BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Suatu
tabiat dari seorang manusia, bahwa ia seberapa boleh tidak mau dirugikan oleh
orang lain siapapun juga.[1]
Sedangkan di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap saat tentu ada dan pasti
selalu ada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Hubungan
tersebut ada yang termasuk dalam pengertian hubungan hukum dan ada pula yang
tidak termasuk dalam hubungan hukum. Hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain yang termasuk dalam pengertian hubungan hukum, misalnya suatu
hubungan jual-beli, atau hubungan yang tercipta oleh karena adanya tindakan
hukum (rechtshandeling).[2]
Pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang hidup bergantung dengan manusia lain, ia
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan atau interaksi dengan orang lain
seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon,
yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi
satu sama lain.[3]
Juga dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan dan papan.
Sehubungan dengan pemenuhan kehidupan sehari-hari yang kian lama kian
berkembang maka munculah beberapa jenis transaksi guna pemenuhan tersebut,
termasuk sistem keuangan.
Dilihat
dari sudut pandang tersebut tampak bahwa pada hakikatnya dalam suatu hubungan
tersebut setidak-tidaknya terdapat dua pihak yang terikat. Dalam perjanjian
timbal balik, selalu ada pihak yang dirugikan Begitu pula dalam lalu lintas
hubungan hukum perjanjian, dimana pihak yang satu disebut kreditor (schuldeiser)
dan pihak yang lain disebut debitor (schuldenaar).
Di
dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita melihat melalui media komunikasi
massa, baik media cetak maupun media elektronik, pihak debitor lalai dalam
memenuhi kewajibannya atau membayar utang-utangnya kepada kreditor. Kelalaian
debitor ini terkadang disebabkan oleh faktor kesengajaan atau ketidakmauan, dan
bisa pula disebabkan oleh keadaan dan situasi yang sulit atau ketidaksengajaan.
Menghadapi hal ini, maka hukum telah memberikan jalan keluar kepada kreditor
untuk menuntut hak-haknya, yaitu dengan cara mengajukan permohonan pernyataan
kepada lembaga ataupun badan hukum yang berwenang dalam penyelesaian kasus
utang- piutang yang tidak dibayar sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.
Di
dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang mempunyai
kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Adakala
kepentingan berbeda itu menghasilkan kerjasama antara para pihak, atau bisa
saja menimbulkan suatu persengketaan.
Sengketa
biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan
oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat
subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun
kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict
of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya
kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak
pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua
menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi
apa yang dinamakan dengan sengketa.[4]
Proses
sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang
bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian/ pendapat
yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa. Secara umum, orang tidak akan mengutarakan
pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Hal ini disebabkan oleh
kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak menyenangkan, di mana seseorang
(pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus menghadapi situasi rumit yang
mengundang ketidaktentuan sehingga dapat mempengaruhi kedudukannya.[5]
Proses
penyelesaian sengketa (consesually based approaches) mengharuskan para
pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini
berakar pada sistem pengaturan sendiri (self-governing system).
Perkembangan penyelesaian sengketa sesuai dengan mekanisme pengambilan
keputusan Persengketaan yang terjadi lebih diutamakan
dapat diselesaikan dengan perdamaian atau al-ishlah.
Al-Ishlah
atau perdamaian adalah Syariat Islam yang dianjurkan, sebab dengan adanya
perdamaian di antara para pihak yang bersengketa akan terhindar dari kehancuran
silaturahmi di antara para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara pihak
dapat di selesaikan dengan baik.[6]
Perdamaian
adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian yang sama-sama
menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada yang merasa dipecundangi, dan
rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan terpenuhinya perdamaian
sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang lebih kuat.
Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena masing-masing pihak
telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling ingin
menguasai/memenangkan/mengalahkan.
