Minggu, 07 April 2019

BAB I Pola Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Menurut Konsep Al-Ishlah.


BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang Masalah
Suatu tabiat dari seorang manusia, bahwa ia seberapa boleh tidak mau dirugikan oleh orang lain siapapun juga.[1] Sedangkan di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap saat tentu ada dan pasti selalu ada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut ada yang termasuk dalam pengertian hubungan hukum dan ada pula yang tidak termasuk dalam hubungan hukum. Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain yang termasuk dalam pengertian hubungan hukum, misalnya suatu hubungan jual-beli, atau hubungan yang tercipta oleh karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling).[2]
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang hidup bergantung dengan manusia lain, ia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan atau interaksi dengan orang lain seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi satu sama lain.[3] Juga dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan dan papan. Sehubungan dengan pemenuhan kehidupan sehari-hari yang kian lama kian berkembang maka munculah beberapa jenis transaksi guna pemenuhan tersebut, termasuk sistem keuangan.
Dilihat dari sudut pandang tersebut tampak bahwa pada hakikatnya dalam suatu hubungan tersebut setidak-tidaknya terdapat dua pihak yang terikat. Dalam perjanjian timbal balik, selalu ada pihak yang dirugikan Begitu pula dalam lalu lintas hubungan hukum perjanjian, dimana pihak yang satu disebut kreditor (schuldeiser) dan pihak yang lain disebut debitor (schuldenaar).
Di dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita melihat melalui media komunikasi massa, baik media cetak maupun media elektronik, pihak debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya atau membayar utang-utangnya kepada kreditor. Kelalaian debitor ini terkadang disebabkan oleh faktor kesengajaan atau ketidakmauan, dan bisa pula disebabkan oleh keadaan dan situasi yang sulit atau ketidaksengajaan. Menghadapi hal ini, maka hukum telah memberikan jalan keluar kepada kreditor untuk menuntut hak-haknya, yaitu dengan cara mengajukan permohonan pernyataan kepada lembaga ataupun badan hukum yang berwenang dalam penyelesaian kasus utang- piutang yang tidak dibayar sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang mempunyai kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Adakala kepentingan berbeda itu menghasilkan kerjasama antara para pihak, atau bisa saja menimbulkan suatu persengketaan.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.[4]
Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian/ pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa. Secara umum, orang tidak akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak menyenangkan, di mana seseorang (pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus menghadapi situasi rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga dapat mempengaruhi kedudukannya.[5]
Proses penyelesaian sengketa (consesually based approaches) mengharuskan para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar pada sistem pengaturan sendiri (self-governing system). Perkembangan penyelesaian sengketa sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan Persengketaan yang terjadi lebih diutamakan dapat diselesaikan dengan perdamaian atau al-ishlah.
Al-Ishlah atau perdamaian adalah Syariat Islam yang dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian di antara para pihak yang bersengketa akan terhindar dari kehancuran silaturahmi di antara para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara pihak dapat di selesaikan dengan baik.[6]
Perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada yang merasa dipecundangi, dan rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang lebih kuat. Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling ingin menguasai/memenangkan/mengalahkan.
Al-Ishlah atau perdamaian adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak mengakhiri perkara mereka secara damai. Al-ishlah   memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam dalam menyelesaikan sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang dilakukan secara suka rela tanpa ada paksaan. Al-ishlah menjadi sesuatu yang harus ada di antara kaum muslimin, kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.[7]
Perdamaian atau al-ishlah ini kemudian di implementasikan ke dalam praktek kehidupan bermasyarakat umat Islam. Perdamaian (ishlah) di dalam Islam bisa dilaksanakan dengan melibatkan dua pihak yang bersengketa saja ataupun bisa saja dilaksanakan dengan konsep tahkim yang menggunakan jasa penegah atau hakam sebagai pemutus dan fasilator dari perselisihan atau persengketaan yang terjadi.
Supaya  penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan baik oleh badan atau pejabat tata usaha negara, maka perlu adanya lembaga kontrol, baik yang bersifat internal maupun eksternal, disini peran dan kontrol dari masyarakat juga sangat diperlukan agar tugas dan pelayanan badan-badan peradilan dan organ-organ administrasi benar benar berfungsi sesuai peraturan perundang-undangan, kontrol dari masyarakat tersebut salah satunya diwujudkan dengan lahirnya Ombudsman Republik Indonesia.
Komisi Ombudsman Nasional dibentuk pada Tahun 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan komisi ombudsman di maksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, membantu penguasa agar bekerja secara efektif dan efisien, menanamkan sistem akuntabilitas kepada setiap penyelenggara kekuasaan publik, karena pembentukan komisi ombudsman nasional masih dibentuk berdasarkan keputusan presiden, maka untuk lebih memantapkan posisinya dari segi hukum perlu dibentuk atas dasar undang-undang tersendiri.[8] Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang memiliki kemandirian, tidak memiliki hubungan organik dengan negara dan lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga saat menjalankan tugas bebas dari keterlibatan lembaga lainnya. Lembaga ini memiliki hak untuk mengontrol pelayanan publik. hak Ombudsman terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, Ombudsman diperbolehkan untuk memberikan nasihat kepada  pemerintah  untuk  melakukan  perbaikan  dan  penyempurnaan  organisasi  dan  prosedur pelayanan publik dalam rangka untuk menghindari masalah administrasi.
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia bahwa Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta dan perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.[9]
Dalam  menjalankan  kewenangannya  Ombudsman Republik Indonesia berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor ataupun instansi yang dilaporkan. Ombudsman tidak menyibukkan diri dengan perlindungan hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun dia menguji tindakan tindakan atas norma-norma kepantasan.[10]
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh sebagai lembaga yang menyelesaikan  sengketa telah banyak dalam menangani kasus, Bermacam ragam kasus yang masuk pada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh.
Selama tahun 2013 telah masuk pada  Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh 101 kasus.[11] Dari sekian banyaknya kasus pada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh salah satunya adalah sebuah kasus utang-piutang yang terjadi antara Koperasi Get Road dengan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL). Timbulnya sengketa ini dilandasi  keengganan dalam  membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi radio yang digunakan pada Koperasi Get Road.[12]
Dalam hal ini, koperasi get road dengan sengaja tidak mau membayar utang Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi radio yang digunakan pada koperasi get road sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, pihak koperasi get road enggan membayar Biaya Hak Penggunaan seiring  datangnya surat teguran beberapa kali dari kominfo, disebabkan  yang bertanggung jawab penuh meninggal dunia (Ketua) dan Sekretaris mengundurkan diri. Pihak KPKNL menggugat kepada bendahara Koperasi Get Road. Namun, bendahara Koperasi Get Road tidak mau memenuhi tuntutan yang dilakukan oleh pihak KPKNL sehingga sengketa berlanjut kepada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh.[13]
Berdasarkan uraian di atas maka timbul suatu masalah, yaitu tidak terpenuhi tuntutan  kementerian komunikasi dan informatika yang telah ditargetkan dan juga pengembalian biaya utang tidak tepat pada waktunya, tentu berpengaruh pada target pencapaian dan kewenangan  lembaga ombudsman dalam menyelesaikan sengketa sehingga penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Pola Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh  Menurut Konsep Al-Ishlah.
1.2.      Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka masalah yang diajukan untuk diteliti dalam penulisan skripsi adalah:
1.      Bagaimanakah konsep al-ishlah dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang antara KPKNL dan Koperasi Get Road yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh?
2.      Bagaimanakah kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam menangani sengketa utang-piutang yang terjadi antara KPKNL dan Koperasi Get Road?
3.      bagaimanakah bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang antara KPKNL dan Koperasi get Road?

