخلاف الكثير) أى; فإنه لا يشترط كونه واردا على المحل, لما تقرر من الفرق.
Ghurar Bahiyah jilid 1
hal 156 Dar kutub
(وقد
أدخل جاره) أي: جار بعضه الآخر في غسله فيطهر كذا أطلقه الرافعي والنووي إلا في مجموعه
فقيده فيه تبعا لجمع بما إذا غسله بصب الماء عليه في غير جفنة فإن غسله به في جفنة
لم يطهر إلا بغسله دفعة واحدة؛ لأنه إذا وضع بعضه فيها وصب عليه الماء لاقى الماء جزءا
مما لم يغسل وهو نجس وارد على ماء قليل فينجسه فيتنجس الموضع والأوجه أنه يطهر مطلقا
كما اقتضاه إطلاق الجمهور وصرح بتصحيحه البغوي في تهذيبه والقول بتنجس الماء بما ذكر
ممنوع فقد قالوا: إنه لو صب الماء في إناء متنجس ولم يتغير فهو طهور حتى لو أداره على
جوانبه طهرت، أما إذا لم يغسل جاره فلا يطهر الجار لملاقاته وهو رطب للنجس ويطهر ما
عداه وما قيل من أن المتنجس لا يطهر بما ذكر مطلقا؛ لأن الجار إذا تنجس تنجس جاره وهكذا
لوجود الرطوبة رده الشيخ أبو حامد بأن الجار تنجس بملاقاة عين النجاسة وجاره لم يلاقها
وإنما لاقى المتنجس حكما فلا ينجس. ولهذا «قال النبي - صلى الله عليه وسلم - في الفأرة
تموت في السمن الجامد ألقوها وما حولها» فحكم بتنجس ما لاقى عين النجاسة فقط مع رطوبة
السمن وفي الروضة لو غسل ثوب عن نجاسة فوقعت عليه نجاسة عقب عصره هل يجب غسل جميع الثوب
أم يكفي غسل موضع النجاسة؟ وجهان الصحيح الثاني
(وما
قل) من الماء (ورد) أي: يجب وروده على المتنجس وإلا فلا يطهر لاقتضاء الملاقاة تنجس
الماء، خالفناه