Al-Ishlah
atau perdamaian adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak
mengakhiri perkara mereka secara damai. Al-ishlah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
memikirkan jalan terbaik dalam dalam menyelesaikan sengketa yang dapat
memuaskan para pihak yang dilakukan secara suka rela tanpa ada paksaan. Al-ishlah
menjadi sesuatu yang harus ada di antara kaum muslimin, kecuali suatu
perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.[7]
Perdamaian
atau al-ishlah ini kemudian di implementasikan ke dalam praktek kehidupan
bermasyarakat umat Islam. Perdamaian (ishlah) di dalam Islam bisa dilaksanakan
dengan melibatkan dua pihak yang bersengketa saja ataupun bisa saja
dilaksanakan dengan konsep tahkim yang menggunakan jasa penegah atau hakam
sebagai pemutus dan fasilator dari perselisihan atau persengketaan yang
terjadi.
Supaya
penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan
dengan baik oleh badan atau pejabat tata usaha negara, maka perlu adanya
lembaga kontrol, baik yang bersifat internal maupun eksternal, disini peran dan
kontrol dari masyarakat juga sangat diperlukan agar tugas dan pelayanan
badan-badan peradilan dan organ-organ administrasi benar benar berfungsi sesuai
peraturan perundang-undangan, kontrol dari masyarakat tersebut salah satunya
diwujudkan dengan lahirnya Ombudsman Republik Indonesia.
Komisi
Ombudsman Nasional dibentuk pada Tahun 2000 berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan komisi ombudsman di maksudkan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, membantu penguasa agar bekerja secara
efektif dan efisien, menanamkan sistem akuntabilitas kepada setiap
penyelenggara kekuasaan publik, karena pembentukan komisi ombudsman nasional
masih dibentuk berdasarkan keputusan presiden, maka untuk lebih memantapkan
posisinya dari segi hukum perlu dibentuk atas dasar undang-undang tersendiri.[8] Meningkatkan mutu pelayanan
negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan,
rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin
baik
membantu
menciptakan
dan meningkatkan upaya untuk
pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik maladministrasi, diskriminasi, kolusi,
korupsi, serta nepotisme
meningkatkan budaya
hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi
hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang memiliki kemandirian, tidak
memiliki hubungan organik dengan
negara
dan lembaga-lembaga pemerintahan lain dan
juga
saat menjalankan tugas bebas dari keterlibatan lembaga lainnya. Lembaga ini memiliki hak untuk mengontrol pelayanan publik.
hak Ombudsman terdapat dalam Pasal
8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, Ombudsman diperbolehkan untuk memberikan
nasihat kepada pemerintah untuk melakukan
perbaikan
dan penyempurnaan organisasi dan
prosedur pelayanan publik dalam rangka untuk menghindari masalah administrasi.
Menurut
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia bahwa Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik dipusat
maupun didaerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta dan
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.[9]
Dalam menjalankan kewenangannya Ombudsman
Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua
belah pihak
serta tidak
menerima imbalan apapun baik
dari masyarakat yang
melapor ataupun instansi
yang
dilaporkan. Ombudsman
tidak menyibukkan
diri dengan
perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan tindakan atas norma-norma kepantasan.[10]
Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa telah banyak dalam menangani kasus,
Bermacam ragam kasus yang masuk pada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan
Aceh.
Selama
tahun 2013 telah masuk pada Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh 101 kasus.[11] Dari
sekian banyaknya kasus pada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh salah
satunya adalah sebuah kasus utang-piutang yang terjadi antara Koperasi Get Road
dengan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL). Timbulnya sengketa ini
dilandasi keengganan dalam membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi
radio yang digunakan pada Koperasi Get Road.[12]
Dalam
hal ini, koperasi get road dengan sengaja tidak mau membayar utang Biaya Hak
Penggunaan (BHP) frekuensi radio yang digunakan pada koperasi get road sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati, pihak koperasi get road enggan
membayar Biaya Hak Penggunaan seiring
datangnya surat teguran beberapa kali dari kominfo, disebabkan yang bertanggung jawab penuh meninggal dunia
(Ketua) dan Sekretaris mengundurkan diri. Pihak KPKNL menggugat kepada bendahara
Koperasi Get Road. Namun, bendahara Koperasi Get Road tidak mau memenuhi
tuntutan yang dilakukan oleh pihak KPKNL sehingga sengketa berlanjut kepada Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh.[13]
Berdasarkan uraian di atas maka timbul suatu
masalah, yaitu tidak terpenuhi tuntutan kementerian komunikasi dan informatika yang
telah ditargetkan dan juga pengembalian biaya utang tidak tepat pada waktunya,
tentu berpengaruh pada target pencapaian dan kewenangan lembaga ombudsman dalam menyelesaikan sengketa
sehingga penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Pola Penyelesaian
Sengketa Utang-Piutang Oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Menurut Konsep Al-Ishlah.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai
dengan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka masalah yang diajukan
untuk diteliti dalam penulisan skripsi adalah:
1. Bagaimanakah konsep al-ishlah dalam
menyelesaikan sengketa utang-piutang antara KPKNL dan Koperasi Get Road yang
dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh?