1.3.      Tujuan Penelitian
Setiap penelitian mempunyai tujuan tertentu, demikian juga penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui kewenangan Ombudsman Republik Indonesia dalam menyelesaikan kasus utang-piutang dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
2.      Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia dalam upaya penyelesaian kasus utang-piutang.
3.      Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang ditempuh oleh Ombudsman Republik Indonesia dalam penyelesaian kasus utang piutang.
1.4.      Penjelasan Istilah
            Untuk menghindari kesalahpahaman bagi para pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang terdapat judul skripsi ini yaitu sebagai berikut:



1.      Penyelesaian sengketa
Dalam Glosarium Ekonomi dan keuangan Penyelesaian adalah kesepakatan yang dicapai dalam hal keuangan atau bisnis[14]. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia penyelesaian adalah sesuatu yang telah diselesaikan, hasil pengambilan keputusan yang menghasilkan sebuah resolusi dalam suatu persoalan.[15]
            Sengketa dalam kamus bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.[16]
            Sengketa merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.[17]
2.      Utang-piutang
Kata utang-piutang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdiri atas dua suku kata yaitu hutang yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan dari orang lain. Sedangkan kata piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).[18]
Utang-piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Selain itu, utang-piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari pihak lain sebagai metode transaksi ekonomi di masyarakat.
3.     


Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman adalah seorang pejabat atau badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat. Kata Ombudsman berasal dari bahasa Swedia kuno Umbosmann, artinya perwakilan. Selain di tingkat pemerintahan, Ombudsman juga dapat ditemui dalam perusahaan, universitas, dan media massa.
Ombudsman adalah suatu lembaga yang dibentuk untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan pertanggungjawaban serta pelayanan secara baik. Umumnya ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan meyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik.[19] Akan  tetapi sesungguhnya ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sistemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Maladministrasi adalah perbuatan koruptif yang meskipun tidak menimbulkan kerugian negara, namun mengakibatkan kerugian bagi masyarakat (warga negara dan penduduk) karena tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik (mudah, murah, cepat, tepat dan berkualitas).[20]
4.      Al-Ishlah
Dalam pengertian bahasa al-Ishlah adalah memutus pertengkaran atau perselisihan. Sedangkan  dalam pengertian syari’at adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.[21]
Ishlah telah diserap menjadi satu kata dalam bahasa Indonesia yang berarti perdamaian atau penyelesaian pertikaian secara damai.donesia, damai dimaknai sebagai tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; aman; tentram; keadaan tidak bermusuhan. Sedangkan kata perdamaian dimaknai sebagai penghentian permusuhan atau persengketaan. Mendamaikan dimaknai mengusahakan agar kedua pihak berbaik kembali merundingkan supaya ada persesuaian menenangkan.[22]
Dalam sebuah ensiklopedi, secara etimologis, al-ishlah berasal dari bahasa  Arab yang berbentuk plural ( jama). Adapun bentuk tunggalnya adalah al sulhu yang berarti suatu kondisi yang baik, aman, harmonis. Sementara makna dasar ishlah terlihat bermacam-macam, diantaranya: memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Lebih lanjut, kata itu diartikan dengan berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan yang lainnya; melakukan perbuatan baik; berperilaku sebagai orang suci (baik). Ada yang mengatakan bahwa pengertian yang beragam itu berasal dari makna islah yang disebut dalam Al-Qur’an. Adapun dalam bahasa Arab Modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaharuan.[23]
1.5.      Kajian Pustaka
Menurut penelusuran yang telah penulis lakukan, belum ada kajian yang membahas tentang pola penyelesaian sengketa utang-piutang oleh Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Aceh menurut konsep al-ishlah.
Sebagaimana dalam penelusuran penulis lakukan memang tidak terdapat  pembahasan atau penelitian dengan topik yang penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu tentang pola penyelesaian sengketa sengketa utang-piutang oleh Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Aceh menurut konsep al-ishlah yang mengambil lokasi penelitian di kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh di kota  Banda Aceh.
1.6.      Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan sangat erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti, karena metode yang digunakan senantiasa mempengaruhi kualitas hasil penelitian.
Dalam mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek kajian baik itu primer maupun data skunder, penulis melakukan penelitian pustaka (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Library research merupakan sejenis penelitian dengan menggunakan buku-buku bacaan sebagai landasan untuk mengambil data yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini. library research penulis lakukan dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku artikel serta literatur-literatur lain baik yang terdapat di perpustakaan maupun internet. Sedangkan field research (penelitian lapangan) penulis lakukan di sekretariat  kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Lam Gugop Banda Aceh. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer. Adapun tehnik yang penulis gunakan yaitu dengan data wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Adapun tehnik yang penulis gunakan untuk pengumpulan data dilapangan adalah:
1.      Observasi, pada tahap ini peneliti menggunakan tehnik non participant observation , yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menggunakan ingatan pengamatan yang dilakukan pada sekretariat kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh di Banda Aceh dalam mencari imformasi yang berkenaan dengan Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Aceh dalam menyelesaikan kasus utang-piutang.
2.      Interview (Wawancara) yaitu pengumpulan data dengan cara percakapan antara peneliti atau menanyakan langsung antara peneliti dengan ketua dan anggota dari pihak Ombudsman Republik Indonesia  Perwakilan  Aceh diantaranya Bapak  Taqwaddin Husein, Bapak Muhammad Fadiel, Bapak Zulfikar, dan Bapak Zulkanaini untuk menanyakan langsung tentang data-data dan informasi-informasi yang diperlukan. Untuk mendapat informasi peneliti menggunakan tehnik guidence  interview yaitu wawancara dengan mengajukan  pertanyaan  secara terstruktur.
Data yang telah terkumpul selanjutnya dibahas dan disajikan dengan menggunakan metode deskripsi analisis yang merupakan suatu metode pendekatan dalam tehnik analisis penelitian kualitatif. Dengan metode ini hasil penelitian dikumpulkan dan disusun, kemudian dibahas dan dianalisis berdasarkan pendapat para ahli sebagai landasan teoritis dan memadukan praktik-praktik yang dilakukan dengan konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku. Setelah semua data terkumpul maka akan dilakukan analisis yang merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian ini, karena dengan menganalisis data tersebut dapat diberi makna yang bermamfaat untuk memecahkan masalah yang diteliti.
Setelah menganalisis data yang telah terkumpul, kemudian penulis melakukan pengolahan data dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan data metode yang bersifat deskriptif analisis yaitu metode yang menyajikan suatu peristiwa atau gejala secara sistematis, faktual  dengan penyusunan akurat.
Dalam penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk kepada buku “ Pedoman Karya Ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Tahun 2013”.
1.7.      Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan dalam memahami pembasan skripsi ini, maka sistematika pembahasannya penulis membagi dalam empat bab,  Adapun uraian keempat  bab tersebut  adalah sebagai berikut:
Dalam bab pertama sebagai bab pendahuluan, mengemukakan langkah-langkah pembahasan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Dalam bab kedua merupakan penjelasan tentang penyelesaian sengketa menurut konsep al-ishlah: pengertian dan dasar hukum al-ishlah, syarat-syarat penyelesaian sengketa dengan al-ishlah, dan  mekanisme penyelesaian sengketa dengan konsep al-ishlah.
Dalam bab ketiga membahas tentang Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang menurut konsep al-ishlah. dalam bab ini akan dimulai dengan membahas profil Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh,  kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh menangani sengketa utang-piutang, dan mekanisme penyelesaian sengketa utang-piutang antara KPKNL dengan koperasi get road yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, serta tinjauan konsep al-ishlah terhadap penyelesaian sengketa utang-piutang antara KPKNL dan koperasi get road yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh.
Dalam bab keempat merupakan bab penutup dimana dalam penulisan berisikan kesimpulan dari pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah serta saran-saran yang berisi ide penulis, sebagai bahan masukan didalam mengambil keputusan.