2. Bagaimanakah kewenangan Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam menangani sengketa utang-piutang yang
terjadi antara KPKNL dan Koperasi Get Road?
3. bagaimanakah bentuk penyelesaian yang
dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam menyelesaikan
sengketa utang-piutang antara KPKNL dan Koperasi get Road?
1.3. Tujuan
Penelitian
Setiap penelitian mempunyai tujuan tertentu,
demikian juga penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui kewenangan Ombudsman Republik Indonesia dalam menyelesaikan kasus
utang-piutang dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
2.
Untuk
mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia dalam
upaya penyelesaian kasus utang-piutang.
3.
Untuk
mengetahui kendala-kendala dan upaya yang ditempuh oleh Ombudsman Republik
Indonesia dalam penyelesaian kasus utang piutang.
1.4. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman bagi
para pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka perlu dijelaskan
istilah-istilah yang terdapat judul skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa
Dalam Glosarium Ekonomi
dan keuangan Penyelesaian adalah kesepakatan yang dicapai dalam hal keuangan
atau bisnis[14].
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia penyelesaian adalah sesuatu
yang telah diselesaikan, hasil pengambilan keputusan yang menghasilkan sebuah
resolusi dalam suatu persoalan.[15]
Sengketa
dalam kamus bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain.[16]
Sengketa
merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi
yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum bagi keduanya.[17]
2. Utang-piutang
Kata utang-piutang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdiri
atas dua suku kata yaitu hutang yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan dari
orang lain. Sedangkan kata piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat
ditagih dari orang lain).[18]
Utang-piutang adalah memberikan
sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan
pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Selain
itu, utang-piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari pihak lain
sebagai metode transaksi ekonomi di masyarakat.
3.
Ombudsman adalah seorang
pejabat atau badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat. Kata
Ombudsman berasal dari bahasa Swedia kuno Umbosmann, artinya perwakilan. Selain
di tingkat pemerintahan, Ombudsman juga dapat ditemui dalam perusahaan,
universitas, dan media massa.
Ombudsman
adalah
suatu lembaga yang dibentuk untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara
efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan
pertanggungjawaban serta pelayanan secara baik. Umumnya ombudsman
dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan meyelidiki keluhan-keluhan
masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration)
publik.[19] Akan tetapi sesungguhnya
ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat
kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan
administratif atau sistemik dalam upayanya
meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Maladministrasi adalah perbuatan
koruptif yang meskipun tidak menimbulkan kerugian negara, namun mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat (warga negara dan penduduk) karena tidak mendapatkan
pelayanan publik yang baik (mudah, murah, cepat, tepat dan berkualitas).[20]
4. Al-Ishlah
Dalam
pengertian bahasa al-Ishlah adalah memutus pertengkaran atau perselisihan.
Sedangkan dalam pengertian syari’at
adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang
berlawanan.[21]
Ishlah telah diserap menjadi satu kata dalam bahasa
Indonesia yang berarti perdamaian atau penyelesaian pertikaian secara
damai.donesia, damai dimaknai sebagai tidak ada perang; tidak ada kerusuhan;
aman; tentram; keadaan tidak bermusuhan. Sedangkan kata perdamaian dimaknai
sebagai penghentian permusuhan atau persengketaan. Mendamaikan dimaknai
mengusahakan agar kedua pihak berbaik kembali merundingkan supaya ada
persesuaian menenangkan.[22]
Dalam sebuah ensiklopedi, secara etimologis,
al-ishlah berasal dari bahasa Arab yang
berbentuk plural ( jama). Adapun
bentuk tunggalnya adalah al sulhu yang
berarti suatu kondisi yang baik, aman, harmonis. Sementara makna dasar ishlah
terlihat bermacam-macam, diantaranya: memperbaiki, mendamaikan dan
menghilangkan sengketa atau kerusakan. Lebih lanjut, kata itu diartikan dengan
berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; menganjurkan orang untuk
berdamai antara satu dan yang lainnya; melakukan perbuatan baik; berperilaku
sebagai orang suci (baik). Ada yang mengatakan bahwa pengertian yang beragam
itu berasal dari makna islah yang disebut dalam Al-Qur’an. Adapun dalam bahasa
Arab Modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaharuan.[23]
1.5. Kajian
Pustaka
Menurut penelusuran yang telah penulis lakukan,
belum ada kajian yang membahas tentang pola penyelesaian sengketa utang-piutang
oleh Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Aceh menurut konsep al-ishlah.
Sebagaimana dalam
penelusuran penulis lakukan memang tidak terdapat pembahasan atau penelitian dengan topik yang
penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu tentang pola penyelesaian sengketa
sengketa utang-piutang oleh Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Aceh
menurut konsep al-ishlah yang mengambil lokasi penelitian di kantor Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh di kota
Banda Aceh.
1.6. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan sangat
erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti, karena metode yang
digunakan senantiasa mempengaruhi kualitas hasil penelitian.
Dalam mengumpulkan data yang berhubungan dengan
objek kajian baik itu primer maupun data skunder, penulis melakukan penelitian
pustaka (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Library
research merupakan sejenis penelitian dengan menggunakan buku-buku bacaan
sebagai landasan untuk mengambil data yang ada kaitannya dengan penulisan
skripsi ini. library research penulis lakukan dengan cara membaca dan mengkaji
buku-buku artikel serta literatur-literatur lain baik yang terdapat di
perpustakaan maupun internet. Sedangkan field research (penelitian lapangan)
penulis lakukan di sekretariat kantor
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Lam Gugop Banda Aceh. Penelitian
ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer. Adapun tehnik yang penulis
gunakan yaitu dengan data wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Adapun
tehnik yang penulis gunakan untuk pengumpulan data dilapangan adalah:
1. Observasi,
pada tahap ini peneliti menggunakan tehnik non participant observation , yaitu
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menggunakan ingatan pengamatan yang
dilakukan pada sekretariat kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh
di Banda Aceh dalam mencari imformasi yang berkenaan dengan Ombudsman Republik
Indonesia perwakilan Aceh dalam menyelesaikan kasus utang-piutang.
2. Interview
(Wawancara) yaitu pengumpulan data dengan cara percakapan antara peneliti atau
menanyakan langsung antara peneliti dengan ketua dan anggota dari pihak
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh diantaranya Bapak Taqwaddin Husein, Bapak Muhammad Fadiel, Bapak
Zulfikar, dan Bapak Zulkanaini untuk menanyakan langsung tentang data-data dan
informasi-informasi yang diperlukan. Untuk mendapat informasi peneliti menggunakan
tehnik guidence interview yaitu wawancara
dengan mengajukan pertanyaan secara terstruktur.
Data
yang telah terkumpul selanjutnya dibahas dan disajikan dengan menggunakan
metode deskripsi analisis yang merupakan suatu metode pendekatan dalam tehnik
analisis penelitian kualitatif. Dengan metode ini hasil penelitian dikumpulkan
dan disusun, kemudian dibahas dan dianalisis berdasarkan pendapat para ahli
sebagai landasan teoritis dan memadukan praktik-praktik yang dilakukan dengan
konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku. Setelah semua data terkumpul maka akan
dilakukan analisis yang merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian
ini, karena dengan menganalisis data tersebut dapat diberi makna yang
bermamfaat untuk memecahkan masalah yang diteliti.