[1] Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata Indonesia,  (Bandung:  PT. Bale, 1986), hlm.71

[2] M. Yahya Harahap,  Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 7        

[3] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 121
[4]Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 34.
[5]Soerjono Soekanto,  Kedudukan Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 39
[6] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi P. Lubis,  Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2002). hlm. 26
[7] Syekh al-Imam Muhammad bin Ismail Al- Kahlani, Subulussalam  Juz 4 (Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975). hlm.59
[8] Antonius Sujata,  Efektifitas Komisi Ombudsman Nasional, (Jakarta: Cetakan Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hlm. 10
[9] Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2009), hlm. 32.

[10] Philipus M.  Hadjon,  et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999),  hlm. 303

[11] Wawancara dengan Rudi Ismawan Asisten III  Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, pada tanggal 18 April  2013 di Banda Aceh.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Kunarjo, Glosarium Ekonomi,  Keuangan , dan Pembangunan(Jakarta:UI-Press, 2003)

[15] Kamus bahasa indonesia.org., Kamus Bahasa Indonesia Online,diakses pada tanggal 17 may 2014 dari situs Http://Kamusbahasaindonesia.org/penyelesaian
[16] Ibid.

[17] Ebta Setyawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses pada tanggal 17 may 2014 dari situs  Http://kbbi.eb.id/sengketa.

[18] Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung:M2S, 2000),  hlm 668
[19] Antonius Sujata,  Suara Ombudsman Jalan Panjang Menuju Ombudsman Republik Indonesia, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2008 ), hlm.
[20]Antonius Sujata dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia di Tengah  Ombudsman  Internasional  sebuah  Antologi, (Jakarta; Komisi Ombudsman  Nasional, 2002), hlm. 78
[21] Sayyid Sabiq, Fiqh  Sunnah  Jilid 13, (Bandung : Al- Ma’arif, 1987), hlm 211
[22] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar  Bahasa Indonesia,  Cet. Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 30
[23] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,  Jilid II,( Jakarta: PT Ichtiar Barucan  Hoeve, 2001), hlm 740.