Setelah
menganalisis data yang telah terkumpul, kemudian penulis melakukan pengolahan
data dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan data metode yang
bersifat deskriptif analisis yaitu metode yang menyajikan suatu peristiwa atau
gejala secara sistematis, faktual dengan
penyusunan akurat.
Dalam
penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk kepada buku “
Pedoman Karya Ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Tahun 2013”.
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk
lebih memudahkan dalam memahami pembasan skripsi ini, maka sistematika
pembahasannya penulis membagi dalam empat bab,
Adapun uraian keempat bab
tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam
bab pertama sebagai bab pendahuluan, mengemukakan langkah-langkah pembahasan yang
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan
istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Dalam bab kedua merupakan penjelasan tentang
penyelesaian sengketa menurut konsep al-ishlah: pengertian dan dasar hukum
al-ishlah, syarat-syarat penyelesaian sengketa dengan al-ishlah, dan mekanisme penyelesaian sengketa dengan konsep
al-ishlah.
Dalam bab ketiga
membahas tentang Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam
menyelesaikan sengketa utang-piutang menurut konsep al-ishlah. dalam bab ini
akan dimulai dengan membahas profil Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan
Aceh, kewenangan Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Aceh menangani sengketa utang-piutang, dan mekanisme
penyelesaian sengketa utang-piutang antara KPKNL dengan koperasi get road yang
dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, serta tinjauan konsep
al-ishlah terhadap penyelesaian sengketa utang-piutang antara KPKNL dan
koperasi get road yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh.
Dalam
bab keempat merupakan bab penutup dimana dalam penulisan berisikan kesimpulan
dari pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat
dalam rumusan masalah serta saran-saran yang berisi ide penulis, sebagai bahan
masukan didalam mengambil keputusan.
[1]
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Bale, 1986), hlm.71
[2] M.
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum
Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 7
[3] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 121
[4]Suyud
Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 34.
[5]Soerjono
Soekanto, Kedudukan Kepala Desa
sebagai Hakim Perdamaian, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 39
[6] Chairuman Pasaribu dan
Suhrawardi P. Lubis, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2002). hlm. 26
[7] Syekh al-Imam
Muhammad bin Ismail Al- Kahlani, Subulussalam Juz 4 (Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi,
1975). hlm.59
[8] Antonius
Sujata, Efektifitas Komisi Ombudsman
Nasional, (Jakarta: Cetakan Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hlm. 10
[9] Undang
-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2009), hlm. 32.
[10] Philipus M. Hadjon,
et.al, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1999), hlm. 303
[11] Wawancara dengan Rudi
Ismawan Asisten III Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Aceh, pada tanggal 18 April 2013
di Banda Aceh.
[12]
Ibid.
[14] Kunarjo, Glosarium
Ekonomi, Keuangan , dan Pembangunan(Jakarta:UI-Press,
2003)
[15] Kamus bahasa indonesia.org., Kamus
Bahasa Indonesia Online,diakses pada tanggal 17 may 2014 dari situs Http://Kamusbahasaindonesia.org/penyelesaian
[16] Ibid.
[17] Ebta Setyawan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses pada tanggal 17 may 2014 dari
situs Http://kbbi.eb.id/sengketa.
[18] Yandianto, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Bandung:M2S, 2000),
hlm 668
[19]
Antonius Sujata, Suara Ombudsman Jalan Panjang Menuju Ombudsman Republik Indonesia,
(Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2008 ), hlm.
[20]Antonius
Sujata dan RM Surachman, Ombudsman
Indonesia di Tengah Ombudsman Internasional
sebuah Antologi, (Jakarta;
Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hlm. 78
[21] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 13, (Bandung : Al- Ma’arif, 1987),
hlm 211
[22] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. Ketiga, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), hlm. 30
[23]
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum
Islam, Jilid II,( Jakarta: PT
Ichtiar Barucan Hoeve, 2001), hlm 740.